Bandar Ceme Terbaik - Skandal Seksku Dan Adik Iparku Di Dalam Keluarga - Tiap kali beronani, yang saya bayangkan adalah wajah Mbak Maya atau si
bungsu Rosi, bergantian. Rosi telah tumbuh menjadi gadis yang
benar-benar matang. Montok, lincah. Cantik penuh gairah, dan terkesan
genit. Meskipun masih bersikap manja terhadap saya, tetapi sudah tidak
pernah lagi bergayutan di tubuh saya seperti semasa saya ngapelin
kakaknya. Saya sering mencuri pandang ke arah payudaranya. Ukurannya
sangat saya idealkan. Sekitar 34. Punya istri saya sendiri hanya 32.
Bandar Ceme Terpercaya - Seringkali, di balik baju seragam SMU-nya saya lihat gerakan indah
payudara itu. Keinginan untuk melihat payudara itu begitu kuatnya. Tapi
bagaimana? Mengintip? Di mana? Kamar mandi kami sangat rapat. Letak
kamar saya dengannya berjauhan. Dia menempati kamar di sebelah gudang.
Yang paling ujung kamar Mak Jah, pembantu kami. Setelah kamar Mayang,
kakak Rosi, baru kamar saya. Kamar kami seluruhnya terbuat dari tembok.
Sehingga tak mugkin buat ngintip. Tapi tunggu! Saya teringat gudang. Ya,
kalau tidak salah antara gudang dengan kamar Rosi terdapat sebuah
jendela. Dulunya gudang ini memang berupa tanah kosong semacam taman.
Karena mertua butuh gudang tambahan, maka dibangunlah gudang. Jendela
kamar Rosi yang menghadap ke gudang tidak dihilangkan. Saya pernah
mengamati, dari jendela itu bisa mengintip isi kamar Rosi.
Sejak itulah niat saya kesampaian. Saya sangat sering diam-diam ke
gudang begitu Rosi selesai mandi. Memang ada celah kecil tapi tak cukup
untuk mengintip. Karenanya diam-diam lubang itu saya perbesar dengan
obeng. Saya benar-benar takjub melihat sepasang payudara montok dan
indah milik Rosi. Meski sangat jarang, saya juga pernah melihat kemaluan
Rosi yang ditumbuhi bulu-bulu lembut.
Tiap kali mengintip, selalu saya melakukan onani sehingga di dekat
lubang intipan itu terlihat bercak-bercak sperma saya. Tentu hanya saya
yang tahu kenapa dan apa bercak itu. Keinginan untuk menikmati tubuh
Rosi makin menggelayuti benak saya. Tetapi selalu tak saya temukan
jalan. Sampai akhirnya malam itu. Mertua saya meminta saya mendampingi
Rosi untuk menghadiri Ultah temannya di sebuah diskotik. Ibu khawatir
terjadi apa-apa. Dengan perasaan luar biasa gembira saya antar Rosi.
Istri saya menyuruh saya membawa mobil. Tapi saya menolak. “Kamu kan
harus detailing. Pakai saja. Masa orang hamil mau naik motor?” Padahal
yang sebenarnya, saya ingin merapat-rapatkan tubuh dengan Rosi.
Kami berangkat sekitar pukul 19.00. Dia membonceng. Kedua tangannya
memeluk pinggang saya. Saya rasakan benda kenyal di punggung saya.
Jantung saya berdesir-desir. Sesekali dengan nakal saya injak pedal rem
dengan mendadak. Akibatnya terjadi sentakan di punggung. Saya pura-pura
tertawa ketika Rosi dengan manja memukuli punggung saya.
“Mas Andy genit,” katanya.
Pada suatu ketika, mungkin karena kesal, Rosi bahkan tanpa saya duga sengaja menempelkan dadanya ke puggung saya. Menekannya.
“Kalau mau gini, bilang aja terus terang,” katanya.
“Iya iya mau,” sahut saya.
Tidak ada tanggapan. Rosi bahkan menggeser duduknya, merenggang. Sialan.
Malam itu Rosi mengenakan rok span ketat dan atasan tank top, dibalut jaket kulit. Benar-benar seksi ipar saya ini.
Di diskotik telah menunggu teman-teman Rosi. Ada sekitar 15-an orang.
