Agen Casino Terpercaya - Cerita Seks Pemerkosaan yang Menggairahkan - Pemerkosaan Menggairahkan. Saat itu aku baru berusia 18 tahun, sedangkan
ciciku Jessica berusia 20 tahun. Malam itu, pacarku yang bernama Jeff
mengunjungi rumah kami, sekedar untuk memberikanku hadiah Valentine.
Kami sudah berpacaran selama 5 tahun, tapi jangankan melakukan hubungan
intim, berciuman saja sangat tabu bagi budaya bangsa kami.
Agen Casino Online - Namun untuk merayakan hari Valentine ke-5 kami, aku berencana untuk
memberikan Jeff hadiah spesial. Kuajak dia ke kamarku supaya tidak
terlihat oleh Papa dan Mama. Kuizinkan dia membelai punggungku dengan
lembut, sementara mukanya semakin mendekat ke mukaku. Sangkaku, hari itu
akan menjadi pertama kalinya Jeff mengecup bibirku.
“Braakkk!” tiba-tiba momen yang indah itu terusik oleh suara ribut dari
luar kamarku. Belum sempat kami mencari tahu apa yang terjadi, tiba-tiba
tiga orang tentara negeri Utara mendobrak pintu kamarku. Dengan sangat
sigap mereka mencengkeram kedua tanganku, lalu menyeret aku ke ruang
tamu. Jeff yang berusaha melindungiku tidak bisa berbuat apa-apa setelah
menerima pukulan keras pada tengkuknya. Di ruang tamu, empat orang
tentara lainnya sedang mengikat Papa & Mama di sofa, sementara dua
di antara mereka sedang meraba-raba tubuh Jessica di depan Papa &
Mama. Kemudian tubuhku didorong ke tengah ruang tamu, sementara mereka
mengikat Jeff yang setengah sadar di sebelah Papa & Mama. Mereka
bertiga kemudian dipaksa untuk menonton kedua anak gadis (dan kekasih)
mereka yang sedang digerayangi oleh para tentara. Malam itu kami hanya
menggunakan tank top dan hot pants, sehingga kulit kami yang putih mulus
pun nampaknya menambah nafsu para tentara.
“Wih liat boss, yang ini susunya kenyal banget!” ujar salah seorang tentara sambil meremas payudara Jessica.
“Tapi kalo muka sih, adeknya lebih imut! Tetenya juga gak kalah lah,” sahut temannya yang sedang melucuti kaosku dengan kasar.
“Jangannn..tolonggg jangan sentuh kami!” pekik Jessica.
Mereka
menelanjangi kami hingga tidak tersisa sehelai benang pun, disambut
dengan permohonan dari Papa & Mama untuk menghentikan aksi tersebut,
yang tentu saja tidak digubris. Pasti sungguh memilukan bagi Papa &
Mama untuk melihat anak-anak perempuan yang mereka besarkan
diperlakukan secara tidak manusiawi di depan mata mereka sendiri. Aku
& Jessica kemudian digiring untuk masuk ke dalam truk besar yang
telah berisikan belasan gadis yang telanjang bulat, kebanyakan sambil
menangis ketakutan.
Cerita Pemerkosaan Yang Nikmat
Truk itu
membawa kami ke kamp tawanan di Negeri Utara. Sesampainya di sana, kami
disuruh berbaris telanjang bulat layaknya sedang upacara. Sang komandan
lalu datang dan berjalan di antara barisan-barisan itu, sambil menatapi
gadis-gadis telanjang tersebut satu per satu. Mereka yang parasnya tidak
begitu memuaskan sang komandan kemudian dipisahkan ke kelompok lain.
“Jess,
jangan pergi, temenin aku di sini!” seruku saat sang komandan menarik
lengan Jessica untuk memisahkannya ke kelompok lain. Jessica berusaha
untuk memberontak, namun tentu saja ia tidak sanggup melawan sang
komandan, apalagi tempat itu dipenuhi oleh para tentara bersenjata yang
siap menghabisi nyawanya kapan saja.
“Cici janji akan baik-baik
saja. Kamu juga janji ya, Catherine. Kita pasti ketemu lagi,” ujar
Jessica seraya digiring sang komandan untuk meninggalkan tempatku. Kami
hanya dapat meneteskan air mata, karena kami tahu kami tidak akan
baik-baik saja, bahkan belum tentu kami bisa berjumpa kembali.
Di
kamp tempat aku ditaruh, para penjaga mengatakan bahwa nasib kami lebih
baik daripada nasib gadis-gadis yang dipisahkan sebelumnya, termasuk
ciciku. Sang komandan melarang para penjaga kamp untuk memerawani kami,
karena dapat menurunkan harga jualnya. Kami malah dirawat supaya tetap
cantik dan menawan saat dijual kepada peminatnya. Di situ, kami
diajarkan teori untuk memuaskan hasrat seks para lelaki, agar kelak
mereka dapat menyenangkan majikan. Kami juga diajarkan untuk mengerjakan
berbagai pekerjaan rumah tangga. Yang paling utama, dalam pikiran kami
ditanamkan bahwa kami adalah budak yang tidak lagi memiliki hak, dan
kami harus menuruti kemauan para majikan kami, yang berhak untuk
melakukan apa saja kepada kami.
