Agen Poker Online - Jilat Memekku Sampai Orgasme Mas - Aku baru saja merekrut sekretaris baru karena sekretarisku yang lama
sudah malas-malasan dan kurang profesional, apalagi setelah dia menikah.
Oh ya, hampir lupa, aku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang sedang
naik daun, tepatnya di sebuah bank swasta. Tak kuduga, sekretaris
baruku itu memang bukan saja masih perawan, tapi rajin, pintar dan yang
paling penting lagi adalah bodinya yang montok dan parasnya yang cantik,
dengan kulit putih bersih tanpa cela. Dari pandangan mata pertama kali
ketika kuwawancarai aku langsung terpikat dan dari sorot matanya serta
sikapnya terhadapku, aku juga faham jika dia suka padaku.
Agen Poker Terbaik - Wah, cocok deh, rasanya pada minggu pertama hari-hari di kantor
begitu indah dan rasanya sangat cepat berjalan. Namanya Indah Ningsih
Purwati, oh… rasanya kerjaku tambah bersemangat. Setiap kali dia datang
ke kamar kerjaku membawa surat atau minumanku, aku mulai menancapkan
busur-busur asmaraku dari mulai menggenggam tangannya, mencium hidung
dan keningnya tetapi masih cukup sopan, jangan sampai dia kaget atau
marah. Tapi aku yakin, dia pun ingin diperlakukan demikian karena
ternyata dia tak menolak bahkan kerjanya semakin rajin dan cekatan
bahkan tak pernah bolos (termasuk ketika datang matahari, eh datang
bulan).
Kupikir tak apa, malah aku senang, toh aku belum mau pakai, yang
penting bisa mencium bibirnya, hidungnya, keningnya dan dari hari ke
hari kami semakin tenggelam dalam asmara. Ketika itu, tahun 1982, dia
sudah punya pacar bahkan pacarnya terus memintanya untuk segera menikah.
Herannya, menurut pengakuannya, dia semakin benci dan tidak berniat
nikah dengan pacarnya itu. Weleh-weleh- weleh, rupanya jerat cintaku
telah merasuki jiwanya.
Sampai suatu hari (3 bulan kemudian), aku memberanikan diri untuk
mengajaknya pergi ke luar kota di hari minggu, karena tidak mungkin kami
mencurahkan cinta kasih kami di kantor. Dia setuju dan berjanji untuk
menungguku di sebuah pasar swalayan tak jauh dari rumahnya. Maka ketika
mobil kami meluncur di toll Jagorawi menuju Bogor dan kemudian ke
Pelabuhan Ratu Sukabumi, hati kami semakin berbunga-bunga sebab kami
akan dapat mencurahkan segalanya tanpa takut diketahui orang atau
pegawai lain di kantor maklum kedudukanku sebagai kepala cabang bank
swasta terkemuka di samping sudah beristeri dan beranak dua.
“Ning….” kataku pelan ketika mobilku keluar pintu toll.
“Ada apa Pak?” Ningsih menjawab manis, sambil melirikku.
“Sekarang jangan panggil bapak, panggil saja Papah, biar nanti orang
mengira kita ini suami-isteri. ” Dia mencubit pahaku sambil tersenyum
manja, dan tangannya kutahan untuk tetap memegang pahaku, dia mendelik
manja tapi juga setuju.
“Pah… kamu nakal deh”, sambil mencubit sekali lagi pahaku. Wah, rasanya
aku seperti terbang ke langit mendengar Ningsih mengatakan “Papah”
seperti yang kuminta.
Sebaliknya, aku pun mulai saat itu memanggil Ningsih dengan sebutan
“Mamah” dan kami saling memagut cinta sepanjang perjalanan ke Pelabuhan
Ratu itu, laksana sepasang sejoli yang sedang mabuk cinta atau pengantin
baru yang akan ber-“honey-moon” , sehingga tak terasa mobilku sudah
memasuki halaman Hotel Samudera Beach. Pelabuan Ratu yang berada di tepi
Samudra Hindia dengan ombaknya yang terkenal garang. Laksana suami
isteri, aku dan Ningsih masuk dan menuju “reception desk” untuk check-in
minta satu kamar yang menghadap ke laut lepas. Petugas resepsi dengan
ramah dan tanpa rewel (mungkin karena aku ber-Mamah-Papah dan terlihat
sebagai suami isteri yang sangat serasi, sama ganteng dan cantiknya)
segera memberikan kunci kamar, sambil minta seorang room-boy mengantar
kami ke ruangan hotel di lantai tiga kalau aku tak salah.
Segera kututup pintu kamar, di-lock sekaligus dan pesan supaya kami
tidak diganggu karena mau beristirahat. Aku dan Ningsih duduk berhadapan
di pinggir tempat tidur sambil tersenyum mesra penuh kemenangan.
Akhirnya, angan-angan yang selalu kuimpikan untuk berdua-duaan dengan
Ningsih ternyata terlaksana juga. Kukecup hidungnya, keningnya,
telinganya, Ningsih menggelinjang geli. Kusodorkan mulutku untuk meraih
mulutnya, dia terpejam manja dan ketika bibir kami bersentuhan dan
kuulurkan lidahku ke bibirnya, ternyata dia langsung menyedot dan
melumat lidahku dalam-dalam.
“Ooohhgghh, Paahh”, Ningsih mulai terangsang dan merebahkan badannya,
aku segera saja menggumulinya dan menaiki badannya, Ningsih melenguh
dan terpejam, kemaluanku bergesekan dengan selangkangannya dan bau harum
parfumnya semakin merangsang nafsuku.
“Paahh, kita buka pakaiannya dulu, nanti lecek.” Oh, harum sekali
mulutnya, kulumat habis wajahnya, kupingnya, jidatnya dan mulutnya.
“Paahh, bandel nih, kita buka dulu bajunya!” Aku masih terengah-engah
menahan nafsuku yang membara, kemaluanku semakin menegang menggesek
selangkangannya.
“OK Mahh… yuuk dibuka dulu.”
Karena sudah sama-sama ngebet, kami saling membukakan pakaian dan
setelah T-Shirt-nya kulepas, terlihat sepasang gunung menyembul putih,
dan mulus sekali. Kami berpandangan setelah tak selembar benang pun
menempel. Kudekap Ningsih yang mulus, putih, harum itu, kujilati
semuanya sambil berdiri, sementara kemaluanku sudah tegang memerah,
apalagi ketika Ningsih mulai meraba dan meremas batang kemaluanku.
Kutelentangkan dia di tempat tidur. Oh… betapa mulusnya badan Ningsih,
sempurna sekali seperti bidadari. Pinggulnya yang montok, buah dadanya
yang putih kencang dengan puting merona merah dan kemaluannya yang
dijalari rambut kemaluan yang tidak terlalu lebat jelas menampakkan
bentuknya yang sempurna tanpa cacat, dan kelentit yang merah terlihat
rapi dan belum menonjol keluar karena memang Ningsih masih perawan.
Kujilati dari ujung kaki sampai ujung jidatnya yang mulus, naik ke
atas, berhenti lama di bawah kemaluannya. Kumainkan lidahku di antara
selangkangannya, Ningsih melenguh, terus kukulum-kulum kemaluannya,
klitorisnya yang merah dan beraroma harum, tambah lama tambah merambah
ke dalam lubang kemaluannya yang merah.
“Ogghh, Paahh, geliii.., terusss Pahh, ogghh, tapi jangan terlalu dalam Pahh…, saakiiit.”
“Yaa, sayanggg”, sambil terus lidah dan mulutku mengulum kemaluan dan
kelentitnya yang mulai terasa agak asin karena cairan kemaluan Ningsih
mulai keluar.
“Ogghh, Paah…, adduuhh, Paahh, gelii, Pahh, Mamah kayaak maauu… ogghh.”
Aku terus menjilati seluruh kemaluannya dengan membabi buta, kuhirup
seluruh cairannya yang wangi itu, sekali-kali lubang pantatnya kujilati
dan Ningsih menggelinjang dan merintih setiap kali kujilat pantatnya.
Penisku semakin tegang dan keras, urat-uratnya terlihat jelas
menegang, aku tahan terus supaya tidak ejakulasi duluan. Aku ingin
memuaskan Ningsihku yang tentunya baru merasakan kenikmatan surga dunia
ini bersama lelaki yang dicintainya.
“Paahh, eemmggghh.., teruss… Paahh, geellii…, oooggghh…, Pappaahh
jaahhaatt!” aku masih saja terus melumat, memamah, menggigit-gigit kecil
lubang kemaluan dan klitorisnya yang merah dan beraroma wangi, dan
pantat Ningsih semakin cepat naik turun sepertinya mau agar lidahku
semakin masuk ke lubang kemaluannya.
“Paahh, naik Paahh, udaahh donnkk, Mamahh nggak tahaan”, sambil menarik tanganku.
Matanya terpejam ayam, buah dadanya yang putih, mulus dan mengkel
terlihat naik turun. Aku menaiki badannya dan penisku yang sudah seperti
besi terasa menggesek bulu kemaluannya dan menempel hangat disela-sela
kemaluannya yang semakin basah oleh ludahku dan cairan vaginanya.
Kuremas dan kuhisap buah dadanya, kukulum puting susunya yang merah
muda, terasa sedap dan manis. Ningsih menggelinjang dan semakin
melenguh.
“Maahh, masukin yaa, penis Papah”, dia mengangguk sambil tetap
terpejam. Kubidikan penisku yang sudah keras itu kelubang kemaluannya,
dan kujajaki sedikit-sedikit lubangnya, maklum Ningsih masih perawan,
aku tak ingin menyakitinya.
“PPPaahh, masukkaan cepatt… Mamah nggak tahan Paah aahh…” Kutancapkan
penisku lebih dalam, Ningsih merintih nikmat, pantatku naik turun untuk
mencari lubang kemaluannya yang masih belum tertembus penis itu, Ningsih
terus menggoyangkan pantatnya naik turun sambil terus merintih.
“Maahh, penis Papahh udahh masuukk, oogghh mahh, vaginanya lezat,
menyedot-nyedottt. .. penis…” aku mulai merasakan kenikmatan yang luar
biasa, karena disamping Ningsih masih perawan, vaginanya juga punya
keistimewaan yang sering disebut “empot-empot ayam” itu.
Tambah lama, penisku tambah melesak jauh ke dalam vagina Ningsih dan
ada beberapa tetes darah sebagai tanda keperawanannya diberikan
kepadaku, boss-nya, kekasih barunya. Oh, betapa bahagianya hati ini.
“Paahh, saakkiitt, Paahh, tapi enaak, oooggghh.. Paahh, terus, goyang
paahh…, oooghh, cepeetiinn paahh…” Aku semakin mempercepat goyangan
pantatku naik turun dan penisku sudah bisa masuk semuanya ke lubang
kemaluan Ningsih.
Aku bangun dan duduk sambil kupeluk Ningsih untuk duduk
berhadap-hadapan dengan tidak melepaskan penisku. Ningsih duduk di
pangkuanku dengan kaki melonjor ke belakang pantatku. Penisku terus
menancap di vaginanya dan Ningsih mulai menaik-turunkan pantatnya.
“Paahh, oggghh… pahh”, sambil melumat bibirku dan menggigitnya.
“mmaahh,oogghh, aememmhh… maahh, goyang terusss…, Papah mau keluarrrr.”
Ningsih semakin beraksi menaik turunkan pinggulnya yang bahenol dan
putih bersih dan aku pun meladeninya dengan menaik-turunkan pantat dan
penisku semakin kencang juga.
“Pppaahh… Papahh harus tanggung jawab yaa, kalau Ningsih hamil”, ucapnya di sela-sela nafasnya yang semakin ngos-ngosan.
“Ningsiha… emmhhggg, sayang Pappaahh… biarin mengandung anak Papaah”,
manjanya. Aku mengangguk saja sebab aku sangat mencintainya.
“Paahh… oogghh… emmgghh… Ningsiha mauuu… keluaarrr… oomhh.” “Papahh..
jugaa… sayanggg…. “jawabku sambil telentang agi sedangkan Ningsih tetap
nongkrong berada di atas badanku dan vagina serta pantatnya naik turun
semakin cepat melumat habis batang penisku.
“Paahh… Mamahh… oooghh… sssakittt, oooggghh… tapiii.. ennaakk”, ketika
kubalikkan badannya dan kutancapkan penisku dari belakang.
Kugenjot terus penisku keluar masuk lubang kemaluannya sambil
kuremas-remas pinggulnya yang mulus dan montok seperti gitar itu,
Ningsih semakin merintih, aku juga semakin tersengal-sengal menahan
nafasku dan penisku yang semakin liar. Waktu sudah berjalan sekitar 50
menit sejak kami masuk kamar. Kuat juga pikirku, mungkin berkat latihan
yogaku yang cukup teratur, sehingga bisa menahan emosi dan cukup nafas.
Aku memang rada jago juga dalam bermain asmara di ranjang.
“Terruusss.. . Paahh… eemmhh… ogghh… Paahh… Paahh, ggghh… Mamahh
maaooo keluaarr… oogghh… bareng Paahh.” Kucabut dulu penisku dan Ningsih
kuminta untuk telentang kembali dan lantas kutindih lagi sebab aku
ingin menatap dan menciumi wajah kekasihku ketika kami sama-sama
ejakulasi.
Kutancapkan kembali penisku ke vaginanya yang terlihat semakin
memerah, kujilati dulu lendir-lendir di kemaluannya sampai lumat dan
kutelan dengan nikmat. Dia menggeliat,
“Cepat dong masukan lagi penisnya Pah!” dan,
“Bbbleess”, oh nikmat sekali rasanya vagina perawanku tercinta ini.
Aku seperti di awang-awang, saling mencintai dan dicintai. Kugoyang
terus pantatku semakin lama semakin kencang dan penisku keluar masuk
vaginanya dengan gagah, Ningsih terus melenguh kenikmatan sambil
tangannya memilin-milin puting susuku semakin membawa nikmat. Ningsih
semakin menggila goyangannya mengimbangi keluar masuk penisku ke
vaginanya, penisku terasa disedot-sedot dan dijepit dengan daging lunak
yang ngepres sekali. Keringat kami semakin bercucuran dan semakin
membangkitkan gairah cinta, kemudian tiba pada puncak gairah cinta dan
surga dunia kami yang paling indah, paling berkesan sekali disaksikan
laut kidul, dan kami berdua serempak berteriak dan mengejang,
“Paahh… Maahh… oogghh… mauuu keluuuarrr.. . ogghh… baarrrreeengg. ..
yuuu…, oooghh… sayaang.” Kami sama-sama mengejang, mengerang, merengkuh
apa pun yang bisa direngkuh, sebuah klimaks dua manusia yang saling
mencintai dan baru dipertemukan, meskipun sudah agak telat karena aku
sudah berkeluarga.