Saya membiarkan Rosi berabung dengan teman-temannya. Saya memilih duduk
di sudut. Malu dong kalau nimbrung. Sudah tua, ihh. Saya hanya mengawasi
dari kejauhan, menikmati tubuh-tubuh indah para ABG. Tapi pandangan
saya selalu berakhir ke tubuh Rosi. She is the most beautiful girl. Di
antara saudara istri saya Rosi memang yang paling cantik. Tercantik
kedua ya Mbak Maya, baru Yeni, istri saya. Mayang yang terjelek.
Tubuhnya kurus kering sehingga tidak menimbulkan nafsu.
Sesekali Rosi menengok ke arah tempat duduk saya sambil melambai.
Saya tersenyum mengangguk. Mereka turun ke arena. Sekitar tiga lagu Rosi
menghampiri saya.
“Mas Andy udah pesan minum?” tanyanya.
Dagu saya menunjuk gelas berisi lemon tea di depan saya. Saya tak berani
minum minuman beralkohol, meski hanya bir. Saya pun bukan pecandu.
“Kamu kok ke sini, udah sana gabung temen-temen kamu,” kata saya.
Janjinya Rosi dkk pulang pukul 22.00. Tadi ibu mertua juga bilang supaya pulangnya jangan larut.
“Nggak enak liat Mas Andy mencangkung sendirian,” kata Rosi duduk di sebelah saya.
“Sudah nggak pa-pa.”
“Bener?” Saya mengangguk, dan Rosi kembali ke grupnya.
Habis satu lagu, dia mendatangi saya. Menarik tangan saya. Saya memberontak.
“Ayo. Nggak apa-apa, sekalian saya kenalin ama temen-temen. Mereka juga yang minta kok.”
Saya menyerah. Saya ikut saja bergoyang-goyang. Asal goyang. Dunia
diskotik sudah sangat lama tidak saya kunjungi. Dulupun saya jarang
sekali. Hampir tidak pernah. Saya ke diskotik sekedar supaya tahu saja
kayak apa suasananya.
Sesekali tangan Rosi memegang tangan saya dan mengayun-ayunkannya. Musik
bener-benr hingar-bingar. Lampu berkelap-kelip, dan kaki-kaki
menghentak di lantai disko. Sesekali Rosi menuju meja untuk minum.
Menjelang pukul 22.00 sebagian teman Rosi pulang. Saya segera mengajak Rosi pulang juga.
“Bentar dong Mas Andy, please,” kata Rosi.
Astaga. Tercium aroma alkohol dari mulutnya.
“Heh. Kamu minum apa? Gila kamu. Sudah ayo pulang.” Segera saya gelandang dia.
“Yee Mas Andy gitu deh.” Dia merajuk tapi saya tak peduli. Ruangan ini mulai menjemukan saya.
“Udah dulu ya bro, sis. Satpam ngajakin pulang neh.”
“Satpam-mu itu.”
Saya menjitak lembut kepala Rosi. Rosi memang minum alkohol. Tak tahu
apa yang diminumnya tadi. Dia pun terlihat sempoyongan. Saya jadi cemas.
Takut nanti kena marah mertua. Disuruh jagain kok tidak bisa. Tapi ada
senangnya juga sih. Rosi jadi lebih sering memeluk lengan saya supaya
tidak sempoyongn.
Kami menuju tempat parkir untuk mengambil motor. Saya bantu Rosi
mengenakan jaket yang kami tinggal di motor. Saya bantu dia mengancing
resluitingnya. Berdesir darah saya ketika sedikit tersentuk bukit di
dadanya.
“Hayoo, nakal lagi,” katanya.
“Hus. Nggak sengaja juga.”
“Sengaja nggak pa-pa kok Mas.”
Omongan Rosi makin ngaco. Dia tarik ke bawah resluitingnya.
Dan sebelum saya berkomentar dia sudah berkata, “Masih gerah. Ntar kalau dingin Rosi kancingin deh.”
Segera mesin kunyalakan, dan motor melaju meninggalkan diskotik SO.
Sungguh menyenangkan. Rosi yang setengah mabuk ini seakan merebahkan
badannya di punggung saya. Kedua tangannya memeluk erat perut saya.
Jangan tanya bagaimana birahi saya. Penis saya menegang sejak tadi. Dagu
Rosu disadarkan ke pundak saya. Lembut nafasnya sesekali menyapu
telinga saya. Saya perlambat laju motor. Benar-benar saya ingin
menikmati. Lalu saya seperti merasa Rosi mencium pipi saya. Saya ingin
memastikan dengan menoleh. Ternyata memang dia baru saja mencium pipi
saya. Bahkan selanjutnya dia mengecup pipi saya. Saya kira dia
benar-benar mabuk.