Pelatihan itu memakan waktu selama
satu bulan. Setelah itu, satu per satu gadis di kamp dipaksa untuk
berpose telanjang, kemudian difoto. Foto-foto kami kemudian ditawarkan
kepada para calon pembeli, yang mayoritas adalah bangsawan dan pejabat
di negeri Utara. Dalam waktu sekejap, para gadis itu pun laku terjual
dengan harga yang cukup tinggi. Bahkan beberapa gadis yang diminati oleh
lebih dari satu orang, terpaksa harus dilelang untuk mendapatkan harga
tertinggi. Begitu pula dengan diriku, aku akhirnya dijual sebagai budak
kepada seorang bangsawan dengan harga yang sangat mahal, setelah proses
lelang yang cukup sengit, karena (kata mereka) kecantikanku memikat
banyak penawar.
Sebelum diantarkan ke pemilik baruku, tubuhku
dibersihkan dan diberi parfum. Rambutku yang panjang sepunggung
dirapikan. Rambut di ketiak dan kemaluanku dicukur hingga bersih,
sehingga kini vaginaku (menurut komentar mereka) terlihat seperti garis
tipis di atas gundukan daging yang putih mulus. Setelah itu, kedua
tanganku diposisikan di belakang punggung, lalu tubuhku diikat dengan
tali yang melintasi area di sekeliling payudara, punggung, serta
selangkangan. Hanya kakiku yang tidak diikat supaya aku masih dapat
berjalan.
Sebelum meninggalkan kamp tawanan, sang komandan
memperlihatkan sebuah amplop kepadaku, lalu salah satu penjaga
membukakan amplop itu dan menunjukkan isinya kepadku. Alangkah
terkejutnya diriku saat melihat kertas yang dipegang oleh penjaga
tersebut, yang ternyata isinya adalah foto ciciku, Jessica. Di foto itu
terlihat Jessica dalam posisi mengangkang di atas lantai semen, dengan
sebatang sapu yang menancap di vaginanya. Bahkan sekilas nampak daerah
kemaluannya itu sobek dari vagina sampai ke anusnya. Selangkangannya
bersimbah darah dengan jumlah yang sangat banyak. Sekujur tubuhnya
dipenuhi dengan luka memar akibat dipukuli dengan benda tumpul, terutama
di payudara dan pahanya. Puting susunya terlihat sobek dan di
sekitarnya terdapat luka seperti bekas sundutan rokok. Kedua matanya
terpejam, mungkin ia sudah tidak sadarkan diri, atau mungkin sudah
meregang nyawanya. Aku hanya dapat menangis sejadi-jadinya saat
mengetahui nasib ciciku yang malang. Sang komandan lalu mengeluarkan
secarik kertas lusuh dari amplop itu, lalu memperlihatkannya kepadaku.
Dear Catherine,
Mungkin waktu kamu baca surat ini, cici udah nggak ada lagi. Setiap
hari mereka memperlakukan cici seperti budak seks, cici juga gak tau
sampe berapa lama lagi cici bisa bertahan. Tapi cici mau kamu janji
untuk terus bertahan. Demi orang tua kita, Cath. Cici berharap supaya
nasib kamu gak seburuk cici. Satu lagi, cici mau kamu tau kalo cici
sayang banget sama kamu. Thanks buat semua yang udah kamu lakuin buat
cici selama kita masih bersama.With love,
Surat itu membuat
tangisanku semakin keras. Ingin rasanya aku menghajar mereka semua,
namun apa yang dapat aku perbuat dalam keadaan seperti ini? Masih dalam
keadaan berlinang air mata, si penjaga itu menarik tali yang mengikat
tubuhku, lalu menyeretku keluar menuju sebuah mobil box. Mobil itu
membawaku ke rumah sang pembeli, yaitu seorang pengusaha yang cukup
dipandang di negeri Utara. Sesampainya di sana, aku diturunkan dari
mobil itu dan digiring menuju pintu rumah.
“Selamat siang. Oh, kamu yang namanya Catherine?” tanya sang tuan rumah.
“Iya Om, eh maaf, iya Tuan,” jawabku, sesuai dengan yang diajarkan selama di kamp.
Setelah
menuntaskan proses penerimaan dan sebagainya, Tuan menggiringku masuk
ke rumahnya yang cukup besar, lalu memperkenalkanku kepada istri dan
anaknya.
“Bunda, perkenalkan, budak ini namanya Catherine. Mulai
hari ini Catherine akan ngerjain semua pekerjaan rumah. Kamu berhak
nyuruh dia ngapain saja. Dan kalau dia tidak patuh, kamu berhak ngehukum
dia. Catherine, panggil dia Nyonya.”
“Selamat siang, Nyonya,” sahutku, sambil berlutut di lantai.
Tuan
lalu memanggil anak lelakinya yang berusia 19 tahun. Ia nampaknya
terperanjat melihat sosok gadis cantik yang telanjang dan terikat di
depannya, sedang berlutut di hadapan kedua orangtuanya.
“Nak, ini
budak baru Ayah. Tenang aja, kamu boleh ambil dia sebagai istri kamu.
Tapi bukan berarti kamu tidak boleh menikah lagi. Ingat, dia hanya
budak, tentu tidak jadi masalah. Catherine, panggil anak saya Tuan
Muda.”
Aku agak kaget mendengar perkataan itu. Aku merasa
benar-benar terhina saat dianggap sebagai seonggok daging yang tidak
punya hak dan masa depan. Namun di sisi lain, sejujurnya aku mengagumi
sosok Tuan Muda yang cukup tampan. Tuan Muda tersenyum saat melihat
tatapan mataku yang memancarkan kepasrahan.