Sejak itu, aku terus memadu kasih kapan dan di mana saja (kebanyakan
di luar kota) sampai Ningsih kawin dan keluar dari perusahaanku.
Anak-anaknya adalah anak-anakku juga bahkan wajahnya mirip wajahku dan
kadang-kadang kami masih bertemu memadu kasih karena kami tidak bisa
melupakan saat-saat indah itu. Kapan akan berakhir perselingkuhan ini,
kami tidak tahu sebab cinta kami sangat mendalam.
Ningsih telah keluar dari kantor cabang bank yang kupimpin di
bilangan Slipi, karena dia dipaksa kawin dengan seorang laki-laki yang
tidak dicintainya. Namun sebagai anak yang patuh sama orang tua,
terpaksa harus mengikuti keinginan orangtuanya dan ikut bersama suaminya
setelah itu ke Bandung, karena suaminya bertugas di kantor pajak Jawa
Barat. Sebulan sebelum menikah dia kuajak ke Singapore untuk operasi
selaput dara, karena aku tidak ingin Ningsihku bermasalah dengan
suaminya pada malam pengantinnya.
Kami menginap di sebuah hotel di kawasan Orchard Road yang ramai dan
penuh pertokoan selama tiga malam dan satu malam lainnya aku
menungguinya di Rumah Sakit Elizabeth yang terkenal dan langsung
ditangani oleh dr. Lie Tek Shih, spesialis operasi plastik, kenalan lama
saya. Malam sebelum operasi selaput dara, kami menumpahkan seluruh
kasih sayang semalam suntuk di hotel bintang empat itu, dan malam itu
merupakan malam yang ke 24 (karena Ningsih rajin mencatat setiap
pertemuan kami) kami memadu kasih dan terlarut dalam kebersamaan yang
tiada tara sejak yang pertama di “Samudera Beach” Pelabuhan Ratu.
“Papah”, Ningsih bersender manja di dadaku di kamar hotel itu.
“Apa sayang?” jawabku sambil mencium rambutnya yang harum.
“Mamah… Mamah nggak mau kawin dan meninggalkan Papah”, rengeknya manja.
“Memangnya kenapa sayang?” jawabku sambil mengusap sayang payudaranya yang putih ranum.
“Mamah nggak cinta sama calon suami pilihan Bapak, lagi pula Mamah nggak mau meninggalkan Papah sendirian di
Jakarta.” Matanya terlihat mulai berkaca-kaca,
“Mamah sangat sayaang sekali sama Papah, Mamah cintaa sekali sama Papah,
Mamah tak rela tubuh dan segala milik Mamah dijamah dan dimiliki orang
lain selain Papah, achh… kenapa Tuhan mempertemukan kita baru sekarang?
setelah Papah punya isteri dan anak?” Ningsih terus bergumam sambil
membelai dadaku dan sesekali mempermainkan puting susuku yang semakin
keras.
“Mahh, sudahlah, itu sudah diatur dari sananya begitu, kalau dipikir,
Papah pun nggak rela kamu dijamah laki-laki lain, Papah tak kuasa
membayangkan bagaimana malam pengantinmu nanti, tapi semuanya sudah akan
menjadi kenyataan yang tidak mungkin kita robah.” Aku menciumi seluruh
mukanya dengan segenap kasing sayang, seakan kami tidak ingin
terpisahkan, air mata kami berlinangan campur menjadi satu dalam
kesenduan dan kemesraan yang tak pernah berakhir setiap kali kami memadu
kasih.
“Papaahh, nikmatilah Ningsihmu sepuasmu Pahh, sebelum orang lain
menjamah tubuhku.” Ningsih menarik tanganku ke buah dadanya dan
merebahkan badannya ke kasur empuk sebuah double-bed. Aku beringsut
mendekatinya, sambil kurebahkan badanku di samping tubuhnya yang putih
mulus dan seksi itu. Kuusap-usap penuh mesra dan kasih sayang buah
dadanya yang putih ranum dengan putingnya yang merona merah. Kujulurkan
mulut dan lidahku ke puting buah dada kirinya yang menurutnya cepat
membuat rangsangan berahinya timbul.
“Paahh…, gelliii… sayaang… oooggghh, Paahh…, naikin Mamaahh… Paahh…” Matanya merem ayam dan dadanya semakin turun naik.
“Iyyaa, yaanng…” aku segera menindihi badannya, dan penisku mulai kembali tegang.
Tiba-tiba Ningsih membalikkan badannya dan mendadak merenggangkan
kedua kakiku. Tak sampai satu menit, Ningsih sudah mengulum penisku yang
semakin mengeras dan mengkilat kepalanya sampai batangnya amblas semua
ke dalam mulutnya.
“Oogghh, Paahh, sudah assiiinnn, Papah sudah ngiler nih, tapi nikmat kok, Mamah suka?” Aku semakin merem melek,
“Ogghh, Mmaahh, geellii, sayaang, nikmaatt, ogghh.” Ningsih mengenyot
biji pelirku dan menggigit-gigit sayang, hingga aku menggelinjang geli
dan nikmat.
Ningsih memang pintar, hebat, telaten dan cantik. Aku terkadang tak
suka dan tak rela dia nanti ditiduri dan dijamah lelaki lain, walaupun
itu suaminya. Aku terpikir untuk menggodanya.
“Mah, apa nanti suamimu juga dijilati begini?” Ningsih berhenti
melumat dan menjilat penis dan buah pelirku sejenak. Matanya mendelik
dan mencubit pantatku keras sekali.
“Jangan menyakiti hati Mamah ya Pah, Mamah sumpah nggak akan seperti
ini, seperti main sama Papah, meskipun nanti lelaki itu resmi jadi
suamiku”, Ningsih iseng mengusap-usap penisku penuh sayang sambil
nyerocos lagi.
“Percaya dech pah, Ningsih cuma cinta sama Papah, paling-paling kalau
main nanti sama dia sekedar karena kewajiban, biar saja kayak gedebong
pisang.”
“Benar ya Mah, Papah nggak rela kalau kamu main sama dia dirasain, terus
ikut goyang dan melenguh, Papah pasti merasakannya” , kataku menimpali.
“Nggak bakal sayang, Mamah hanya manja dan menikmati semua kalau ngewe
sama Papah, percaya dech sayang.” Ningsih kembali naik di atas badanku
dan penisku terus diusap-usapnya dan sesekali dikocoknya persis di
bagian kepalanya, sehingga langsung tegang dan berdiri perkasa
menampakkan otot-ototnya.
Ningsih mengangkat sedikit pantatnya ke atas dan menyelipkan penisku
yang semakin perkasa ke lubang kemaluannya yang mulai basah dan licin.
Penisku nggak begitu panjang memang, paling sekitar 15 sentimeter, tapi
kerasnya seperti besi, dan Ningsih selalu menikmati klimaks dengan
sangat bahagia bahkan bisa berkali-kali klimaks dalam setiap kali
berhubungan denganku. Pantatnya mulai bekerja naik turun dan pantatku
juga mengimbanginya dengan menekan-nekan ke atas, sehingga Ningsih
semakin merem melek keasyikan.
“Ppaahh, aagggghh… terus teken sayaang… Mamaahh eennnaakk adduuhh
Paahh.., oogghh.., Mamaahh, cintaa.. yaangg…” Selalu saja Ningsih
nyerocos mulutnya kalau lagi keasyikan vaginanya melumat penisku.
Vaginanya mulai lagi menyedot-nyedot penisku dengan “empot ayamnya” yang tak bisa kulupakan.
“mmaahh…. ooogghh… aduuhh, Maahh, nikmaat, sayaang.. teruuuss Maahh, goyaanng.” Aku mulai merasakan kenikmatan yang luar biasa.
Kuremas-remas buah dada dan putingnya, hingga dia kegelian dan
semakin kencang menaik-turunkan pantatnya, sampai bunyi gesekan penis
dan vaginanya semakin terdengar. Ningsih membalikkan badannya dan
membelakangiku tapi dengan posisi tetap di atas tubuhku tanpa
mengeluarkan penisku dari kemaluannya. Aku paling bernafsu kalau melihat
pantat Ningsih yang putih mulus dan bahenol turun naik di depan mataku
sambil vaginanya terus menghisap-hisap batang penisku sampai amblas
semuanya ke dasar kemaluannya. Tiba-tiba,
“Pppaahh, oggghh, Papaahh, Mamahh maooo keluaarr…. ooghh… Papaahh…
aa.. aa… aagghh aaggghh, Mamaahh duluaannn Pahh….” Ningsih terkulai
lemas sambil menyubit keras pantatku dan berbalik kembali menindih
tubuhku, sambil memegang penisku yang masih berdiri tegak dan belepotan
lendirnya.
“Bandel nich… ayo cepeten masukin lagi, Mamah yang di bawah!”
perintahnya manja sambil menciumi wajahku. Kedua tubuh kami mandi
keringat, rasanya puas sekali setiap bersetubuh dengan Ningsihku sayang.
Aku tersenyum puas, aku memang nggak egois, biar Ningsihku dulu yang
terkulai lemas menikmati klimaksnya, aku bisa menyusul kemudian dan
Ningsih selalu melayaniku dengan penuh kasih sayang dan kesabaran.
Kubalikkan tubuhnya, kujilati dengan kulumat lendir-lendir di vaginanya,
kujilat, kugigit sayang klitoris dan vaginanya, dia menggelinjang
kegelian. Kutelan semua lendir Ningsihku, sementara itu penisku masih
berdiri tegak.
“Cepat masukin penisnya sayang, Mamah mau bobo nich.., lemas,
ngantuk”, kicaunya. Setelah kubersihkan vaginanya dengan handuk kecil,
kumasukkan lagi penisku, aduh ternyata lubang vaginanya menyempit kering
lagi, menambah nikmat terasa di penisku.
“Mmaahh, eennaak… Maahh, oogghh, sempit lagi Maahh…” sambil terus kutekan ke atas dan ke bawah penisku.
Aku sedikit mengangkat badanku tanpa mencabut penisku yang terbenam
penuh di vagina Ningsih, kemudian kaki kanan Ningsih kuangkat ke atas
dan aku duduk setengah badan dengan tumpuan kedua dengkulku. Ningsih
memiringkan sedikit badannya dengan posisi kaki kanannya kuangkat ke
atas. Dengan posisi demikian, kusodok terus penisku ke luar dan ke dalam
lubang vaginanya yang merah basah. Ningsih mulai melenguh kembali dan
aku semakin bernafsu menusukkan penisku sampai dasar vaginanya.
“Ooggghh, Maahh, ooogghh.. nikmat sekali sayang”, lenguhku sambil
memejamkan mataku merasakan kenikmatan vagina Ningsih yang menyut-menyut
dan menyedot-nyedot.
“Paahh.. Mamah enaak lagi, ooogghh… Paahh”, dia mulai melenguh lagi keenakan.
Aku semakin bersemangat menusukkan penisku yang semakin tegang dan
rasanya air maniku sudah naik ke ujung penisku untuk kusemburkan di
dalam kemaluan Ningsih yang hangat membara. Kubalikkan tubuhnya supaya
tengkurap dan dengan bertumpu pada kedua dengkulnya aku mau bersenggama
dengan doggy style, supaya penisku bisa kutusukkan ke vaginanya dari
belakang sambil melihat pinggul dan pantatnya yang putih dan indah.
Dalam posisi senggama menungging begitu, aku dan Ningsih merasakan
kenikmatan yang sangat sempurna dan dahsyat. Apalagi aku merasakan
lubang vaginanya semakin sempit menjepit batang penisku dan sedotannya
semakin menjadi-jadi.
“Paahh… teruuuss genjoott.. Paahh…” Ningsih mulai mengerang lagi
keenakan dan pantatnya semakin mundur maju sehingga lubang vaginanya
terlihat jelas melahap semua batang penisku.
“Blleesss, shhoottt… bleesss… srooottt, sreett crreeckkk… ” gesekan
penisku dan vaginanya semakin asyik terdengar bercampur lenguhan yang
semakin nyaring dari dua anak manusia yang saling dilanda cinta.
“Maahh, ooggghh… adduuuhh, Yaangg… emghh, Papah enaakk, ooghh!” aku
tergoncang-goncang dan dengkulku semakin lemas menahan kenikmatan dan
nafsuku yang semakin menggelegak.
Sementara itu keringatku semakin bercucuran membasahi kasur meskipun AC cukup dingin di kamar hotel itu.
“Paahh, ooogghh, teruuusss tusuuk Paahh…” Ningsih merintih-rintih ke asyikan, kelihatannya akan klimaks lagi.
Rupanya Ningsih nggak mau tahu kalau posisi persetubuhan saat itu
akan berakhir 2-1 untuk kemenanganku, dan entah akan menghasilkan skor
berapa sampai pagi hari nanti, soalnya mumpung ketemu sebelum dia
dikawinkan. Ningsih memintaku untuk telentang lagi dan sementara dia
berada jongkok di depanku, sehingga vaginanya yang merah basah sampai ke
bulu-bulunya terlihat jelas di depan mataku. Aku memberi kode agar
Ningsih mendekatkan vaginanya ke mukaku. Sesaat kemudian vaginanya sudah
ditindihkan di mulutku dan kulumat habis cairan asin bercampur manis
yang ada di selangkangan dan mulut vagina dan bulunya. Kujilati habis
dan kutelan dalam-dalam. Ningsih melenguh keasyikan sambil menggoyangkan
pinggulnya ke atas ke bawah dan membenamkan vaginanya ke mukaku.
“Paahh…, ooghh, Paahh…, nikmaatt, yaangg… teruusss, aduuuhh…,
ooggghh, eemmhh, gilaa…, emmhh”, mulai ramai lagi dia dengan lenguhannya
yang semakin menambah semangatku untuk terus melumat, menjilat,
menggigit-gigit kecil kemaluan dan klitorisnya, lidahku terus
menggapai-gapai ke dalam kemaluannya dan sesekali menjilat lubang
pantatnya, sehingga dia menggeliat dan melenguh keenakan. Lenguhan
Ningsih kalau sedang senggama itu tak bisa kulupakan sampai saat ini.