“Mas Andy, Rosi pengin pacaran dulu,” katanya mengejutkan saya.
“Pacaran sama Mas Andy? Gila kamu ya.” Penis saya makin kencang.
“Mau enggak?”
“Kamu mabuk ya?” Dia tak menjawab. Hanya pelukannya tambah erat.
“Mas..”
“Hmm”
“Mas masih suka coli?”
“Hus. Napa sih?”
“Pengen tahu aja. Mbak Yeni nggak mau melayani ya?”
“Tahu apa kamu ini.”
Saya sedikit berteriak. Saya kaget sendiri. Entah kenapa saya tidak suka
dia omong begitu, Mungkin reflek saja karena saya dipermalukan.
“Sorry. Gitu aja marah.” Rosi kembali mencium pipi saya.
Bahkan dia tempelkan terus bibirnya di pipi saya, sedikit di bawah telinga.
“Saya horny Ros.”
“Kapan? Sekarang? Ahh masak. Belum juga diapa-apain”
Saya raih tangannya dan saya taruh di penis saya yang menyodok celana
saya. Terperanjat dia. Tapi diam saja. Tangannya merasakan sesuatu
bergerak-gerak di balik celana saya.
“Pacaran ama Rosi mau nggak?” kata Rosi. Aroma alkohol benar-benar menyengat.
“Di mana? Lagian udah malam. Nanti Ibu marah kalau kita pulang kemalaman.”
“Kalau ama Mas Andy dijamin Ibu gak marah.”
“Sok tahu.”
“Bener. Ayuk deh. Ke taman aja. Tuh deket SMA I ajak. Asyik lagi. Bentar aja.”
Tanpa menunggu perintah, motor saya arahkan ke Taman KB di seberang SMU
I. Taman ini memang arena asyik bagi mereka yang seang berpacaran. Meski
di sekitarnya lalu lintas ramai, tapi karena gelap, yaa tetap enak buat
berpacaran.
Kami mencari bangku kosong di taman. Sudah agak sepi jadi agak mudah
mencarinya. Biasanya cukup ramai sehingga banyak yang berpacaran di
rumputan. Begitu duduk. Langsung saja Rosi merebahkan kepalanya di dada
saya. Saya tak mengira anak ini akan begini agresif. Atau karena
pengaruh alkohol makin kuat? Entahlah. Kami melepas jaket dan menaruhnya
di dekat bangku.
“Kamu kan belum punya pacar, kok sudah segini berani Ros?” tanya saya.
“Enak aja belum punya pacar.” Dia protes.
“Habis siapa pacar kamu?” Saya genggam tangannya. Dia mengelus-elus dada saya.
“Yaa ini.” Dia membuka kancing kemeja saya. Saya makin yakin dia diracuni alkohol. Tapi apa peduli saya. Inilah saatnya.
Saya kecup keningnya. Matanya. Hidung, pipi, lalu bibirnya. Dia
tersentak, dan memberikan pipinya. Saya kembali mencari bibirnya. Saya
kecup lagi perlahan. Dia diam. Saya kulum. Dia diam saja. Benarkah anak
ini belum pernah berciuman bibir dengan cowok?
“Kamu belum pernah melakukan ya?” kata saya.
Dia tak menjawab. Saya cium lagi bibirnya. Saya julurkan lidah saya.
Tangannya meremas pinggang saya. Saya hisap lidahnya, saya kulum. Tangan
saya kini menjalar mencari payudara. Dia menggelinjang tetapi
membiarkan tangan saya menyusiup di antara celah BH-nya. Ketika saya
menemukan bukit kenyal dan meremasnya, dia mengerang panjang. Kedua
kakinya terjatuh dari bangku dan menendang-nendang rumputan. Saya buka
kancing BH-nya yang terletak di bagian depan. Saya usap-usap lembut, ke
kiri, lalu ke kanan. Saya remas, saya kili-kili. Dia mengaduh. Tangannya
terus meremasi pinggang dan paha saya.
“Mas Andy..”
“Hmm”
“Please.. Please.”
Saya mengangsurkan muka saya menciumi bukit-bukit itu. Dia makin tak
terkendali. Lalu, srrt srrt..srrt. Sesuatu keluar dari penis saya.