“Catherine, karena mulai sekarang kamu jadi milik kita, saya akan kasih tanda kepemilikan,” kata Tuan.
Beliau
lalu mengambil sebuah kotak yang berisi anting yang berbentuk lingkaran
seperti cincin, lalu berlutut di depanku. Aku tahu apa yang akan
terjadi, sehingga aku berusaha berdiri untuk menghindar, namun Nyonya
memegangi bahuku sehingga usahaku untuk berdiri pun gagal. Tuan lalu
mengambil anting dari kotak itu, lalu mendekatkan ujungnya yang tajam ke
puting susuku.
“Satu… dua… tiga!” Tuan memberikan aba-aba
sementara aku memejamkan mata erat-erat, berusaha untuk menahan rasa
sakit ketika ujung anting yang tajam itu menembus puting susuku.
Beberapa tetes darah mengalir dari puting susuku yang sebelah kanan, dan
akupun mengetahui bahwa putingku yang sebelah kiri akan mengalami
penderitaan serupa. Dengan cara yang sama, Tuan menindik puting susuku
yang sebelah kiri, lalu menarik-narik kedua anting itu sehingga aku
meringis kesakitan.
“Belum selesai, Cath. Masih ada satu lagi,”
ujar Tuan. Ia lalu membungkuk hingga kini mukanya berada di depan
kemaluanku yang terlihat seperti “garis tipis di atas bukit kecil yang
putih mulus”. Kemudian ia menggunakan jarinya untuk membuka vaginaku
sehingga bagian dalamnya yang berwarna merah muda terlihat. Dengan
jarinya, Tuan menjepit klitorisku, sehingga aku mengejang karena rasa
geli, baru kali itu daerah sensitifku disentuh oleh orang lain.
“Jangan, tolong jangan di situ, Tuan,” pintaku, saat menyadari bahwa daging kecil yang sensitif itu akan ditindik juga.
Tuan
tidak memperdulikan permohonanku, lalu menancapkan sebuah anting hingga
menembus klitorisku. Aku yang sedari tadi menahan jeritannya pun tidak
sanggup lagi, sehingga aku menjerit keras-keras akibat rasa sakit pada
kemaluanku.
“Selesai. Sekarang kamu resmi jadi milik kita. Bunda,
aku serahkan dia buat kamu. Kamu ajarin tugas-tugasnya di rumah ini,”
kata Tuan, sambil membuka tali-tali yang mengikat tubuhku
Hari
itu, aku diajarkan untuk mengerjakan berbagai pekerjaan rumah seperti
menyapu, mengepel, membersihkan perabot, dan macam-macam tugas lainnya
yang biasa dilakukan oleh pembantu rumah tangga. Sungguh miris rasanya,
karena semasa aku tinggal bersama keluargaku, kami memiliki pembantu
rumah tangga yang mengerjakan semuanya itu. Kini aku berada di posisi
sebagai pembantu, namun tanpa bayaran, bahkan tidak dianggap sebagai
manusia. Satu hal yang membuat aku bertanya-tanya, mengapa Nyonya tidak
risih saat suaminya membawa seorang gadis telanjang bulat ke rumahnya?
Atau paling tidak menyuruh diriku untuk menggunakan pakaian untuk
menutupi ketelanjanganku? Sekian bejatnya kah moral di negeri itu,
sehingga seorang wanita pun tidak risih saat melihat seorang gadis
telanjang berkeliaran di rumahnya?
Malam harinya, Tuan mengajakku
untuk turun ke ruang bawah tanah di rumah itu. Aku kaget bukan main saat
melihat isi ruangan itu. Ruangan yang dinding dan lantainya hanya
dilapisi semen itu diterangi oleh sebuah lampu kecil di tengah ruangan.
Di temboknya, terdapat rak yang berisi borgol, cambuk, tali, dan
alat-alat lainnya yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Di sudut
ruangan itu terdapat sebuah ranjang yang terbuat dari besi.
“Selamat
datang di kamar barumu, Catherine,” kata Tuan. Ia lalu menggandengku
menuju ranjang, lalu menyuruhku duduk sembari menunggu Tuan Muda turun
ke ruangan itu.
“Nak, Ayah beri kamu kesempatan untuk menikmati budak ini terlebih dahulu. Supaya nanti dia mengandung anak kamu. Cucu Ayah..”
Orang
tua macam apa ini, gumamku dalam hati. Orang tua mana yang menyuruh
anaknya yang masih muda untuk menyetubuhi gadis yang baru dikenalnya
hari itu. Namun aku bersyukur karena aku tidak harus melayani nafsu pria
tua di hadapanku ini, melainkan seorang lelaki yang masih muda dan
cukup tampan. Tuan Muda lalu melepaskan seluruh pakaiannya dan naik ke
atas ranjang, sementara ayahnya mengeluarkan sebatang rokok, lalu duduk
di kursi sambil menonton adegan itu. Tuan Muda memainkan jari tangan
kanannya di sekitar kemaluanku, sementara tangan kirinya meremas
payudaraku yang (katanya) tidak terlalu besar, namun padat dan sekal.
“Sssshh..
pelan-pelan ya Tuan,” pintaku yang dirundung oleh perasaan yang belum
pernah aku rasakan sebelumnya. Tuan Muda menggunakan tiga jarinya untuk
mengocok liang vaginaku dengan cepat. Sementara itu bibirnya mulai
melumat puting susuku, bahkan sampai digigit dan ditarik dengan giginya.