Ningsihku adalah isteriku yang sesungguhnya, meskipun secara resmi
tidak dapat dilakukan karena keadaan kami masing-masing. Terkadang kami
bingung apakah cinta kasih kami akan terus tanpa akhir sampai takdir
memisahkan kami berdua? Ningsih kembali kuminta celentang, karena sudah
kebiasaanku kalau aku klimaks harus melihat wajahnya dan mendengar
lenguhannya di depan mataku, dan rasanya semua perasaan cintaku dan
spermaku tumpah ruah di dalam vaginanya kalau aku ejakulasi sambil
berada di atas tubuhnya yang mulus montok, terkadang sambil meremah buah
dadanya yang putih padat.
Kumasukkan lagi segera penisku yang sekeras besi dan berwarna coklat mengkilap itu kelubang vaginanya,
“Blleeeessss. ” Aku sudah tak tahan lagi menahan gumpalan spermaku di ujung penisku.
Kugenjot penisku keluar masuk vaginanya sampai ke ujung batang
penisku, sehingga rambut kemaluan kami terasa bergesekan membuat semakin
geli dan nikmat rasanya. Kuangkat kaki kanan Ningsih ke atas, sehingga
aku semakin mudah dan bernafsu memaju mundurkan pinggulku dan penisku,
Ningsih meringis dan melenguh keenakan.
“Paahh… teruuss Paahh… oogghh, penis Papah eaakk… ooggghh, eeemmhh…
emmhh… aduuuhh.” Keringat kami semakin bercucuran membasahi sprei, masa
bodoh sudah bayar mahal ini.
Aku semakin bernafsu menyodok dan menarik batang penisku dari vagina
Ningsih yang semakin licin tapi tetap sempit seperti perawan.
“Oooggghh… Maahh… ooggghh… Maahh… ikut goyang dong Sayaang…, oooghh…
Papaahh maauu keluuuaarr.. .” aku semakin gila saja dibuatnya, keringat
semakin bercucuran, nikmat dan nikmat sekali setiap bersetubuh dengan
Ningsihku sayang.
Air maniku rasanya tinggal menunggu komando saja untuk disemprotkan habis-habisan kelubang vagina Ningsih.
“Paahh, aduuuhh, bareng yuuu.. Paahh… Mamah mmoo keluaarr lagi”, Ningsih minta aku menindihnya dan menciumnya.
Segera kutimpa dia dari atas sambil melumat mulut, bibir dan lidahnya.
“Ooogghh… yuu… baraeeng.. Paahh… aiiaaogghh.. . aduhh.. yuu Maahh..
Paahh…” badan kami saling meregang, berpelukan erat seakan tak mau lepas
lagi.
Air maniku kusemprotkan dalam-dalam ke lubang vagina Ningsih, rasanya
nggak ada lagi tersisa. Kami terkulai lemas dalam pelukan hangat dan
puas sekali. Sesekali penisku kutusukan ke dalam vaginanya, Ningsih
menggelinjang geli dan melenguh “Paahh… udaahh… Mamahh geli…” matanya
terpejam puas. Kuciumi dia, kubersihkan lagi vaginanya dengan jilatan
lidah dan mulutku, ketimbang pakai handuk. Vaginanya tetap harum, manis
dan wangi laksana melati.
Sepulang dari Singapore, aku dan Ningsih masih selalu bertemu di
beberapa motel di Jakarta dan sekitar Botabek. Aku seakan tidak rela
melepas kekasihku untuk dikawinkan dengan lelaki lain. Tapi memang tidak
ada jalan lain, sebab meskipun Ningsih telah menyatakan keikhlasannya
untuk menjadi isteri keduaku, namun aku juga sangat cinta keluarga
terutama anak-anakku yang masih butuh perhatian. Ningsih sangat maklum
hal itu, namun dia juga tidak bisa menolak keinginan orangtuanya untuk
segera menikah mengingat hal itu bagi seorang wanita adalah sesuatu yang
harus mempunyai kepastian karena usianya yang semakin meningkat. Waktu
itu Ningsih sudah berusia hampir 26 tahun dan untuk wanita seusia itu
pantas untuk segera berumah tangga.
Tanpa terasa hari pernikahan Ningsih sudah tinggal tersisa satu bulan
lagi, bahkan undangan pesta pernikahan sudah mulai dicetak, dan dia
membeNingsihhukan aku bahwa resepsi pernikahannya akan diselenggarakan
di Balai Kartini. Hatiku semakin merasa kesepian, dari hari ke hari aku
semakin sentimentil dan sering marah-marah termasuk kepada Ningsih.
Aku begitu tak rela dan rasanya merasa cemburu dan dikalahkan oleh
seorang laki-laki lain calon suami Ningsih yang sebenarnya tidak dia
cintai. Tapi itulah sebuah kenyataan pahit yang harus kutelan. Itulah
adat ketimuran kita, adat leluhur dan moyang kita. Barangkali kalau aku
dan Ningsih hidup di sebuah negara berkebudayaan barat, hal ini tidak
bakalan terjadi, sebab Ningsih bisa menentukan pilihannya sendiri untuk
hidup bahagia bersamaku di sebuah flat tanpa bisik-bisik tetangga dan
handai-taulan di sekitar kita.
Tanpa terasa pula aku sudah menjalin cinta dan berhubungan intim
dengan Ningsih hampir empat tahun lamanya, seperti layaknya suami isteri
tanpa seorang pun yang mengetahui dan hebatnya Ningsih tidak sampai
mengandung karena kami menggunakan cara kalender yang ketat sehingga
kami bersenggama jika Ningsih dalam keadaan tidak subur.
Pada suatu sore, Ningsih meneleponku minta diantarkan untuk mengukur
gaun pengantinnya di sebuah rumah mode langganannya di kawasan Slipi.
Kebetulan aku sedang agak rindu pada dia. Kujemput dia di sebuah toko di
Blok M selanjutnya kami meluncur ke arah Semanggi untuk menuju ke
Slipi. Di mobil dia agak diam, tidak seperti biasanya.
“Ning, kok tumben nggak bersuara”, kataku memecah hening.
Dia menatap mukaku perlahan, tetap tanpa senyum. Air matanya terlihat samar di pelupuk matanya.
“Mah, kenapa sayang? kok kelihatannya bersedih”, kataku sekali lagi.
Dia tetap menunduk dan air matanya mulai meluncur menetes di tanganku yang sedang mengelus mukanya.
“Bertambah dekat hari pernikahanku, aku bertambah sedih Pah”, ujarnya.
“Mamah membayangkan malam pengantin yang sama sekali tidak Mamah
harapkan terjadi dengan lelaki lain. Sayang sekali kamu sudah milik
orang lain. Kenapa kita baru dipertemukan sekarang?” Ningsih berceloteh
setengah bergumam. Aku merasa iba, sekaligus juga mengasihani diriku
yang tidak mampu berbuat banyak untuk membahagiakannya.
Kugenggam tangannya erat-erat seolah tak ingin terlepaskan. Tanpa
terasa, mobilku sudah memasuki pekarangan rumah mode yang ditunjukan
Ningsih. Hampir setengah jam aku menunggu di mobil sambil tiduran, mesin
dan pendingin mobilku sengaja tak kumatikan. Laser disk dengan lagu
“Love will lead you back” mengalun sayup menambah suasana sendu yang
menyelimuti perasaanku. Aku dikejutkan Ningsih yang masuk mobil dan
membanting pintunya. Setelah berada di jalan raya kutanya dia mau ke
mana lagi dan dia menjawab terserahku. Kuarahkan mobilku kembali ke
jembatan Semanggi dan belok kiri ke jalan Jenderal Sudirman dan masuk ke
Hotel Sahid. Sementara aku mengurus check-in di Reception Desk, Ningsih
menungguku di lobby hotel. Kemudian kami naik lift menuju kamar hotel
di lantai dua.
“Pah, Mamah serahkan segalanya untukmu, Mamah khawatir sebentar lagi
Mamah dipingit, nggak boleh keluar sendirian lagi, maklum tradisi kuno
kejawen masih ketat.” Tanpa malu-malu lagi karena kami memang sudah
seperti suami isteri, dia membuka satu persatu pakaian yang melekat di
badannya sehingga kemontokan tubuhnya yang tak bisa kulupakan terlihat
jelas di hadapanku. Tanpa malu-malu pula dia mulai memelorotkan celana
panjang sampai celana dalamku, sehingga batang penisku yang masih
tiduran terbangun. Tanpa menungguku membuka baju dan kaus singlet,
Ningsih sudah membenamkan batang penisku ke mulutnya dan melumatnya
dalam-dalam. Aku mulai merasakan kenikmatan yang luar biasa dan batang
penisku mulai mengembang besar dan keras seperti besi.
“Ogghh… Maahh…, isep terus yaang oooghh, aduuuuhh… gelli”, aku mulai
melenguh nikmat dan Ningsih semakin cepat mengulum penisku dengan
memaju-mundurkan mulutnya, penisku semakin terasa menegang dan aliran
darah terasa panas di batang penisku dan Ningsih semakin semangat
melumat habis batang penisku. “Oggghh, Paahh, enaakkk asiiin.. Paahh.”
Wah, batang penisku makin terasa senut-senut dan tegang sekali rasanya
cairan spermaku sudah berkumpul di ujung kepala penisku yang semakin
merah mengkilat dikulum habis Ningsih. Aku minta Ningsih menghentikan
hisapannya dulu, kalau tidak rasanya spermaku sudah mau muncrat di
mulutnya.
“Ooogghh, Maahh, sudah dulu doong, Papaahh moo… keluaar!” Ningsih
menuruti eranganku dan beranjak rebah dan telentang di tempat tidur. Aku
mengambil nafas dalam-dalam untuk menahan muncratnya spermaku. Aku ikut
naik ke tempat tidur dan kutenggelamkan mukaku ke tengah
selangkangannya yang mulus putih tiada cela tepat di depan kemaluannya
yang merekah merah. Kujulurkan lidahku untuk kemudian dengan meliuk-liuk
memainkan kelentitnya, turun ke bawah menjilat sekilas lubang
pantatnya. Ningsih melenguh kegelian dan mulai menaik-turunkan pantatnya
yang putih dan gempal.
Kutarik ke atas lidahku dan kujilat langit-langit vaginanya yang
mulai basah dan terasa manis dan asin. Kutegangkan lidahku agar terasa
seperti penis, terus kutekan lebih dalam menyapu langit-langit vagina
Ningsih. Ningsih semakin memundur-majukan pinggulnya sehingga lidahku
menembus lubang vaginanya semakin dalam. Aku sebenarnya ingat bahwa
hasil operasi selaput daranya tempo hari di Singapore bisa jebol lagi,
tapi aku tak peduli kalau kenikmatan bersenggama dengan Ningsih telah
memuncak ke ubun-ubunku.
“Paahh… ooghh… wooowww… ooghh.. paahh, terus paahh… enaakkk… paahh
lidahnya kayaak kontoooll… ” Goyangan pinggul Ningsih semakin menggila,
aku pun tambah semangat membabi buta memainkan lidah dan mulutku melumat
habis vagina dan klitorisnya sampai cairan Ningsih semakin banyak
mengalir.
Kuhisap dan kutelan habis cairan vagina Ningsih yang asin manis itu
sehingga lubang vaginanya selalu bersih kemerahan. Ningsih terus
menyodok-nyodokkan vaginanya ke mukaku sehingga lidahku terbenam semakin
dalam di lubang vaginanya, sampai mulai terasa pegal rasanya lidahku
terus kutegangkan seperti penis.
“Paahh… sudah naik sayaang, Mamah sudah nggak tahan, masukkan
penisnya sayang.” Ningsih menarik tanganku ke atas supaya aku segera
menaikkan badanku di atas badannya.
Penisku memang sudah terasa panas dan tegang sekali. Ningsih tak
sabar memegang penisku dan menuntunnya ke lubang vaginanya yang sudah
basah karena lendir kemaluan bercampur ludahku. Maka
“bleeess”,
“Ogghh… Paahh… tekan terus sayaang, Mamah udaahh rinduu… oogghh emmgghh…
Paah… terus goyaag sayaang…. ooghh..” Pantat Ningsih mulai bergerak
naik turun dengan liar dan penisku sebentar masuk sebentar keluar dari
lubang vaginanya yang menyedot-nyedot lagi.
Kunaikkan kaki kanannya dan dengan posisi setengah miring dan
posisiku setengan duduk aku sodok vagina Ningsih dari belakang. Aku
semakin bernafsu kalau melihat pantat dan pinggul Ningsih yang putih.
Penisku semakin ganas dan tegang menyodok mantap vaginanya dari
belakang.
Ningsih membalikkan tubuhnya sehingga menungging membelakangiku dan penisku tak kucabut dari vaginanya.
“Paahh.. teruuss dooong, Mamaah nikmaa… ogghh… teruuusss… sodoook
sayaang… ogghh… Paahh…. aaoggghh… uuuggghh…” Pantatnya semakin menggila
mundur maju dan aku pun semakin menggila menyodokkan penisku sampai
rasanya mau patah.
Memang setiap senggama sama Ningsih rasanya habis-habisan.
Kutumpahkan semua kemampuan dan keperkasaanku untuk membahagiakan
Ningsihku. Dia pun demikian, tidak ada yang tersisakan kalau kami
bersenggama. Harus habis-habisan supaya puas. Keringat kami membanjiri
sprei hotel seperti habis mandi.
“Mmaahh… oooghh, teruuusss goyaang… oooggghh.. Maahh… Papaahh mooo
keluaarr… gila Maahh… vaginanyaa.. . oooghh… nikmaat… sekalii…” Aku
mulai ribut dan Ningsih melenguh semakin panjang. Mungkin tamu kamar
sebelah mendengar lengkingan dan lenguhan kami.
Masa bodoh!
“Pahh… emmghh… oogghh… Paapaahh… adduuuhh.. Paahh… adduuhh… Mamaahh…
mmooo kelluuaarr.. . emmggg… addduhh… Paahh aduuhh… Paahh… adduuhh”,
Kugenjot terus penisku keluar masuk, vagina Ningsih yang semakin banjir
dengan cairan vaginanya, terus kugenjot penisku sampai pegel aku tak
peduli. Keringat kami terus membanjiri sprei.