Busyet. Masa saya ejakulasi? Tapi benar, mani saya telah keluar. Anehnya
saya masih bernafsu. Tidak seperti ketika bersetubuh dengan Yeni.
Begitu mani keluar, tubuh saya lemas, dan nafsu hilang. Saya juga masih
merasakan penis saya sanggup menerima rangsangan. Saya masih menciumi
payudara itu, menghisap puting, dan tangan saya mengelus paha,
menyelinap di antara celap CD. Membelai bulu-bulu lembut. Menyibak, dan
merasakan daging basah. Mulut Rosi terus mengaduh-aduh. Saya rasakan
kemaluan saya digeggamnya. Diremas dengan kasar, sehingga terasa sakit.
Saya perlu menggeser tempat duduk karena sakitnya. Agaknya dia tahu, dan
melonggarkan cengkeramannya.
Lalu dia membuka resluiting celana saya, merogoh isinya. Meremas kuat-kuat. Tapi dia berhenti sebentar.
“Kok basah Mas?” tanyanya. Saya diam saja.
“Ehh, ini yang disebut mani ya?”
Sejenak situasi kacau. Ini anak malah ngajak diskusi sih. Dia cium penis
saya tapi tidak sampai menempel. Kayaknya dia mencoba membaui.
“Kok gini baunya ya? Emang kayak gini ya?
“Heeh,” jawab saya lalu kembali memainkan kelaminnya.
“Asin juga ya?”
Dia mengocok penis saya dengan tangannya.
“Pelan-pelan Ros. Enakan kamu ciumin deh,” kata saya.
Tanpa perintah lanjutan Rosi mencium dan mengulum penis saya. Uhh,
kasarnya minta ampun, Tidak ada enaknya. Jauhh dengan yang dilakukan
Mbak Maya. Berkali-kai saya meminta dia untuk lebih pelan. Bahkan
sesekali dia menggigit penis saya sampai saya tersentak. Akhirnya saya
kembali ejakulasi. Bukan oleh mulutnya tapi karena kocokan tangannya.
Setelah itu sunyi. Saya lemas. Saya benahi pakaian saya. Dia juga
membenahi pakaiannya. Tampaknya dia telah terbebas dari pengaruh
alkohol. Wajahnya yang belepotan mani dibersihkan dengan tissu.
“Makasih pelajarannya ya Mas.” Dia mengecup pipi saya.
“Tapi kamu janji jaga rahasia kan?” Saya ingin memastikan.
“Iyaah. Emang mau cerita ama siapa? Bunuh diri?”
“Siapa tahu. Pokoknya just for us! Nobody else may knows.”
Dia mengangguk. Kami bersiap-siap pulang. Sepanjang perjalanan dia
memeluk erat tubuh saya. Menggelendot manja. Dan pikiran waras saya
mulai bekerja. Saya mulai dihinggapi kecemasan.
“Ros..”
“Yaa”
“Kamu nggak jatuh cinta ama Mas Andy kan? Everyting just for sex kan?”
“Tahu deh.”
“Please Ros. Kita nggak boleh keterusan. Anggap saja tadi kita sedang mabuk.” Saya menghentikan motor.
“Iya deh.”
“Bener ya? Ingat, Mas Andy ini suami Mbak Yeni.”
Dia mengangguk mengerti.
“Makasih Ros.” Saya kembali menjalankan motor.
“Apa yang terjadi malam ini, tidak usahlah terulang lagi,” kata saya.
Saya benar-benar takut sekarang. Saya sadari, Rosi masih kanak-kanak.
Masih labil. Dia amat manja. Bisa saja dia lepas kendali dan tak
mengerti apa arti hubungan seks sesaat. Lalu saya dengar dia
sesenggukan. Menangis. Untunglah dia menepati janji. Segalanya berjalan
seperti yang saya harapkan. Saya tak berani lagi mengulangi, meskipun
kesempatan selalu terbuka dan dibuka oleh Rosi. Saya benar-benar takut
akibatnya. Saya tidak mau menhancurkan keluarga besar istri saya. Tak
mau menghancurkan rumah tangga saya.
Saya hanya menikmati Rosi di dalam bayangan. Ketika sedang onani atau
ketika sedang bersetubuh dengan Yeni. Sesekali saja saya membayangkan
Mbak Maya.
Posted By : www.tugupoker.net
No comments:
Post a Comment