Tanpa aku sadari, penis yang berukuran tidak terlalu besar itu mulai
menembus masuk ke dalam vaginaku.
“Akhhhh…” dalam cerita dewasa
ini aku merintih pelan saat merasakan keperawananku ditembus oleh penis
Tuan Muda, sehingga kedua tanganku mencengkeram seprei dengan kuat.
Namun rasa sakit itu segera tergantikan dengan rasa nikmat yang luar
biasa. Ditambah dengan penampilan Tuan Muda yang bertubuh atletis dan
kulitnya agak putih untuk ukuran orang negeri Utara, tanpa sadar aku
mulai merancau dalam kenikmatan, sehingga aku lupa bahwa aku sedang
diperkosa. Namun karena rasa malu dan gengsi, aku berusaha untuk
menyembunyikan rasa nikmat itu dan membungkam mulutku. Genjotan penis
sang Tuan Muda makin lama makin cepat, membuat anting di puting susuku
bergoyang-goyang dengan cepat. Tuan Muda lalu melumat bibirku yang
mungil, sambil membisikkan ke telingaku,
“Enak gak, sayang?”
“Uuukhh, i-iya, enak Tuan, eh, ja-jangan Tuan, akhh..” jawabku yang kesulitan untuk memutuskan perasaanku sendiri.
“Pssstt.. panggil gue Axel aja. Tapi jangan ketahuan bokap.”
Setelah
beberapa menit, Axel mencengkeram kedua payudaraku dengan keras, lalu
penisnya menyemburkan sperma ke dalam rahimku. Ketika Axel mencabut
penisnya, darah keperawanan bercampur dengan sperma mengalir keluar dari
liang vaginaku yang kecil. Aku merasa lega karena perkosaan itu
ternyata tidak semenyakitkan yang aku bayangkan sebelumnya, ditambah
pemerkosanya yang cukup ganteng dan lembut. Namun kelegaanku sirna
ketika Axel turun dari ranjang itu, lalu posisinya digantikan oleh
ayahnya. Aku merinding saat melihat sosok Tuan yang sudah telanjang.
Perutnya yang buncit dan berbulu membuatku jijik, apalagi penisnya yang
jauh lebih besar dibandingkan milik Axel. Perawakan Tuan tidak membuatku
bernafsu sama sekali, namun apa boleh buat, aku telah bersumpah untuk
melayaninya, atau aku akan menerima hukuman.
“Kamu semakin
menggairahkan dalam keadaan horny, Catherine. Dasar perempuan sundal.
Sayang sekali aku gak bisa perkosa memekmu itu. Kalau nanti kamu hamil,
aku bingung itu anakku atau cucuku. Jadi lebih baik aku coba lubang yang
lain ya,” kata sang Tuan. Mengetahui maksud bejatnya, aku menggelengkan
kepalanya, namun Tuan tetap memposisikan kedua kakiku hingga
mengangkang, lalu menempatkan kedua telapak kakiku di pundaknya. Tuan
lalu menggunakan kedua jempol tangannya untuk merekahkan lubang pantaku,
kemudiakan mengarahkan penisnya ke lubang yang sangat sempit itu.
“Aaaaaaaahhh
sakitttt, Tuan, tolonggg jangannnn!” jeritku saat merasakan anusku
dimasuki oleh sebatang penis raksasa, walaupun baru ujungnya yang masuk.
Tuan lalu memaksakan penisnya untuk mendobrak masuk ke dalam anusku,
walaupun aku yakin Tuan merasakan sedikit rasa perih pada penisnya
ketika bergesekkan dengan dinding anusku yang kering. Aku juga merasakan
perih yang luar biasa, serasa anusku akan sobek sebentar lagi. Setelah
terbiasa, Tuan mulai menggenjot anusku dengan sangat cepat, berbeda
dengan perlakuan Axel yang halus. Aku merasakan sakit yang luar biasa
pada pantatku selama lebih dari 15 menit, sebelum Tuan membalikkan
tubuhku dan memposisikan tubuhku hingga menungging.
“Plak! Plakk!”
terdengar suara tamparan yang berasal dari pertemuan tangan Tuan dengan
bongkahan pantatku. Kedua belah pantatku merasa sakit dan panas. Sambil
meremas-remas pantatku, Tuan kembali menyodokkan penisnya ke lubang
pantatku, yang kusambut dengan jeritan kesakitan lainnya. Setelah
beberapa menit, akhirnya Tuan menyemprotkan spermanya ke dalam liang
duburku. Ia lalu mengeluarkan penisnya yang kini berlumuran darah yang
berasal dari bagian dalam anusku yang terluka. Aku tetap meringkuk
kesakitan sambil memegangi pantatku, walaupun benda raksasa itu sudah
tidak lagi berada di dalam anusku, namun rasa perih yang tak tertahankan
masih tersisa. Tuan bangkit dari kasur itu dan menyuruhku untuk
membersihkan penisnya dengan lidahku. Dengan perasaan jijik, kukulum
penis yang berlumuran sperma, darah, dan kotoranku sendiri.
“Luar
biasa budak ini, nggak sia-sia aku kelurin duit banyak buat dia!” ujar
sang Tuan kepada anaknya. Mereka berdua lalu mengenakan kembai
pakaiannya, lalu menaiki anak tangga untuk keluar dari basement,
meninggalkan diriku yang masih merintih kesakitan akibat disodomi.
Aku sedang menyeterika pakaian ketika Nyonya tiba-tiba menepuk pundakku dengan keras.