Kuminta Ningsih telentang kembali karena dengkulku mulai lemas. Dia
tersenyum sambil tetap memejamkan matanya. Oh, cantiknya bidadariku,
rasanya ingin kukeluarkan seluruh isi penisku untuknya. Ningsih baru
sadar bahwa hasil operasi selaput daranya mungkin jebol lagi. Ningsih
bilang masa bodoh, yang penting semuanya telah diberikan buat Papah.
Biar saja suaminya curiga atau marah atau bahkan kalau mau cerai
sekalipun kalau tahu dia nggak perawan lagi. Kali ini kami nggak
menunggu waktu ketika Ningsih sedang tidak subur, karena Ningsih ingin
mengandung anakku dan orang tidak akan curiga karena Ningsih akan punya
suami. Memang kasihan nasib suami Ningsih nanti, tapi bukan salah kami
karena dia merebut cinta kami, ya kan ?
“Cepat pah masukan lagi ach… jangan mikirin orang lain!” Tuh kan
betapa dia nggak ambil peduli tentang hari pernikahannya dan calon
suaminya, sebab bagi dia akulah suami sesungguhnya dalam hati
sanubarinya. Bleess…, “Ooogghh… Paahh, enaak… Paahh… aaoogghh.. uuhhgg..
uuughh… genjot terus Paah”, Aku tekan penisku sekuat-kuatnya sampai
tembus semuanya ke lubang paling dalam vaginanya sampai terasa mentok.
“Ooogghh… mmaahh… nikmaattt… istrikuu… sayaangg… oooggghh… aagghh…
eemmgghh…” aku setengah berdiri lagi dengan tumpuan ke dua dengkulku dan
kurenggangkan kedua kaki Ningsih, kusodokkan terus penisku keluar masuk
vaginanya, bleeesss… sreeett… blleeess… sreeet…, vaginanya menimbulkan
suara yang semakin memancing gairah kami berdua.
Ningsih memejamkan dan mengigit-gigit bibirnya dan mencakar-cakar punggung dan tanganku ketika mulai meregang.
“Ooooggghh.. . Paappaahh… emmggg… ooggghh… aduuuhh… Mamaah moo
keeluuuuarr. . oooghh.. Paahh… teruuuss… saayyaang, keluuaarriiinn
barreenng oogghh”,
“Hayyyoo… Maahh… oogghh… hayoo… baarr… ooghh… reenng… Maahh… ooooghh”, teriakanku tak kalah serunya.
Kami menggelepar, meregang, mengejang bersama-sama, serasa nafasku
mau copot dan Ningsih melenguh panjang sambil merasakan cairan air
maniku tertumpah ruah di lubang kemaluannya, terasa nikmat dan hangat
katanya. Biasanya sehabis merasakan klimaks yang sangat dahsyat Ningsih
selalu memukul dan mencubit sayang badanku, terus kelelahan mau tidur
sehingga terbaring lunglai dengan keringat bercucuran. Aku selalu
memeluk dan menciumi keningnya, hidungnya, mulutnya, rambutnya sampai ke
pantatnya, biasanya dia menggelinjang dan marah-marah karena geli. Jika
Ningsih sudah terpuaskan dan tertidur, aku rasanya lelaki yang sangat
berbahagia di dunia ini. Sekian dulu (Akan kusambung setelah Ningsih
kawin seminggu, tambah seru deh!).
Telah seminggu Ningsih menikah dengan laki-laki pilihan orangtuanya.
Resepsi pernikahannya di Balai Kartini cukup meriah, dan aku datang
dengan isteriku untuk menyampaikan selamat. Ketika aku menyalaminya, dia
tertegun dan terasa agak kikuk dan serba salah, aku pun merasakan hal
yang sama. “Terima kasih ya Pak”, katanya hampir tak terdengar. Di
hatiku berkecamuk seribu macam pikiran, tapi kuusahakan untuk tetap
wajar. Ningsihku begitu cantik dan anggun dengan pakaian pengantinnya.
Aku membayangkan bahwa sebentar lagi Ningsih kekasihku, isteriku, yang
beberapa tahun telah memadu cinta denganku akan menjadi isteri orang.
Meskipun kutahu bahwa dia tetap mencintaiku, tapi secara resmi dia
akan menjadi isteri orang lain, tentu tidak akan sebebas dulu ketika dia
masih single. Sebentar lagi Ningsih akan tidur berdua-duaan dengan
lelaki lain, mungkin untuk selamanya, karena aku pun tak ingin dia
menjadi janda dan kalau Ningsih menjadi janda tentu akan menjadi
gunjingan orang. Tidak, aku tak rela Ningsihku menjadi gunjingan orang.
Sekilas aku berpikir untuk mengakhiri saja hubunganku dengan Ningsih,
karena dia telah menjadi isteri orang, tapi apakah bisa semudah itu aku
melupakannya? Dunia rasanya sepi dan kejam, dan aku melangkah gontai
meninggalkan pesta perkawinannya yang masih penuh tawa dan canda
teman-teman dan keluarganya.
Beberapa hari setelah pernikahannya aku membenamkan diri dengan
pekerjaanku, siang dan malam kusibukkan diriku dengan pekerjaan dan
mengurus anak-anaku. Aku tak mau membayangkan, dan memang tak sanggup
membayangkan sedang apa Ningsih beberapa hari setelah pernikahannya. Aku
cemburu, marah, masgul, gundah jika membayangkan dirinya sedang
bersenang-senang dengan suaminya yang tentunya sudah tak sabar ingin
menikmati kemontokan dan kemulusan tubuh Ningsih, yang sudah resmi jadi
isterinya. Aku membayangkan Ningsih telanjang bulat bersama suaminya,
manja, bersenggama bebas tanpa takut oleh siapapun dan melenguh mesra
seperti ketika bersenggama denganku.
Tiba-tiba aku sangat benci padanya, aku menganggap Ningsih nggak
setia padaku, Ningsih telah mengkhianati cintaku, buktinya dia mau saja
digilir oleh lelaki lain. Apakah itu yang namanya cinta dan kesetiaan?
Aku bertekad untuk menjauhinya mulai sekarang, dan aku tak akan menerima
teleponnya. Ningsih memang berjanji akan meneleponku paling lambat satu
minggu setelah dia menikah dan sebelum ikut suaminya pindah ke Bandung.
Tidak! aku tak akan menerimanya jika dia meneleponku, biar dia tahu
rasa, aku tak mau bekas orang lain. Benar saja, pada hari kelima setelah
kawin dia meneleponku.
“Pak, ada telepon”, kata sekretarisku yang baru, pengganti Ningsih.
Anehnya, meskipun dia berparas lumayan, aku tak tertarik sama sekali
dengan sekretaris baruku itu. Aku memang bukan type “hidung belang” yang
sekedar mau iseng bercumbu dengan perempuan. Aku hanya jatuh hati dua
kali seumur hidupku, kepada isteriku dan kepada Ningsih.
“Pak, kok melamun, ada telepon dari Ibu Ningsih, katanya bekas
sekretaris bapak”, sekretaris baruku kembali mengagetkan lamunanku.
“Ooh.. ya… ya.. sebentar Reni…, emh.. dari siapa? Ningsih? bilang saja
Bapak sedang ke luar kantor ya!” aku mengajari dia bohong.
“Lho, Pak, kenapa? kan kasihan Pak, katanya penting sekali, dan besok Ibu Ningsih mau pindah ke Bandung”
Reni, sekretaris baruku itu mulai mendesakku untuk menerima saja
telepon Ningsih itu. Aku sejenak merasa bingung, aku rasanya masih benci
tapi juga sangat rindu sama Ningsih, apalagi kata Reni besok akan jadi
pindah mengikuti suaminya yang bekerja di Bandung.
Setelah berfikir sejenak…
“OK, Reni, sambungkan ke sini!” dan aku agak gugup untuk kembali
berbicara dengan Ningsih, untuk kembali mendengar suaranya, Ningsih yang
sekarang sudah menjadi isteri orang lain.
“Hallooo…, siapa nich?”, kataku agak malas.
“Papah, ini Ningsih Pah, Papah kok gitu sih?” jawab Ningsih di ujung sana.
“Oh, Nyonya Prayogo, saya kira Ningsih Prameswara kawanku”, kataku menggoda.
“Nggak lucu ah…, Mamah sekarang tanya serius, apa Papah mau nemui Mamah nggak sebelum besok Mamah pindah ke
Bandung?”, jawabnya lagi setengah mengancam.
Aku bingung juga ditanya begitu, sebab jauh di dalam hatiku
sebenarnya aku rindu berat sama Ningsih, tapi kebencian dan kekesalan
masih menempel erat di benakku.
Beberapa jenak, aku nggak bisa menjawab sampai Ningsih nyerocos lagi.
“Mamah ngerti, Papah masih kesal dan benci sama Mamah, tapi kamu kan
sudah setuju kalau Mamah terpaksa harus kawin, demi kebaikan hubungan
kita dan demi menjaga nama baikmu juga. Papah, dengar! Mamah sudah
seminggu nggak menstruasi lagi sampai sekarang. Ingat hubungan kita di
Hotel Sahid terakhir kali? Sudahlah, nanti Mamah ceNingsihkan lebih
lengkap, sekarang mau nggak jemput Mamah di toko biasa di Blok M?
Soalnya mumpung si Yudi pulang agak larut malam” Nama suaminya memang
Yudi Prayogo dan hanya selisih dua tahun dengan Ningsih, katanya sih
ketemu di kursus Inggris LIA.
Hatiku mulai melunak mendengar pengakuannya dan serta merta aku
menyetujui untuk menjemputnya di Blok M. Aku memarkir mobilku di tempat
parkir yang agak memojok dan sepi, maklum kami harus semakin
berhati-hati, karena Ningsih sudah menjadi isteri orang. Ningsih segera
hafal melihat mobilku dan setelah Ningsih duduk di sampingku, segera
kukebut lagi keluar Blok M menuju ke utara melewati Sisingamangaraja,
Sudirman, naik jembatan Semanggi terus memutar ke jalan Jenderal Subroto
dan dengan cepat masuk ke halaman parkir Hotel Kartika Chandra. Ningsih
terlihat lebih cantik, sedikit gemuk dan tambah bersih dan putih
mukanya. Rambut dan bulu-bulu halus di sekitar jidatnya terlihat hilang,
mungkin karena dikerok oleh perias pengantinnya.
Dia mengenakan celana panjang merah dan T-Shirt putih kembang-kembang
ditutupi blazer warna hitam. Terlihat serasi dengan kulitnya yang putih
bersih. Banyak yang nyangka dia keturunan Tionghoa, padahal Jatul. Tahu
jatul? Jatul itu “Jowo Tenan” atau “Jawa Tulen”. Ibunya dari Purwokerto
dan bapaknya dari Surakarta , katanya sih masih kerabat Kesultanan
Surakarta, masih trah langsung Raja Paku Bowono. Setelah check-in
sebentar, aku sudah berdua-dua dengan Ningsih di kamar hotel, dan untuk
pertama kalinya aku berduaan dengan isteri orang. Ada perasaan berdosa
menyelinap di hatiku. Tapi semuanya menjadi hilang karena betapa
besarnya cintaku pada Ningsih. Juga sebaliknya, jika Ningsih tak
mencintaiku, mana mungkin dia beReni bertemu dengan lelaki lain padahal
dia baru kawin lima hari lalu?
“Papah, Ningsih sedang mengandung janin anakmu, biasanya tanggal lima
minggu lalu Mamah menstruasi ternyata nggak keluar sampai sekarang”,
Ningsih menambahkan keterangannya tadi di telepon, dan aku semakin cinta
dan sayang rasanya. Tapi tetap saja ingin menggodanya dan mengetes
cintanya padaku.
“Oh, ya, hampir lupa, gimana dong bulan madunya kemarin, ceNingsihin dong Ning! pasti seru dan rame dengan lenguhan.
Dan apa suamimu nggak ribut tanya perawanmu kaya Farid Hardja?” Ningsih mendelikkan matanya dan mencubit pahaku keras sekali.
“Percaya atau tidak terserah Papah, yang pasti nggak ada lenguhan,
nggak ada goyangan, persis kaya gedebong pisang. Si Yudi memang sempat
marah-marah karena mungkin Mamah ternyata begitu dingin dan nggak
gairah. Tapi memang nggak bisa dipaksakan. Mamah hanya bergairah kalau
bersenggama dengan Papah. Dia nggak nanya tuh, kenapa nggak ada darah
perawan Mamah di sprei, ah.. sudah.. sudah! nggak usah tanya gitu-gituan
lagi. Nanti malah berantem terus. Pokoknya Mamah sayaang benar sama
Papah, nggak ada duanya deh”.
Seperti bisa dia mulai mencopoti pakaianku satu persatu, sampai CD-ku
dia pelorotin juga. Begitu di buka CD-ku, penisku langsung bergerak
liar dan setengah tegang begitu tersentuh tangan halus Ningsih. Tak
buang waktu lama, Ningsih melemparkan semua pakaiannya ke lantai karpet
sampai terlihat bodinya yang seksi, putih mulus dengan puting susu yang
semakin ranum. Mungkin pengaruh dari kehamilannya meskipun baru beberapa
hari mengandung anakku. Penisku yang masih setengah tertidur langsung
dikulumnya ke dalam mulutnya dan dihisapnya dalam-dalam, padahal aku
masih berdiri seperti patung dengan bersandar ke tembok. Dengan ganas
dia menghisap, menggigit dan menyedot penisku dalam-dalam sampai penisku
mentok ke langit-langit mulutnya. Tak lama penisku langsung tegang dan
memerah dan mengkilap bercampur ludahnya.
“Ooooggghh.. . Maahh…. terus Maahh… jilaat…. ooogghh…” Aku mulai
terangsang dan kenikmatan setiap penisku dihisapnya. Ningsih memang suka
sekali menjilat dan menghisap penisku, tapi ketika kutanya apakah dia
juga menghisap penis suaminya, dia bilang amit-amit, nggak nafsu
katanya.
Mulut Ningsih pindah menghisap dan menjilat penisku, dia juga senang
menggigit-gigit dua bakso penisku, sampai aku kesakitan campur geli dan
nikmat bukan kepalang.