“Kamu kira saya nggak tau apa yang terjadi semalam?” bentak Nyonya.
“Engg.. Ampun, Nyonya, s-saya…”
“Kamu nggak puas udah dapetin anak saya, sampe suami saya kamu embat
juga? Dasar pelacur brengsek!” omel Nyonya, sambil menampar pipiku
hingga meninggalkan bekas merah.
“Bukan begitu, Nyonya, saya dipaksa…”
“Sudah, jangan banyak alasan kamu.”
Nyonya lalu menyeretku menuju ruang bawah tanah tempat aku diperkosa semalam. Saat itu di rumah hanya ada Nyonya dan aku.
“Sekarang saya mau lihat kamu kayang di lantai,” ujar Nyonya.
“Buat apa, Nyonya?”
“Makin banyak kamu tanya, makin banyak hukuman yang kamu terima, bodoh!”
Takut
akan ancaman Nyonya, aku pun berjongkok, kemudian merentangkan badanku
ke belakang, lalu memposisikan kedua telapak tanganku di atas lantai, di
sisi kepala. Pantatku terangkat sekitar 20 cm dari lantai. Supaya
badanku tidak jatuh ke lantai, Nyonya mengikatkan tangan dan kakiku ke
gelang besi yang menyatu dengan lantai, yang memang sudah disiapkan atas
keinginan Nyonya. Dalam posisi seperti itu, payudaraku terlihat mencuat
ke atas sehingga nampak lebih besar dari aslinya. Daerah kewanitaanku
terlihat jelas akibat posisiku yang sedikit mengangkang. Kemudian Nyonya
mengambil cambuk dari rak. Cambuk itu terbuat dari kulit berwarna
hitam, dan memiliki 9 hingga 10 cabang. Beliau menyentuhkan ujung cambuk
itu ke mukaku yang menatap dengan penuh ketakutan.
“Ini hukuman buat pelacur yang berani-beraninya menggoda suami saya,” ujar Nyonya.
Kemudian
Nyonya mengangkangkan kakinya sehingga tubuhnya tepat berada di atas
kepalaku, lalu mengayunkan cambuk itu ke arah vaginaku.
“Ctarrrr!”
“Aaaaaaakkkkhhhhhhh!” aku menjerit sekeras-kerasnya. Daerah kemaluanku
terasa sangat panas dan perih. Belum sempat rasa perih itu berkurang,
sebuah cambukan kembali mendarat di tempat yang sama.
“Aaaaaa a-ampunnnn, sakitttt!”
“Ctarrr!”
“Please stoooopppp… Nggak tahannn..”
Nyonya kemudian berpindah posisi ke samping tubuhku, lalu kembali mengayunkan cambuknya, kali ini ke arah payudarku.
“Ctarrrr!”
“Sssshhh….akhhh!” jeritanku yang kesakitan bercampur dengan isak tangis.
Pantatku yang tadi berada 20 cm dari lantai, kini terjatuh sehingga
tubuhku menyentuh lantai.
“Setiap kali pantat montokmu itu
menyentuh lantai, saya akan tambahkan 10 cambukan buat kamu, Catherine,”
ujar Nyonya sambil tersenyum lebar. Aku pun segera mengangkat pantatku
dari lantai, dan dalam sekejap sebuah cambukan kembali mendarat di
tubuhku, kali ini di lekukan pinggul, kemudian di paha. Setiap kali
tubuhku terasa akan jatuh ke lantai akibat rasa sakit yang aku alami,
aku cepat-cepat mengangkat pantat sejauh mungkin dari lantai, dan
secepat itu pula cambukan demi cambukan kembali melukai tubuhku. Lima
belas menit itu terasa seperti seabad bagiku yang tidak henti-hentinya
menangis dan menjerit setiap kali jalinan cambuk itu menghantam tubuhku.
Nyonya tersenyum puas saat melihat penderitaan budaknya ini, seakan ia
memiliki kendali penuh atas nasib gadis cantik di hadapannya. Saat
itulah aku menyadari bahwa majikanku itu memiliki kelainan seks, yaitu
suka menyiksa wanita lain.
Rasa sakit yang terus-menerus aku
rasakan membuatku tidak sadar kalau Nyonya sudah berhenti mencambuki
tubuhku. Kini beliau sedang menghampiri rak di dinding ruangan itu untuk
mengambil sesuatu, yang ternyata adalah sebuah vibrator berwarna putih
yang bentuknya seperti mikrofon untuk karaoke, dengan diameter kepalanya
sekitar 6 cm. Selain itu, Nyonya juga mengambil sebuah bungkusan yang
berisi pil, serta sebuah baskom. Kemudian Nyonya menghampiri diriku yang
masih sesenggukan, lalu melepaskan ikatan pada tangan dan kakiku. Aku
disuruh untuk berlutut dengan pinggul yang terangkat, sehingga kini
kepalaku berada sejajar dengan pinggul Nyonya. Kedua tanganku kemudian
diangkat ke atas dan diikatkan dengan tali yang tersambung ke katrol
yang menempel di langit-langit ruangan. Ketekku yang mulus tanpa sehelai
rambut pun terlihat dengan jelas. Nyonya kemudian memasukkan pil-pil
yang tadi diambilnya ke dalam muluku, lalu memaksaku menelannya tanpa
diberi tahu untuk apa pil tersebut. Lalu Nyonya berlutut di depanku,
mengambil vibrator yang telah ia siapkan, dan menempelkan kepala
vibrator itu ke atas selangkangaku. Akumerasa geli akibat getaran
vibrator itu. Vibrator tersebut kemudian digerakan semakin lama semakin
mendekat ke bibir vaginaku, hingga akhirnya menyentuh klitorisku yang
ditindik dengan anting. Ransangan pada klitorisku membuat diriku
melonjak kegelian, serta mulutku mengeluarkan desahan pelan. Nyonya
memainkan vibrator itu di sekujur vaginaku, bahkan beliau
menyodok-nyodokkannya ke bagian dalam vaginaku, sehingga pinggulku
berguncang-guncang dengan hebat. Perlahan tapi pasti, ransangan pada
vaginaku mengantarkanku hingga mencapai orgasme. Cairan putih meleleh
keluar dari vaginaku, mengalir melewati pahaku menuju ke lantai.
“Dasar
pelacur murahan, cepat sekali kamu terangsang,” ejek Nyonya. “Sekarang
karena kamu sudah mengotori lantai ini dengan cairan dari memekmu , kamu
harus menerima hukuman lagi.” Aku mengira akan menerima
cambukan-cambukan lagi, namun ternyata aku salah. Setelah beberapa saat,
aku merasakan dorongan yang sangat kuat untuk kencing, namun aku
berusaha untuk menahannya. Rupanya Nyonya mengetahui hal tersebut,
karena ternyata pil yang tadi diberikan tadi adalah pil untuk
menstimulasi keluarnya urin dalam jumlah yang banyak. Melihat gelagatku
tersebut, Nyonya mendekatkan baskom yang telah ia siapkan ke dekat
lututku. Benar saja, tidak lama kemudian dari kemaluanku menyembur
cairan kekuningan yang langsung ditampung oleh baskom di bawahnya. Air
kencingku hampir memenuhi baskom yang cukup besar itu, sehingga bau
pesing mulai tercium di ruangan itu. Setelah kencingku habis, Nyonya
mengangkat baskom itu dari lantai, lalu mendekatkannya ke wajahku.
“Saya
terlalu malas untuk memindahkan baskom ini ke toilet di atas. Jadi
sebaiknya kamu habiskan isinya, Catherine,” perintah sang Nyonya. Aku
merasa enggan untuk meminum urinku sendiri, namun Nyonya menempelkan
mulut baskom itu ke bibirku, sehingga isinya mulai mengalir membasahi
mulut dan daguku. Kemudian Nyonya menekan pipiku dan memaksaku untuk
membuka mulut. Karena takut akan hukuman lebih lanjut, aku akhirnya rela
membuka mulutnya. Dengan penuh rasa jijik dan sambil menahan nafas, aku
menegak air kencingku sendiri yang mengalir dari baskom itu ke
kerongkonganku. Air kencing itu sampai luber keluar dari mulutku yang
mungil, mengalir menuju dagu, kemudian membasahi lantai. Setelah
setengah baskom itu habis kutenggak, Nyonya menarik baskom itu dari
mulutku, lalu menuangkan sisanya ke atas kepalaku. Rambutku basah oleh
cairan berbau pesing itu, demikian juga dengan sekujur muka dan sebagian
badanku. Aku merasakan jijik yang teramat sangat, belum pernah terpikir
sebelumnya bahwa aku akan dimandikan dengan air kencingku sendiri.
Melihat ekspresiku, sang Nyonya tertawa kesenangan karena telah berhasil
menyalurkan hasratnya yang selama ini hanya ia fantasikan dalam
benaknya.
Seolah tidak puas menyiksa budaknya, Nyonya kemudian mengambil kembali cambuknya, lalu mengelus-elus punggung dan pantatku.
“Sayang nih, bagian belakang kamu masih bersih. Saya warnai merah ya,” ujar Nyonya.
Beliau
kemudian berdiri menjauh dari tubuhku, lalu mengayunkan cambuknya ke
punggungku yang agak basah karena terkena air kencing tadi
“Aaaaaakhhh sudah Nyonya, hentikan,” ucapku dengan pelan, lelah akan perlakuan kejam yang kuterima selama hari itu.
Tentu
saja Nyonya belum puas sebelum punggung, pantat, dan pahaku dihiasi
oleh garis-garis merah yang menandakan kesakitan bagiku, namun
melambangkan kemenangan bagi Nyonya. Cambukan demi cambukan mendarat di
bagian belakang tubuhku. Jeritanku yang terdengar menyayat hari terus
terdengar dari ruang bawah tanah itu sampai akhirnya hari mulai sore.
Nyonya melepaskan ikatan pada tanganku, kemudian menyuruh aku berdiri,
setelah itu kami berdua menaiki tangga untuk meninggalkan ruangan
tersebut.
“Awas kalau kamu menggoda suami saya lagi. Nih, untuk
mencegah suami saya supaya nafsu sama kamu, mulai sekarang pakai celana
dalam!” ujar Nyonya, sambil menyerahkan celana dalam berwarna putih
kepadaku. Aku pun segera memakai celana dalam tersebut, namun ternyata
ukurannya agak sempit, sehingga gundukan vagina dan belahan pantatku
masih dapat terlihat dengan jelas dari luar. Paling tidak kini daerah
kemaluanku tertutup setelah sebulan lebih tidak ditutupi sehelai benang
pun, pikirku dalam hati.