“Ooooghh… Maahh… jangan digigit, Papah sakiiittt”. Aku minta Ningsih
berhenti dulu mengulum batang penisku, aku juga sudah rindu untuk
menjilat vagina dan klitorisnya.
Kuminta Ningsih tiduran di pinggir tempat tidur empuk itu dengan kaki
terjuntai ke bawah, dengan begitu aku bisa duduk di tengah-tengah
selangkangannya. Vagina dan klitorisnya terlihat jelas kalau begitu. Oh,
begitu indah dengan warna merah jambu klitoris dan lubang vaginanya
terlihat jelas di hadapan mukaku. Kujilat dengkul dan pahanya, terus
merayap kujilati selangkangannya yang mulus, sesekali kujilatkan lidahku
ke lubang pantat, klitoris dan lubang vaginanya, Ningsih
melenguh-lenguh tertahan.
“Oooghh, Papaahh… eeemghh, aduuuhh…, teruuuss… Paahh… oooghh…
enaakkk.” Kalau Ningsih sudah mulai melenguh begitu aku semakin bernafsu
untuk terus menjilat, mengigit dan menyedot-nyedot klitoris dan lubang
vaginanya sambil menyedot air maninya yang mulai meleleh keluar dan
lubang vaginanya.
Oh, nikmat… manis dan sedikit asin, kaya kuah asinan Bogor .
Kukeraskan lidahku supaya semakin tegang dan kutusukkan ke dalam lubang
vaginanya, Ningsih semakin melenguh keenakan, karena mungkin lidahku
terasa seperti penis menyodok-nyodok semakin ke dalam lubang vaginanya.
Cairan vaginanya semakin banyak keluar dan kuhisap dan kutelan dengan
nikmat. Kadang-kadang rambut kemaluan Ningsih ada yang putus dan ikut
termakan.
“Paahh…. ooooghh…. Paahh…, enaakkk, teruuuusss.. .. Paahh… ooooggghh…
aduuuhh”, Ningsih semakin ramai, barangkali suaranya terdengar tamu di
sebelah atau room-boy yang sedang lewat.
Kujilatkan lidahku ke lubang pantatnya berkali-kali Ningsih bergelinjang kegelian.
“Papaahh… geliiii…” penisku menggesek pahanya yang mulus sehingga
semakin tegang. “Paahh… penisnya geli tuch di paha Mamah, udahan dulu
ngisepnya sayang…., kesini deh, cium Mamah dan masukin penisnya.”
Kuhentikan jilatan lidahku, memang sudah mulai pegal juga menegangkan
lidahku hampir seperempat jam. Kugeserkan badanku ke atas, sejajar
dengan tubuh Ningsih dan sambil kulumat mulutnya dalam-dalam kugesekan
penisku ke vaginanya yang basah, oh… betapa nikmatnya. Kukulum dan
kugigit lidahnya. Ningsih menjeNing tertahan, kemudian kujulurkan juga
lidahku dan dia balas menggigit lidahku dengan bernafsu. Aku gantian
teriak, sampai keluar sedikit air mata. Untung kenang-kenangan kalau
Ningsih di Bandung katanya. Kujilati kupingnya, jidatnya, hidungnya,
matanya sampai Ningsih menggelinjang- gelinjang ketika kujilati dan
kugigit kupingnya. “Tuuuuhh.. Paah lihat, sampai merinding, “katanya
manja. “Paahh, masukin penisnya Paahh, Mamah sudah rinduuu.”
Ningsih melenguh manja. Ningsih merenggangkan selangkangannya untuk
membuka lubang vaginanya lebih lebar lagi. Penisku yang tambah keras
nyasar-nyasar di lubang vaginanya setelah menembus bulu-bulu vaginanya
yang mulai basah dan
“Bleesssss.. .” Ningsih berteriak keenakan sambil menggigit bibirku.
“Paahh…, ooogghh…, pelaan pelaannn… doongg.” Matanya terpejam, nafasnya
yang harum dan bau mulutnya yang wangi masuk semua terhirup oleh
hidungku.
Kutarik dan kutekan penisku semakin kuat dan sering, keringatku
semakin bercucuran, mungkin berkat bir hitam cap kucing yang kuminum
sebelum bermain dengan Ningsih tadi. Ningsih juga semakin mengencangkan
goyangan pinggul dan pantatnya turun naik sampai aku merasakan kepala
penisku mentok di ujung lubang vaginanya.
“Paappaahh.. .. ooogghh… teruuusss, cumbu Mamaah Paahh…, Mamaahh
cintaa, Mamaahh.. sayyy… oooghh.. aduuhh… aanggg.” Ningsih semakin ramai
mengerang dan melenguh tak peduli suaranya akan didengar orang.
Kuminta Ningsih menungging setelah kucabut penisku. Ningsih menurut
dan wow! aku selalu semakin bernafsu kalau melihat pantat dan pinggul
Ningsih yang mulus dan seksi. Sambil setelah jongkok, aku menyodokan
penisku dari belakang setelah membuka lubang vaginanya sedikit dengan
tanganku dan,
“Bleeeeezzzz” , Ningsih berteriak keenakan. “aaggghh, oooghh… Paahh…
terus genjot Paahh… wooowww… enaakkk Paahh…” aku semakin mengencangkan
sodokan penisku.
Ningsih melenguh, merintih dan teriak-teriak kecil sementara itu
keringat kami semakin bercucuran membasahi seprei. Aku merasakan
kenikmatan yang luar biasa setiap mempraktekkan berhubungan badan dengan
gaya “doggy style” sehingga spermaku mulai meleleh keluar, semakin
meramaikan bunyi gesekan penisku dengan vagina Ningsih. Ningsih semakin
menunggingkan pantatnya sehingga penisku semakin amblas di dalam
vaginanya. Rasanya air maniku sudah mengumpul di kepala penisku menunggu
dimuntahkan habis.
“Maahh… oooghh…. aduuuhh… Maahh, vaginanya enaakk…, punya Papah yaa sayaang….” Ningsih menjawab sambil merintih
“Iyaa… sayaangg, semuanya punya Papaahh.” Kusodokkan penisku semakin dalam.
“Maahh…. adddduuhh… . Papaahh… moooo keluaarr! cabut dulu ya Maahh…” Ningsih setuju dan segera telentang kembali.
Aku segera menggumulinya dari atas badannya, kulumat pentil buah
dadanya. Ningsih kenikmatan dan minta penisku segera dimasukan kembali
ke vaginanya. Dia minta aku merasakan kenikmatan bersenggama dengannya,
sampai nanti bertemu lagi di Bandung dengan segala cara. Kumasukan
kembali penisku ke vaginanya yang semakin basah dengan cairan sperma
kami yang sudah bercampur satu.
“Bleeessszzz, crroockkk… chhooozkk… breesszz… crrrockkk… . bunyinya semakin gaduh.
Ningsih semakin membabi buta menggoyang dan menaik-turunkan
pinggulnya dan aku juga demikian. Kutekan dan kucabut penisku yang panas
dan keras ke lubang vaginanya. Ingin rasanya kutumpahkan semua sperma
dan spermaku ke lubang vagina dan rahim Ningsih supaya anakku semakin
sehat dengan tambahan vitamin dan mineral dari sperma bapaknya. Supaya
kegantengan dan kepintarannya juga turun ke anakku yang ada di dalam
rahim Ningsih. Tiba-tiba kami merasakan kenikmatan yang sangat luar
biasa, kami meregang dan melenguh bersama-sama merasakan sorga dunia
yang tiada taranya, meregang, meremas dan memeluk erat-erat dua badan
anak manusia yang saling mencinta dan seakan tak mampu terpisahkan.
Ningsih mengejang badannya dan menggigit bibir dan lidahku, pinggulnya
terangkat sambil berteriak.
“Papaahh…. oooghh… Mamaah… ooghh, keluaar… sayaangg”, sambil mencubit dan mencakar punggungku.
Mendengar lenguhan dan teriakan ejakulasi Ningsih, aku pun mulai tak
tahan menahan desakan air maniku di kepala penisku dan sambil menekan
dalam-dalam penisku di vaginanya aku berteriak sambil mengejang, kugigit
lidahnya,
“Maahh… oooggghh… Papaahh… jugaa….. keeelluuuaarrr. … oooghh….
sayaanggg… . nikmaattt.” Kami tertidur sejenak sambil berpelukan dengan
mesra dan tersenyum puas, waktu sudah menunjukkan jam delapan lewat lima
menit, berarti kami bermain selama hampir dua jam lamanya.
Oh, betapa nikmat dan puasnya. Aku memeluk dan menciumi Ningsih
erat-erat seolah tak ingin berpisah dengan kekasihku dan isteriku
tercinta, karena besok dia sudah akan pindah ke Bandung. Ningsih
berjanji untuk membeNingsihhukan nomor telepon rumahnya di Bandung dan
aku diminta untuk datang paling tidak seminggu sekali.
Sudah satu bulan berlalu, sejak pertemuanku terakhir dengan Ningsih
di Jakarta. Aku terkadang sangat rindu dengannya, tapi kutahan
perasaanku dengan menyibukkan diriku pada pekerjaan yang semakin
menumpuk sejak aku mempimpin cabang Slipi. Maklum, para pengusaha
nasabah bank dimana aku bekerja semakin banyak saja, hal ini karena
keberhasilan marketing-ku. Aku sengaja bekerja all-out siang malam,
dengan menjamu langgananku sambil makan malam dan karaoke.
Aku ingin melupakan Ningsihku yang sekarang sudah jadi isteri orang,
tapi bayang-bayang kemesraan selama beberapa tahun dengannya seperti
suami isteri tak mudah rupanya untuk dilupakan begitu saja. Sekretarisku
yang baru memang cantik, lebih muda dan menarik, tapi anehnya aku sama
sekali tak tertarik dengannya, barangkali memang aku bukan tipe lelaki
“play-boy” yang gampang gonta-ganti pasangan. Cintaku sudah direbut oleh
Ningsih tanpa peduli bahwa dia sudah menjadi isteri orang. Tapi aku tak
menyesali pertemuan dengan Ningsih, aku tetap mencintainya dengan
sepenuh hati.
Oh, rupanya aku melamun terlalu lama, sehingga aku merasa malu ketika sekretarisku Reni masuk membawa setumpuk dokumen.
“Pak, kok melamun?” sapanya ramah, sambil tersenyum manja.
“Ah, oohh… eng.. nggak.. kok”, kataku tergagap.
“Pak, dokumen-dokumen ini perlu segera ditanda-tangani Bapak, sebab
nanti siang Pak Yusuf Pramono akan mengambilnya” , kata Reni lagi.
“Okay, tinggalkan saja dulu, nanti saya panggil lagi kamu setelah kutandatangani” , kataku datar.
Reni menaruh beberapa map “feasability study” untuk beberapa proyek
pabrik konveksi yang mengambil kredit dari bank dimana aku bekerja. Dia
keluar ruanganku dengan lirikan matanya yang semakin manja. Ah, boleh
juga tuh cewek pikirku, bodinya cukup montok, hitam manis dengan buah
dada yang terlihat menonjol besar keluar dari blousenya. Tapi setiap aku
kepingin iseng-iseng menggoda Reni bayangan wajah Ningsih selalu
berkelebat di depan mataku, seakan mengingatkan janji dan kesetiaanku.
Ah, kamu mau menang sendiri Ning! gumamku dalam hati, sedangkan kamu
nikmat-enakan dengan suamimu.
Aku selalu membayangkan Ningsih telanjang bulat setiap malam dengan
suaminya dan bermain cinta di ranjang berdua, tanpa takut ketahuan
orang, tanpa takut diganggu orang karena memang suami-isteri sah dan
lupa pada diriku. Kemudian pada akhir klimaks-nya Ningsih melenguh dan
meregang sambil memuji sayang suaminya, sama seperti dilakukannya
padaku. “Uuh! kamu memang nggak setia Ningsih! kamu tega meninggalkan
aku sendirian di Jakarta , sedangkan kamu nikmat-enakan tiap malam
ngentot dengan suamimu. Kamu bilang nggak cinta, tapi lama lama kamu
suka juga dimasukin penisnya! Brengsek kamu Ningsih!!! dan bodohnya aku
tetap saja setia menunggu barang bekasan lelaki lain.”
Sekretarisku masuk lagi ke ruang kerjaku, ada apa pikirku, belum
dipanggil kok masuk lagi. Jangan-jangan dia memang sudah kegatelan mau
kucumbu. Aku sudah mempunyai pikiran buruk untuk menggodanya untuk
mengobati kekesalanku pada Ningsih dan aku hampir yakin bahwa dia pun
pasti menginginkan aku berbuat sesuatu yang mengasyikan padanya.
“Ada apa lagi?” kataku pura-pura tetap berwibawa seperti biasanya.
“Anu, Pak.. ada telepon dari Ibu Ningsih, Bandung!” katanya mengandung curiga.
“Hah, Ningsih! Ada apa lagi dia, mau ceNingsih asyik-masyuk pengantin barunya dengan si Yudi itu?” pikirku dalam hati.
“Cepat, sambungin ke sini!” jawabku cepat dan spontan.
Heran, setiap kudengar nama dia, apalagi akan mendengar suaranya
setelah hampir sebulan tidak ketemu, kebencian dan cemburuku pada
suaminya seperti mendadak hilang tak berbekas. Sekretarisku bergegas
keluar kembali untuk menyambungkan saluran telepon dari Ningsih,
terlihat raut mukanya agak ditekuk. Aku yakin dia nggak begitu suka jika
Ningsih telepon, mungkin juga cemburu, karena dia tahu aku punya
hubungan khusus dengan bekas sekretarisku itu.
“Hallo, Papah, ini Mamah, apa khabar sayang?” suara Ningsih di seberang sana terdengan merdu di kupingku.
“Baik saja kok, kamu gimana?” kataku datar.
“Pah, Mamah sangat rindu deh, kapan Papah mau ke Bandung?” jawabnya lagi.
Tiba-tiba timbul pikiranku untuk menggodanya, sekaligus menumpahkan kekesalan dan kecemburuanku.
“Ah, masa sih kamu kangen saya, kan tiap malam ada teman sekasur, nikmat
lagi, nggak takut ketahuan orang, tiap jam, tiap saat mau mainkan
tinggal buka celananya, penisnya gede lagi, pasti kamu melenguh
keenakan!” jawabku nyerocos seenaknya dan rasanya plong hatiku setelah
mengatakannya.