Namun ternyata celana dalam itu
mendatangkan masalah baru bagiku. Keesokan harinya, ketika aku sedang
mencuci piring di dapur, Nyonya menyelinap ke belakangku, lalu menarik
bagian depan celana dalamku dan memasukkan dua buah vibrator yang
berbentuk seperti peluru kecil ke dalamnya. Nyonya kemudian menyelipkan
tangannya ke dalam CDku, lalu memposisikan vibrator tadi ke dalam
vaginaku. Dengan menggunakan sebuah remote control, Nyonya menyalakan
vibrator itu hingga bergetar di dalam vaginaku.
“Ssssshhh..ahhh
j-jangannn…” Getaran itu memberikan ransangan yang membangkitkan
gairahku. Ingin rasanya aku menikmati ransangan tersebut, namun karena
aku harus tetap melakukan pekerjaan rumah dalam keadaan terangsang
seperti itu, kenikmatan tersebut malah berubah jadi penderitaan bagiku.
Aku harus menahan gairah supaya cairan kewanitaanku tidak membasahi
celana dalam.
Hampir setiap hari Nyonya menyiksaku dengan cara
seperti itu, bahkan kadang-kadang beliau memasukkan 3 hingga 4 vibrator
kecil ke dalam vaginaku atau lubang pantatku. Untuk menambah
penderitaaku, seringkali Nyonya menjepitkan beberapa penjepit baju yang
terbuat dari kayu di puting susuku dan area sekitarnya, kadang-kadang
juga di bibir vaginaku. Dalam keadaan seperti itu aku tetap harus
menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah yang dipaksakan kepadaku. Ketika
suatu saat aku ketahuan mengeluarkan vibrator dan jepitan itu dari dalam
vaginaku, Nyonya menyuruhku untuk berdiri menghadap tembok dan
menempelkan seluruh tubuhku ke tembok itu. Kemudian Nyonya memeloroti
celana dalamku hingga ke paha, sehingga pantatku terpampang di hadapan
Nyonya. Setelah itu, beliau memukuli pantatku dengan talenan yang
terbuat dari kayu, sehingga kedua bongkahan daging itu menjadi merah
padam. Tangisanku yang kesakitan nampaknya menjadi musik yang merdu bagi
telinga Nyonya yang masochist itu, membuatnya ingin menyiksa diriku
lebih lagi setiap harinya.
Segala penyiksaan dan perlakuan kejam
yang aku terima membuat satu tahun di rumah itu terasa sangat lama.
Lebih tepatnya sebelas bulan aku terkurung di tempat yang mungkin lebih
kejam dari neraka itu. Nyonya selalu menemukan cara-cara baru untuk
menyakiti tubuhku. Mulai dari ikat pinggang berujung logam sampai rotan
kasar telah menorehkan garis-garis merah di sekujur tubuhku. Memang luka
tersebut dapat hilang, namun rasa trauma di batinku nampaknya akan
selalu membekas. Ditambah perlakuan dari Tuan yang maniak seks. Tidak
hanya aku harus melayani pria tua itu, kadang-kadang aku juga harus
melayani teman-temannya yang tidak kalah menyebalkan. Karena dilarang
untuk memperkosa vaginaku, mereka mengeksploitasi lubang pantat, mulut,
belahan dada, atau bagian tubuh manapun yang dapat mereka nikmati.
Selain penis-penis yang menjijikan, mereka juga memasukkan barang-barang
lain ke vagina dan anusku, mulai dari mentimun, tongkat kayu, hingga
paku panas.
Namun satu hal yang membuatku bertahan tidak lain
adalah Axel. Ada yang berbeda dengan caranya membelai tubuhku dengan
lembut, mengecup keningku dengan mesra, serta mengusap luka-luka di
tubuhku dengan halus. Ia sangat tahu bagaimana cara meluluhkan hati
seorang wanita yang hancur sepertiku. Walaupun tindakan-tindakan baik
itu dilanjutkan dengan adegan di mana aku harus melayani hasrat seksnya,
aku sama sekali tidak keberatan. Lagipula ia melakukannya dengan cukup
halus dan “menyenangkan”. Semakin Axel memikat hatiku, semakin dalam aku
terjebak dalam dilema. Apakah aku benar-benar mencintai orang yang
seharusnya jadi musuhku ini? Mengapa seolah Axel dapat memberikan apa
yang selama ini tidak aku dapatkan dari pacarku? Apakah Axel benar-benar
menyayangiku, atau ia hanya ingin menikmati tubuhku sama seperti
orang-orang lain?
Lamunanku buyar saat pintu basement itu dibuka
dengan keras oleh Tuan & Nyonya. Saat itu masih pagi sekali, tanggal
14 Februari. Tepat satu tahun semenjak aku meninggalkan kehidupan
lamaku.
“Selamat hari Valentine, cantik,” ujar Tuan, dengan nada
yang memuakkan seperti biasanya. Ia membawa sebuah kardus yang diikat
dengan pita, layaknya sebuah kado. Aku segera membuka “kado” itu setelah
diperintahkan. Ternyata isinya adalah lilin-lilin besar berwarna merah,
dengan diameter sekitar 5 cm. Seolah tahu bahwa aku akan segera
menghindar, Tuan & Nyonya cepat-cepat meraih tangan dan kakiku, lalu
mengikatnya ke empat sudut ranjang besi tempatku duduk. Kini tubuhku
terentang menyerupai huruf X, posisi yang sangat ideal untuk dianiaya.
Tidak lupa mereka memeloroti celana dalamku yang lusuh itu.