“Papah, kok gitu sih? Papah jahat deh, Mamah nggak nyangka Papah bicara
begitu, padahal setiap detik, setiap hari Mamah rindu padamu!” ungkapnya
dengan nada agak tinggi. Aku terdiam, nggak tahu mau ngomong apa lagi.
“Pah, kamu masih mau denger Mamah nggak?” Ningsih berkata lagi.
“Pah, Mamah interlokal nih, jadi mesti menghemat, Mamah kan isteri pegawai kecil, mesti ngiNing, masih mau dengar nggak?”
“Iya, iya, aku masih dengar kok, terus saja ngomong, aku dengerin”, kataku sekenanya.
“Papah kok gitu sih, Papah kelihatannya nggak rindu sama Mamah? ya
sudah, Mamah tutup teleponnya ya!” serunya mulai emosi. Aku masih saja
mau menggodanya, rasanya kesal dan cemburuku belum hilang betul.
“silakan, memangnya siapa yang telepon duluan?” lanjutku lagi.
“Oh, gitu ya, kamu memang egois, kamu nggak mau ngerti, mau menang
sendiri, kamu selalu mengungkit perkawinanku, padahal semuanya terjadi
bukan karena mauku.
Kenapa dulu Papah nggak beRani mengawini Mamah? Jawabnya karena Papah
sudah punya anak, isteri dan kedudukan tinggi. Apakah itu bukan egois
namanya? Tapi Mamah tetap menyintaimu dengan sepenuh hati, apa Papah
pikir Mamah juga nggak cemburu, bertahun-tahun mencintai laki-laki yang
sudah jadi suami orang? Apa Mamah harus jadi perawan tua dan hanya
selingan kamu?”
Terdengar suaranya mulai keras dan terbata-bata, mungkin menahan tangis.
“Ya sudah, Mamah nggak bakalan telepon Papah lagi, biarlah Mamah
menanggung rindu dan mencintai Papah sampai mati, Mamah nggak akan
ganggu Papah lagi kalau memang sudah tidak dibutuhkan! Tapi kamu mesti
ingat Pah, bahwa bayi di kandungan Mamah adalah anakmu, bayi ini adalah
darah dagingmu, kamulah yang membentuk dan menjadikan janin anakmu ini,
si Yudi bukan bapaknya yang sesungguhnya, dia nggak tahu bahwa aku sudah
mengandung benih anakmu ketika kawin.”
Ningsih terdengar menutupi kesedihannya dengan omelan panjang yang
memerahkan kupingku. Ah, dasar perempuan, kalau sudah merajuk dan
mengamuk, hatiku selalu luluh dengan perasaan cintaku kepadanya, cintaku
yang memang sangat mendalam dan tidak bisa terlupakan, apapun yang
terjadi dan bagaimanapun status Ningsih sekarang yang sudah menjadi
Nyonya Yudi Prayogo. Aku takut Ningsih segera menutup teleponnya,
makanya segera kularang dia.
“Mah, tunggu! jangan tutup dulu teleponnya, oke…oke… , maafkan Papah,
Papah juga rindu, Papah sayang, Papah selalu mencintaimu, kamu dengar
itu sayang?” aku menyerocos tak terkendali, menumpahkan perasaanku yang
sesungguhnya.
“Ya sudah, tak apa, Mamah selalu memaafkan kamu, sekarang catat nomor
telepon Mamah dan Mamah tunggu kamu di Bandung segera kalau Papah masih
sayang Mamah, mumpung si Yudi lagi tugas seminggu ke Malang!” perintah
Ningsih.
Kucatat nomor teleponnya dan aku berjanji untuk segera datang ke
Bandung menemuinya, kasihan Ningsihku kesepian dan sangat merindukanku.
Aku janji untuk datang hari Jumat sore dengan kereta Parahyangan dan
menginap di Hotel Kumala Panghegar. Aku sengaja tidak bawa mobil dan
sopirku sebab bisa berabe nanti kalau sopirku tahu aku masih berhubungan
dengan Ningsih.
Pada Jum’at sore aku sudah tiba di stasiun kereta api Bandung dan
temanku kepala cabang di Bandung telah siap menjemputku di stasiun.
“Gila lu Zen, kau rupanya masih juga berhubungan sama Ningsihmu itu!”
katanya sambil menepuk bahuku, setelah kami bertemu di stasiun.
Aku hanya tersenyum saja. Togar Sihombing temanku itu memang
satu-satunya sejawatku yang mengetahui hubungan intimku dengan Ningsih,
sejak Ningsih masih menjadi sekretarisku.
“Hati-hati kamu Zen, di sini kamu lagi bertamu, nanti ditangkep satpam suaminya tau rasa kau!” katanya meledek.
Karena rahasiaku dan Ningsih memang sudah di tangannya, aku tak
sungkan-sungkan meminta supaya Togar bisa jemput Ningsihku dari rumahnya
di daerah Pasir Kaliki dan dibawa ke kamar hotelku. Aku suruh dia
mengatur segalanya, termasuk keamanan hotel Kumala Penghegar, agar aku
bisa tenang dan santai dengan Ningsihku semalam suntuk, bahkan kalau
bisa sampai minggu pagi.
Kira-kira satu setengah jam aku menunggu di kamar hotel, pintu
diketuk dari luar dan waktu kubuka pintu kamarku, ternyata Ningsihku
sudah berdiri sendirian. Dia tersenyum manis dengan lipstik merah tua
tipis, kontras dengan mukanya yang putih mulus. Badannya semakin bersih
dan montok, mungkin pengaruh kandungannya yang jalan dua bulan, sehingga
buah dadanya terlihat semakin membesar dan pinggulnya semakin bulat
berisi. Terlihat perutnya sedikit membesar dan itu semakin membangkitkan
gairahku.
Kata orang, wanita yang sedang hamil dua atau tiga bulan itu sedang
cantik-cantiknya dan akan sangat menggemaskan laki-laki yang melihatnya,
apalagi dalam keadaan polos. Kuraih tangannya dan kutarik dia ke
kamarku. Setelah mengunci kamar dengan double-locked, kupeluk dan kucium
dia dengan penuh kerinduan, Ningsih membalas hangat. Kuminta air
liurnya seperti biasa ketika kami berciuman dan kutelan dalam-dalam
ludahnya yang tetap wangi itu. Baru aku sadar untuk menanyakan kawanku
Togar, setelah Ningsih melepaskan ciumanku yang menggebu-gebu sehingga
terengah-engah kehabisan napas.
“Kemana si batak itu?” tanyaku.
“Dia pulang dulu katanya, setelah mengantar Mamah sampai ke pintu kamarmu”, jawab Ningsih. Tahu betul tuh batak satu.
“Kok, Papah kelihatan kurusan? katanya lagi sambil memandangiku dari ujung kaki ke ujung rambut.
“Masa? barangkali kurus mikirin kamu. Apa khabar sayang? senang ya hidup
di Bandung?” dia merebahkan badannya di pelukanku, sehingga aku
terdorong rebah ke ranjang karena Ningsih semakin berat badannya.
“Apa kabarnya suamimu? Kok punya isteri cantik ditinggal-tinggal terus”, godaku muncul lagi.
“Ah, sudahlah, nggak usah nanya dia, namanya juga pegawai rendahan, harus mau ditugaskan ke mana saja.” Jawab Ningsih.
“Pah, Mamah kangen dan rindu banget deh”, katanya lagi sambil berbalik
menindih tubuhku. Oh, Ningsihku semakin bahenol saja badannya, dan buah
dadanya yang semakin montok menekan dadaku.
“Hati-hati dengan perutmu sayang, nanti anak kita kejepit.” Ningsih tak
peduli, dia terus merangsek dan menciumi seluruh mukaku dan kupingku
sehingga seluruh tubuhku merinding dibuatnya.
“Oooohh… Papah, Mamah gemes dan rindu deh!” ujarnya sambil menjulurkan
lidahnya yang harum ke bibirku, tentu saja kusambut hangat dan segera
menghisap lidahnya dalam-dalam sambil kugigit sayang.
Ningsih melotot manja,
“aachh… sakiiitt dong Paahh!” Kukulum lagi lidahnya dan kusedot
sambil memejamkan mataku, Ningsih mulai melenguh bahagia sambil sekali
lagi menumpahkan liurnya untuk kuhisap dan kutelan dalam.
Kubalikkan badannya pelan-pelan karena Ningsih sedang berisi, dan
segera saja kubuka pakaiannya. Ningsih diam saja dengan mata terpejam.
Kulempar satu persatu roknya, blousnya, blazernya, dan terakhir celana
dalamnya. Oh, Ningsihku semakin montok dan menggairahkan. Pahanya,
betisnya yang putih bersih, ditumbuhi bulu-bulu halus, pinggulnya
semakin montok berisi dan vaginanya dengan bulu-bulu hitam tipis
kemerahan semakin menggairahkan. Kujilati badannya mulai dari ujung
kaki, naik ke betis, paha dan bermuara di selangkangan dan vaginanya.
Ningsih mulai menggeliat-geliat kegelian.
“Paahh, ooogghh Mamah rindu jilatanmu seperti ini, oooogghh.”
lenguhan Ningsihku baru lagi kudengar setelah dua bulan tidak ketemu.
“Papah buka pakaiannya dong!” kata Ningsih mulai nggak sabar. Aku segera
menanggalkan seluruh pakaian yang melekat dan ketika CD-ku kulepas,
penisku langsung mencuat keluar dengan tegang.
Ningsih tersenyum manja dan langsung menyergap penisku dengan kuluman mautnya.
“Paahh… Mamah rindu penis iniiii, eeeemmggghh enaakkk Paahh, kok
sudah assiinn?” Mulutnya menyedot-nyedot penisku sambil mundur maju, aku
merasakan kenikmatan luar biasa. Ningsih mengigit-gigit batang penisku
yang mulai menegang seperti kayu.
“Maahh, ooogghh teruusss oooggghh, tapi jangaann oooghh, keras-keras gigitnya!” aku mulai merem-melek keasyikan.
Ningsih semakin kencang menghisap-hisap penisku sambil memejamkan
matanya, sementara buah-dadanya berayun-ayun ketika dia menaik-turunkan
mulutnya sampai batang penisku masuk semua di mulutnya.
“Paah, sudah keluar lendirnya, asiiiin!” sambil menelan cairan
penisku, dan hisapannya semakin menjadi-jadi di kepala penisku sambil
menghisap-hisap lendir penisku. “Eeeemmhh… enaak Paahh.” Aku semakin
merem melek sambil menggapai buah dadanya, dan ketika tanganku berhasil
meraihnya, kuremas-remas buah dadanya yang semakin kenyal dan kupilin
putingnya yang kemarahan seperti buah delima matang.
“Maahh.. ooogghh… udaahh duluuu yaang, Papah nggak tahaannn… oooghh.”
Aku menggelinjang kuat ketika hisapannya semakin asyik di kepala
penisku.
“Sekarang giliran Mamah yang tidur.” Ningsih telentang pasrah, kedua
kakinya kurenggangkan, kuusap-usap perutnya yang mulai kelihatan sedikit
buncit mengandung anakku.
cerisex.net–>cerita seks terbaru
Kubenamkan mukaku di selangkangannya sambil kujilat kedua
selangkangannya dan dengan cepat kujilat pula lubang duburnya. Ningsih
selalu nggak tahan kalau kujilat lubang pantatnya. Dia menggelinjang
kegelian sambil merintih.
“Aduuuhh, Papah jahaat!” Kumainkan klitorisnya dan lubang vaginanya
dengan lidahku dan kukeluarkan ludahku membasahinya sehingga terasa
semakin nikmat ketika kuhisap cairan vaginanya yang sudah mulai keluar
bercampur ludahku. Asin, manis dan gurih. Kutelan dalam-dalam. Ningsih
mulai menaik-turunkan pinggulnya kegelian.
“Paahh, eeemmggghh.. .. ooogghh, teruuusss… Paahh, lidahnya kayak
kontoool.” Dia terus melenguh seperti biasanya, dan lenguhannya ini yang
tak bisa kulupakan.
Lidahku yang tegang semakin kujulurkan ke dalam lubang vaginanya,
kumainkan klitorisnya dengan lidah digetarkan, Ningsih menggelinjang
hebat. Rongga-rongka vaginanya kulumat dan kujelajahi dengan lidahku,
sementara bibirku melumat kelentitnya yang memerah.
“Oooooghh… Papaahh… nikmaat… teruuusss Paahh! Ningsih menaik-turunkan
pantatnya semakin tinggi, sehingga lidahku seperti penis menancap dalam
di vaginanya.
“Aduuhh… Paahh… oooogghh… Paahh, Mamaahh… oogghh… enaakkk!” mulai deh Ningsih melenguh panjang.
“Paah, hayo naik deh, Mamah sudah nggak tahan, masukin cepet penisnya
sayaang!” Ningsih semakin melebarkan selangkangannya dan menggapai
badanku.
Aku bangun dan menidurinya dengan hati-hati karena sekarang Ningsih
sedang berbadan dua. penisku sudah keras seperti batu dan
mengangguk-ngangguk gagah mencari mangsa. penis pun tahu bahwa
kesukaannya ada di depannya, vagina Ningsih memang sudah tak asing lagi
buat penisku sehingga begitu bersentuhan saja langsung mengeras bukan
main. Seperti batu! Dan Ningsih memang nggak bakal lupa dengan
keperkasaan penisku yang mulai dikenalnya sejak dia perawan, untuk
pertama kali menikmati penis lelaki.
Kugesekan penisku di pahanya, Ningsih kegelian, dan memberikan kode
supaya langsung ditancapkan ke vaginanya yang sudah menganga, basah,
hangat dan mulai menyedot-nyedot mencari mangsa. Kubenamkan kepala
penisku sedikit demi sedikit, oh hangatnya vagina Ningsih dan vaginanya
mulai bereaksi menyedot-nyedot, empot-ayamnya mulai main. Kutarik lagi
penisku, sehingga pinggul Ningsih ikut naik karena sudah tidak sabar
ingin melumat penisku. Kubenamkan lagi batang penisku perlahan, Ningsih
menaikkan pinggulnya ke atas, sehingga batang penisku setengah ditelan
vaginanya. Pinggulnya diputar-putarkan sambil mengeluarkan jurus
“empot-ayamnya” .
“Oooogggghh, Mamaahh… uughhgghh… nikmaattt aduhh.” Desahanku membuat
Ningsih semakin semangat menaik-turunkan pinggulnya, hingga batang
penisku semakin amblas ditelan vaginanya yang tetap saja sempit.
“Paahh tekaannnn Paahh… Mamaahh… oogghh… nikmaattt sekalii.” Pinggul
Ningsih dan badannya semakin bahenol dan seksi, perutnya yang sedikit
membesar membuat nafsuku semakin menjadi-jadi.
Kuganjal pantatnya dengan bantal dan aku setengah duduk dengan
bertumpu pada dengkul menggenjot penisku keluar masuk vagina Ningsih
yang semakin naik ditopang bantal sehingga seluruh rongga vaginanya
terlihat jelas.
“Bleeesss… creekkkk…. bleeees… creeekkk, gesekan dahsyat penis dan
vaginanya yang empot ayam semakin ramai saja. Daging vaginanya terlihat
seperti terbawa ketika kucabut batang penisku saking sempitnya. Dan
“empot-ayam” -nya dikeluarkan kalau senggama dengan aku saja katanya,
sedangkan dengan suaminya tetap seperti layaknya “gedebong pisang”.
“Paah…, aduuhh, Paahh.., kontoolnya ooghh, Mamaahh… nggaak tahaan…
Paahh!” Ningsih seperti nggak ingat sedang hamil, badannya bergetar,
pinggulnya naik turun dengan cepatnya, miring ke kiri dan ke kanan
merasakan kenikmatan penisku yang perkasa.
“Paahh… ooghh…. eemmghh… oozzzhh… aauugghh… eeemmhh… teruuzshh…
tusuuukk…. Paahhghh”, lenguhan itu yang sangat kudambakan. Aku seperti
lelaki yang sangat dibutuhkan Ningsihku, tidak ada lelaki lain yang bisa
memuaskannya lahir batin.
Aku semakin gila menyodokkan penisku keluar masuk vagina Ningsih,
kuangkat kaki kirinya ke atas dan kutenggelamkan seluruh batang penisku
sampai terasa mentok di ujung lubang vaginanya.
“Oooogghh… apaahh… uughhzz… Papaahh… nikmaatt… ooghh…. teruss…
aduuuuhh… teruuss, Mamaahh… maooo… keluaarr!” Ningsih berteriak-teriak
keras sekali sambil seluruh badannya bergetar dan bergoyang, keringat
kami bercucuran seperti habis mandi membasahi sprei.
“Paahh, kenapa dicabut?” Ningsih mendelik waktu penisku mendadak dicabut
dari lubang vaginanya. Ningsih tersenyum lagi ketika kuminta dia
menungging, supaya kami bisa bermain dengan “doggy style”. Wow,
pinggulnya yang putih mulus semakin berisi dan bahenol saja menambah
nafsuku semakin menjadi, ketika Ningsih menungging.
Kuhisap dan kujilat lendir vaginanya dari belakang, sekalian lubang
pantatnya, Ningsih melenguh panjang. Dia memang paling geli kalau
dijilat lubang pantatnya.
“Papaahh…. aduhh…. Mamaahh, nggak tahaan doongg… Cepat masukin
penisnyaa!” teriak Ningsih sambil menunggingkan pantatnya, sehingga
terlihat vaginanya yang merah jambu dan sedikit basah itu.
Penisku yang lagi tegang-tegangnya kuarahkan ke lubang vaginanya
seperti mengarahkan meriam “Si Jagur” siap menembak tank-tank belanda.
Dan…
“Bleeeesszzhh. ..” penisku menyeruak ke dalam “gua kenikmatan dunia”
Ningsihku. Ningsih kembali melenguh panjang. “Paahh… oooggghh…, teruuss
kocookk sayaang!” Aku mulai menarik dan membenamkan batang penisku
keluar masuk lubang vaginanya yang terasa semakin sempit dan
menyedot-nyedot kalau bersenggama dengan “doggy style” kesukaan kami
berdua.
“Oooggghh… Maahh, Papah enaakkk… ooooggghh… hhzzz… aahzzoogghh. ..
duuh…. Maahh… aa… duuhh gilaa… yaangg, teruuss goyaang.. cakeeep!”
Ningsih memundur-majukan pantat dan pinggulnya semakin cepat sehingga
bed kamar hotelku berdeNing-deNing bunyinya.
Keringat kami jatuh bercucuran. Nikmat sekali rasanya bersenggama
dengan kekasihku tersayang ini. Jiwa raga kami rasanya bersatu-padu.
“Aduuuhh… Papaahh… ooggghh… enaakkk… Paahh, teruusss Paahh genjot…
teruuuss… aahh… lebih kenceng, oooggghh… aahhzzzzhh.. . duhh”, badan
Ningsih berguncang-guncang keras, goyangan pinggul dan pantatnya tambah
menggila dan lubang vaginanya seakan mau melumat habis dan mematahkan
batang penisku.
Air maniku rasanya sudah mengumpul di kepala penisku, siap
disemprotkan kapan saja kalau mau, tapi aku mau agar Ningsihku dulu yang
klimaks supaya dia puas. Belum tentu kami bisa ketemu seminggu sekali,
padahal dia pernah bilang bahwa kalau kami bisa kawin mungkin bisa
berhubungan badan setiap malam, karena penisku terasa nikmat sekali
rasanya katanya suatu hari sambil melumat lendirku yang keluar di
mulutnya, dan Ningsih nggak geli menelan semua air maniku.
“Paahh… Mamaahh… ooggghh… Paahh… aaduuhh… oggzz… giillaa…. aahh.. ooogghh… Mamaahh…. ooghh… Maauu keluaarrr!”
“Tungguu sayaangg.. Mamaah berbalik dulu telentang lagi”, perintahku, kami sudah hampir mencapai orgasme.
Kucabut penisku, Ningsih kemudian telentang dengan kedua kaki dibuka
lebar. Vagina dan lubang pantatnya kubersihkan dulu dengan jilatan
lidahku penuh nafsu. Kutelan habis cairan vaginanya yang asin, wangi dan
gurih itu. Dia menggelinjang sambil bergumam
“Aduuuhh, ooogghh, Papah jahaat!” sambil tersenyum manja dan matanya merem-melek.
“Cepetan masukin lagi penisnya Paahh, Mamah sudah nggak tahan nih!” Aku
segera menaiki tubuhnya dengan hati-hati takut kandungannya tertekan dan
anakku kesakitan.
Kuarahkan lagi batang penisku yang sudah merah legam seperti batu
dibakar untuk siap bertempur sampai titik darah putihku terakhir, demi
untuk Ningsihku tersayang. Dan…
“Bleeezzzhh” dan Ningsih melenguh panjang sekali
“Oooogghh Paahh.. kocookkkhh yangghhzz..” Kutarik cepat penisku sampai
kepalanya nongol ke permukaan vaginanya dan seketika itu juga kubenamkan
habis batang penisku ke lubang vaginanya sampai terasa mentok.
Ningsih melenguh panjang.
“Oooggghh Paahh aduuuhh gilaa nikmaat.” Kucabut lagi batang penisku
tiba-tiba dan kubenamkan lagi kuat-kuat ke dalam vaginanya, dengan style
agak miring, terkadang dari lubang sebelah kanan, terkadang masuk dari
lubang sebelah kirinya, membuat Ningsih terbuai kenikmatan luar biasa.
“Ooooowww ooogghh aahh Papahh enaakkhh duhh ampuunnn duuhh ooghhz….
Paahhzz!” teriakannya melengking-lengking , seperti nggak peduli kalau
ada yang dengar. Aku semakin bernafsu, keringatku bercucuran, penisku
terasa semakin tegang dan mau meledak dan terasa panas sekali seperti
gunung mau memuntahkan laharnya.
“Maahh.. ooghhzz Maahh Nonooknya gilaa empot ayaamm!”
“Goyaanggg teruusss oogghh yuuu bareeeng keluariiin Maahhggzz!
Kami semakin menggila saja, aku menusukkan batang penisku dan
mencabutnya setiap “setengah detik” sekali, dan goyangan pantat dan
pinggul Ningsih semakin menjadi-jadi. Tempat tidur semakin ramai
berdeNing-deNing, keringat kami bercucuran seperti mandi sambil
bersenggama, atau bersenggama sambil mandi, bercampur menjadi satu
menambah kenikmatan dan rasa menyatu yang bukan main indahnya. Ningsih
semakin menggila, mengelepar-gelepar keasyikan, matanya merem-melek.
Kucium dan kulumat seluruh wajahnya, bibirnya, jidatnya, ludahnya
kusedot dalam-dalam. Ningsih menggigit lidahku keras sekali sampai aku
menjeNing kesakitan.
Itu tandanya Ningsihku mau ejakulasi dan klimaks. Kukuatkan agar
cairan air sorgaku nggak muncrat dulu sampai Ningsihku mencapai
klimaksnya. Tiba-tiba…
“Paahh oooggghh aduuuhh Maamah keluuaarr ooghh aduuhh gilaa ooowwwhzz
aahh Papaahh.. uuughh uughh uuugghh”, dia sekali lagi menggigit lidahku
sampai berdarah barangkali, sambil mencubit keras pahaku, itu memang
kebiasaannya kalau meregang menahan klimaks luar biasa.
Aku tak peduli apapun yang dilakukan Ningsihku demi kepuasan
kekasihku ini. Aku terus menggenjotkan penisku semakin gila dan rasanya
sudah nggak tahan lagi menahan spermaku muncrat di vaginanya yang
kusayangi. Ningsih sudah kepayahan rupanya, katanya vaginanya terasa
ngilu kalau dia keluar duluan dan aku masih semangat menggenjotkan
penisku keluar masuk vaginanya.
“Cepeeet dooong yaang aach Mamaah capeee”, katanya dan akhirnya…
“Ooogghh.. Maahh.. Papah jugaa keluaarrr… ooooghh.. oooghh… oooghh..
Mamaahh… aduuuuhh eemmhhzz! Kami sama-sama meregang, mengejang,
mendelik, menggelepar, seakan jiwa raga kami terbang ke angkasa luas nan
indah, ke alam surgawi dunia fana entah sampai kapan kami akan memagut
cinta, tapi rasanya memang sulit berpisah.
Kupeluk dan kucium Ningsihku yang terkulai puas dengan senyuman
tersungging di bibirnya yang merah muda tanpa gincu. Kulumat lagi
bibirnya habis-habisan, dia melenguh manja dengan mata tertutup letih
tanda puas yang luar biasa.
“Paahh, Mamah cinta… jangan tinggalin Mamah ya sayaang!” Aku mengangguk saja karena aku pun sangat mencintainya.
Kemudian Ningsih dan aku rupanya tertidur pulas dalam keadaan
berpelukan mesra dan bugil dan penisku masih sedikit menancap di
vaginanya. Kulihat jam tanganku sudah menunjukan jam dua pagi. Hawa
dingin kota Bandung dan ketika aku tersadar bahwa kekasihku masih
tergolek mesra di pelukanku dengan telanjang bulat, nafsuku mulai
bangkit kembali dan penisku sedikit demi sedikit mulai menegang dan
keras kembali.
Kubangunkan Ningsihku, dia terbangun kami sama-sama berciuman kembali
walaupun belum gosok gigi. Tapi cinta mengalahkan segalanya, semuanya
terasa indah dan harum wangi. Ningsih juga kemudian terangsang kembali
dan kami bersenggama lagi habis-habisan sampai jam empat pagi sampai
seluruh badan terasa lemas dan lunglai. Nggak apa, kami makan apa saja
yang membuat tubuh segar kembali dengan memesan ke Room Service.
Hari Sabtu pagi sampai siang hari kami terus tidur berpelukan mesra,
pintu kamar terus berstatus “DO NOT DISTURB” sebab ada dua sejoli yang
sedang memagut kasih, dan sampai Minggu pagi kami terus bercinta dan
bersetubuh tak bosan-bosannya sampai tujuh kali. Minggu siang sekitar
jam 12.00 Togar datang sesuai janji untuk mengantarkan Ningsih pulang,
sambil mendropku di stasiun kereta api. Oh, setianya Batak satu ini,
benar-benar kawan sejati dia. Dia cuma cengar-cengir penuh arti ketika
bersalaman di stasiun dan berpisah denganku.
Dari mobil, Ningsih melambaikan tangan dan menempelkannya di
bibirnya. “Hati-hati kau bawa dia kawan, dia sedang mengandung anakku,
cari jalan yang mulus!” perintahku pada Togar. “Siap boss, akan
kulaksanakan perintahmu!” katanya tegas. Batak ini memang tegas dan
kasar, tapi hatinya sangat lembut dan baik. Sekali lagi aku berpelukan
dengan Togar, sebelum Kijangnya yang membawa Ningsih hilang dari
pandanganku.
Aku berjanji pada Ningsih untuk sesering mungkin datang ke Bandung,
tak peduli apakah si Yudi keluar kota atau tidak sebab cinta kami begitu
indah
Wah, cocok deh, rasanya pada minggu pertama hari-hari di kantor
begitu indah dan rasanya sangat cepat berjalan. Namanya Indah Ningsih
Purwati, oh… rasanya kerjaku tambah bersemangat. Setiap kali dia datang
ke kamar kerjaku membawa surat atau minumanku, aku mulai menancapkan
busur-busur asmaraku dari mulai menggenggam tangannya, mencium hidung
dan keningnya tetapi masih cukup sopan, jangan sampai dia kaget atau
marah. Tapi aku yakin, dia pun ingin diperlakukan demikian karena
ternyata dia tak menolak bahkan kerjanya semakin rajin dan cekatan
bahkan tak pernah bolos (termasuk ketika datang matahari, eh datang
bulan).
Kupikir tak apa, malah aku senang, toh aku belum mau pakai, yang
penting bisa mencium bibirnya, hidungnya, keningnya dan dari hari ke
hari kami semakin tenggelam dalam asmara. Ketika itu, tahun 1982, dia
sudah punya pacar bahkan pacarnya terus memintanya untuk segera menikah.
Herannya, menurut pengakuannya, dia semakin benci dan tidak berniat
nikah dengan pacarnya itu. Weleh-weleh- weleh, rupanya jerat cintaku
telah merasuki jiwanya.