“Kamu
tahu kan kalau Valentine identik dengan lilin?” ujar Tuan sambil
menyalakan salah satu lilin itu dengan korek, lalu menunggu beberapa
saat sampai lilin itu mulai cair. Mengetahui bahwa usahaku untuk bangun
akan sia-sia, aku hanya menarik nafas panjang, bersiap untuk kembali
disakiti, seperti yang sudah-sudah.
“Aaaaakkhhh panasss!” teriakku
saat tetesan lilin pertama jatuh tepat di atas puting susuku yang
sebelah kanan. Dilanjutkan dengan beberapa tetes di puting susu sebelah
kiri, kali ini dari tangan Nyonya. Aku hanya dapat menggeliat-geliat
seperti cacing (yang memang) kepanasan untuk menahan rasa sakit itu.
Rasa sakitnya semakin parah saat lilin itu menetes di bekas-bekas luka
cambukan dan pukulan sebelumnya. Namun yang paling parah adalah saat
selangkanganku menjadi arena permainan mereka. Lilin itu menetes di
bibir vaginaku, mengalir masuk ke dalam liang kemaluanku yang sengaja
direkahkan oleh Nyonya. Sangkaku penyiksaan ini tidak dapat lebih sakit
dari itu, namun ternyata dugaanku salah saat Tuan menancapkan lilin itu
dalam-dalam ke lubang vaginaku. Diameter lilin yang cukup lebar itu
menyesakkan vaginaku yang nampak tidak muat untuk dimasuki benda sebesar
itu. Ditambah dengan panasnya batang lilin itu, vaginaku merasakan
penderitaan yang tak terkira. Mereka membiarkan lelehan lilin itu
mengalir dan melekat di dinding vaginaku, sementara mereka kembali
menetesi payudaraku dengan lilin lainnya. Setelah jumlah tetesan itu
cukup banyak, mereka menempatkan sebatang lilin di atas masing-masing
payudaraku, serta membiarkan lelehannya memenuhi gundukan payudaraku
sampai ke perut.
“Sekarang kita punya chandelier yang bagus nih.
Ayo kita nikmati Valentine dinner, eh breakfast kita, Ma!” kata Tuan. Ia
benar-benar gila. Mereka benar-benar gila. Kini mereka menikmati
sarapan dengan diterangi lilin-lilin yang menancap di vaginaku dan di
atas payudaraku, sementara aku terus merintih kesakitan akibat panasnya
lelehan lilin-lilin itu. Luar biasanya, mereka membiarkanku dalam
keadaan seperti itu sampai mereka meninggalkan basement. Bagaimana bila
lilin itu habis dan membakar vagina dan dadaku?
Sebelum hal itu
terjadi, Axel turun ke ruangan nahas itu sambil membawa kado lainnya.
Palingan sex toys lainnya, pikirku dalam hati. Axel lalu menghampiriku,
lalu meniup semua lilin itu dan mengangkatnya dari tubuhku.
“Thanks ya Axel,” ujarku lirih.
“Jangan terima kasih dulu, kamu belum buka kadonya kan.”
Setelah
Axel melepaskan ikatan-ikatanku, segera kubuka kado dari Axel. Di luar
dugaanku, ternyata isinya jauh dari yang kubayangkan. Kotak itu berisi
kaos, celana legging, pakaian dalam, dan jaket hoodie.
“Ini buat apa?” tanyaku, seorang gadis yang sebagian besar bugil selama setahun terakhir.
“Cepat kamu pakai ini. Mumpung Ayah & Ibu sedang keluar belanja.”
Dengan
muka bingung, aku bangkit dan membersihkan bekas lilin di tubuhku
seadanya. Vaginaku masih terasa sangat perih saat pahaku bergerak.
“Jujur,
kamu lebih cantik kalau pake baju,” ujar Axel setelah aku mengenakan
pakaian yang diberikannya. Aku tersenyum kecil, namun pikiranku masih
dipenuhi dengan tanda tanya, sampai Axel akhirnya menjelaskan semuanya.
“Kamu bikin aku jatuh cinta beneran, Catherine. Dan aku gak bisa
biarinin orang yang aku sayang terus menerus disakiti oleh orang-orang
gila. Sekarang, tutupi kepala kamu dengan hoodie-nya biar aman, kita
pergi dari sini.”
“Bagaimana kalau Tuan & Nyonya tahu?”
“Gak usah kuatir, Catherine. Aku yang tanggung jawab. Entah gimana caranya.”
Kami
berdua lalu masuk ke dalam mobil, kemudian Axel menyetir mobil itu
menyusuri jalan-jalan yang tidak pernah aku ketahui. Lebih tepatnya aku
memang sama sekali tidak mengetahui keadaan di luar rumah itu. Perasaan
campur aduk memenuhi batinku. Yang pasti, aku merasa luar biasa bahagia
setelah terbebas dari perbudakan yang kejam itu. Ternyata masih ada yang
menjawab doa-doaku. Namun yang membuatku lebih bahagia adalah
mengetahui bahwa Axel benar-benar mencintaiku, bukan sebagai budaknya,
namun layaknya wanita yang seharusnya diperlakukan dengan penuh kasih
sayang. Bahkan dengan keadaan tubuhku yang tidak lagi mulus, serta
lubang pantatku yang bentuknya tak karuan. Entah ke mana ia membawaku
pergi, aku merasa lebih aman saat ia di sisiku.
Untuk Melihat Video Selengkapnya Klik Dibawah Ini :
Posted By : www.nusacash.co
No comments:
Post a Comment