Sampai suatu hari (3 bulan kemudian), aku memberanikan diri untuk
mengajaknya pergi ke luar kota di hari minggu, karena tidak mungkin kami
mencurahkan cinta kasih kami di kantor. Dia setuju dan berjanji untuk
menungguku di sebuah pasar swalayan tak jauh dari rumahnya. Maka ketika
mobil kami meluncur di toll Jagorawi menuju Bogor dan kemudian ke
Pelabuhan Ratu Sukabumi, hati kami semakin berbunga-bunga sebab kami
akan dapat mencurahkan segalanya tanpa takut diketahui orang atau
pegawai lain di kantor maklum kedudukanku sebagai kepala cabang bank
swasta terkemuka di samping sudah beristeri dan beranak dua.
“Ning….” kataku pelan ketika mobilku keluar pintu toll.
“Ada apa Pak?” Ningsih menjawab manis, sambil melirikku.
“Sekarang jangan panggil bapak, panggil saja Papah, biar nanti orang
mengira kita ini suami-isteri. ” Dia mencubit pahaku sambil tersenyum
manja, dan tangannya kutahan untuk tetap memegang pahaku, dia mendelik
manja tapi juga setuju.
“Pah… kamu nakal deh”, sambil mencubit sekali lagi pahaku. Wah, rasanya
aku seperti terbang ke langit mendengar Ningsih mengatakan “Papah”
seperti yang kuminta.
Sebaliknya, aku pun mulai saat itu memanggil Ningsih dengan sebutan
“Mamah” dan kami saling memagut cinta sepanjang perjalanan ke Pelabuhan
Ratu itu, laksana sepasang sejoli yang sedang mabuk cinta atau pengantin
baru yang akan ber-“honey-moon” , sehingga tak terasa mobilku sudah
memasuki halaman Hotel Samudera Beach. Pelabuan Ratu yang berada di tepi
Samudra Hindia dengan ombaknya yang terkenal garang. Laksana suami
isteri, aku dan Ningsih masuk dan menuju “reception desk” untuk check-in
minta satu kamar yang menghadap ke laut lepas. Petugas resepsi dengan
ramah dan tanpa rewel (mungkin karena aku ber-Mamah-Papah dan terlihat
sebagai suami isteri yang sangat serasi, sama ganteng dan cantiknya)
segera memberikan kunci kamar, sambil minta seorang room-boy mengantar
kami ke ruangan hotel di lantai tiga kalau aku tak salah.
Segera kututup pintu kamar, di-lock sekaligus dan pesan supaya kami
tidak diganggu karena mau beristirahat. Aku dan Ningsih duduk berhadapan
di pinggir tempat tidur sambil tersenyum mesra penuh kemenangan.
Akhirnya, angan-angan yang selalu kuimpikan untuk berdua-duaan dengan
Ningsih ternyata terlaksana juga. Kukecup hidungnya, keningnya,
telinganya, Ningsih menggelinjang geli. Kusodorkan mulutku untuk meraih
mulutnya, dia terpejam manja dan ketika bibir kami bersentuhan dan
kuulurkan lidahku ke bibirnya, ternyata dia langsung menyedot dan
melumat lidahku dalam-dalam.
“Ooohhgghh, Paahh”, Ningsih mulai terangsang dan merebahkan badannya,
aku segera saja menggumulinya dan menaiki badannya, Ningsih melenguh
dan terpejam, kemaluanku bergesekan dengan selangkangannya dan bau harum
parfumnya semakin merangsang nafsuku.
“Paahh, kita buka pakaiannya dulu, nanti lecek.” Oh, harum sekali
mulutnya, kulumat habis wajahnya, kupingnya, jidatnya dan mulutnya.
“Paahh, bandel nih, kita buka dulu bajunya!” Aku masih terengah-engah
menahan nafsuku yang membara, kemaluanku semakin menegang menggesek
selangkangannya.
“OK Mahh… yuuk dibuka dulu.”
Karena sudah sama-sama ngebet, kami saling membukakan pakaian dan
setelah T-Shirt-nya kulepas, terlihat sepasang gunung menyembul putih,
dan mulus sekali. Kami berpandangan setelah tak selembar benang pun
menempel. Kudekap Ningsih yang mulus, putih, harum itu, kujilati
semuanya sambil berdiri, sementara kemaluanku sudah tegang memerah,
apalagi ketika Ningsih mulai meraba dan meremas batang kemaluanku.
Kutelentangkan dia di tempat tidur. Oh… betapa mulusnya badan Ningsih,
sempurna sekali seperti bidadari. Pinggulnya yang montok, buah dadanya
yang putih kencang dengan puting merona merah dan kemaluannya yang
dijalari rambut kemaluan yang tidak terlalu lebat jelas menampakkan
bentuknya yang sempurna tanpa cacat, dan kelentit yang merah terlihat
rapi dan belum menonjol keluar karena memang Ningsih masih perawan.
Kujilati dari ujung kaki sampai ujung jidatnya yang mulus, naik ke
atas, berhenti lama di bawah kemaluannya. Kumainkan lidahku di antara
selangkangannya, Ningsih melenguh, terus kukulum-kulum kemaluannya,
klitorisnya yang merah dan beraroma harum, tambah lama tambah merambah
ke dalam lubang kemaluannya yang merah.
“Ogghh, Paahh, geliii.., terusss Pahh, ogghh, tapi jangan terlalu dalam Pahh…, saakiiit.”
“Yaa, sayanggg”, sambil terus lidah dan mulutku mengulum kemaluan dan
kelentitnya yang mulai terasa agak asin karena cairan kemaluan Ningsih
mulai keluar.
“Ogghh, Paah…, adduuhh, Paahh, gelii, Pahh, Mamah kayaak maauu… ogghh.”
Aku terus menjilati seluruh kemaluannya dengan membabi buta, kuhirup
seluruh cairannya yang wangi itu, sekali-kali lubang pantatnya kujilati
dan Ningsih menggelinjang dan merintih setiap kali kujilat pantatnya.
Penisku semakin tegang dan keras, urat-uratnya terlihat jelas
menegang, aku tahan terus supaya tidak ejakulasi duluan. Aku ingin
memuaskan Ningsihku yang tentunya baru merasakan kenikmatan surga dunia
ini bersama lelaki yang dicintainya.
“Paahh, eemmggghh.., teruss… Paahh, geellii…, oooggghh…, Pappaahh
jaahhaatt!” aku masih saja terus melumat, memamah, menggigit-gigit kecil
lubang kemaluan dan klitorisnya yang merah dan beraroma wangi, dan
pantat Ningsih semakin cepat naik turun sepertinya mau agar lidahku
semakin masuk ke lubang kemaluannya.
“Paahh, naik Paahh, udaahh donnkk, Mamahh nggak tahaan”, sambil menarik tanganku.
Matanya terpejam ayam, buah dadanya yang putih, mulus dan mengkel
terlihat naik turun. Aku menaiki badannya dan penisku yang sudah seperti
besi terasa menggesek bulu kemaluannya dan menempel hangat disela-sela
kemaluannya yang semakin basah oleh ludahku dan cairan vaginanya.
Kuremas dan kuhisap buah dadanya, kukulum puting susunya yang merah
muda, terasa sedap dan manis. Ningsih menggelinjang dan semakin
melenguh.
“Maahh, masukin yaa, penis Papah”, dia mengangguk sambil tetap
terpejam. Kubidikan penisku yang sudah keras itu kelubang kemaluannya,
dan kujajaki sedikit-sedikit lubangnya, maklum Ningsih masih perawan,
aku tak ingin menyakitinya.
“PPPaahh, masukkaan cepatt… Mamah nggak tahan Paah aahh…” Kutancapkan
penisku lebih dalam, Ningsih merintih nikmat, pantatku naik turun untuk
mencari lubang kemaluannya yang masih belum tertembus penis itu, Ningsih
terus menggoyangkan pantatnya naik turun sambil terus merintih.
“Maahh, penis Papahh udahh masuukk, oogghh mahh, vaginanya lezat,
menyedot-nyedottt. .. penis…” aku mulai merasakan kenikmatan yang luar
biasa, karena disamping Ningsih masih perawan, vaginanya juga punya
keistimewaan yang sering disebut “empot-empot ayam” itu.
Tambah lama, penisku tambah melesak jauh ke dalam vagina Ningsih dan
ada beberapa tetes darah sebagai tanda keperawanannya diberikan
kepadaku, boss-nya, kekasih barunya. Oh, betapa bahagianya hati ini.
“Paahh, saakkiitt, Paahh, tapi enaak, oooggghh.. Paahh, terus, goyang
paahh…, oooghh, cepeetiinn paahh…” Aku semakin mempercepat goyangan
pantatku naik turun dan penisku sudah bisa masuk semuanya ke lubang
kemaluan Ningsih.
Aku bangun dan duduk sambil kupeluk Ningsih untuk duduk
berhadap-hadapan dengan tidak melepaskan penisku. Ningsih duduk di
pangkuanku dengan kaki melonjor ke belakang pantatku. Penisku terus
menancap di vaginanya dan Ningsih mulai menaik-turunkan pantatnya.
“Paahh, oggghh… pahh”, sambil melumat bibirku dan menggigitnya.
“mmaahh,oogghh, aememmhh… maahh, goyang terusss…, Papah mau keluarrrr.”
Ningsih semakin beraksi menaik turunkan pinggulnya yang bahenol dan
putih bersih dan aku pun meladeninya dengan menaik-turunkan pantat dan
penisku semakin kencang juga.
“Pppaahh… Papahh harus tanggung jawab yaa, kalau Ningsih hamil”, ucapnya di sela-sela nafasnya yang semakin ngos-ngosan.
“Ningsiha… emmhhggg, sayang Pappaahh… biarin mengandung anak Papaah”,
manjanya. Aku mengangguk saja sebab aku sangat mencintainya.
“Paahh… oogghh… emmgghh… Ningsiha mauuu… keluaarrr… oomhh.” “Papahh..
jugaa… sayanggg…. “jawabku sambil telentang agi sedangkan Ningsih tetap
nongkrong berada di atas badanku dan vagina serta pantatnya naik turun
semakin cepat melumat habis batang penisku.
“Paahh… Mamahh… oooghh… sssakittt, oooggghh… tapiii.. ennaakk”, ketika
kubalikkan badannya dan kutancapkan penisku dari belakang.
Kugenjot terus penisku keluar masuk lubang kemaluannya sambil
kuremas-remas pinggulnya yang mulus dan montok seperti gitar itu,
Ningsih semakin merintih, aku juga semakin tersengal-sengal menahan
nafasku dan penisku yang semakin liar. Waktu sudah berjalan sekitar 50
menit sejak kami masuk kamar. Kuat juga pikirku, mungkin berkat latihan
yogaku yang cukup teratur, sehingga bisa menahan emosi dan cukup nafas.
Aku memang rada jago juga dalam bermain asmara di ranjang.
“Terruusss.. . Paahh… eemmhh… ogghh… Paahh… Paahh, ggghh… Mamahh
maaooo keluaarr… oogghh… bareng Paahh.” Kucabut dulu penisku dan Ningsih
kuminta untuk telentang kembali dan lantas kutindih lagi sebab aku
ingin menatap dan menciumi wajah kekasihku ketika kami sama-sama
ejakulasi.
Kutancapkan kembali penisku ke vaginanya yang terlihat semakin
memerah, kujilati dulu lendir-lendir di kemaluannya sampai lumat dan
kutelan dengan nikmat. Dia menggeliat,
“Cepat dong masukan lagi penisnya Pah!” dan,
“Bbbleess”, oh nikmat sekali rasanya vagina perawanku tercinta ini.
Aku seperti di awang-awang, saling mencintai dan dicintai. Kugoyang
terus pantatku semakin lama semakin kencang dan penisku keluar masuk
vaginanya dengan gagah, Ningsih terus melenguh kenikmatan sambil
tangannya memilin-milin puting susuku semakin membawa nikmat. Ningsih
semakin menggila goyangannya mengimbangi keluar masuk penisku ke
vaginanya, penisku terasa disedot-sedot dan dijepit dengan daging lunak
yang ngepres sekali. Keringat kami semakin bercucuran dan semakin
membangkitkan gairah cinta, kemudian tiba pada puncak gairah cinta dan
surga dunia kami yang paling indah, paling berkesan sekali disaksikan
laut kidul, dan kami berdua serempak berteriak dan mengejang,
“Paahh… Maahh… oogghh… mauuu keluuuarrr.. . ogghh… baarrrreeengg. ..
yuuu…, oooghh… sayaang.” Kami sama-sama mengejang, mengerang, merengkuh
apa pun yang bisa direngkuh, sebuah klimaks dua manusia yang saling
mencintai dan baru dipertemukan, meskipun sudah agak telat karena aku
sudah berkeluarga.
Sejak itu, aku terus memadu kasih kapan dan di mana saja (kebanyakan
di luar kota) sampai Ningsih kawin dan keluar dari perusahaanku.
Anak-anaknya adalah anak-anakku juga bahkan wajahnya mirip wajahku dan
kadang-kadang kami masih bertemu memadu kasih karena kami tidak bisa
melupakan saat-saat indah itu. Kapan akan berakhir perselingkuhan ini,
kami tidak tahu sebab cinta kami sangat mendalam.
Ningsih telah keluar dari kantor cabang bank yang kupimpin di
bilangan Slipi, karena dia dipaksa kawin dengan seorang laki-laki yang
tidak dicintainya. Namun sebagai anak yang patuh sama orang tua,
terpaksa harus mengikuti keinginan orangtuanya dan ikut bersama suaminya
setelah itu ke Bandung, karena suaminya bertugas di kantor pajak Jawa
Barat. Sebulan sebelum menikah dia kuajak ke Singapore untuk operasi
selaput dara, karena aku tidak ingin Ningsihku bermasalah dengan
suaminya pada malam pengantinnya.
Kami menginap di sebuah hotel di kawasan Orchard Road yang ramai dan
penuh pertokoan selama tiga malam dan satu malam lainnya aku
menungguinya di Rumah Sakit Elizabeth yang terkenal dan langsung
ditangani oleh dr. Lie Tek Shih, spesialis operasi plastik, kenalan lama
saya. Malam sebelum operasi selaput dara, kami menumpahkan seluruh
kasih sayang semalam suntuk di hotel bintang empat itu, dan malam itu
merupakan malam yang ke 24 (karena Ningsih rajin mencatat setiap
pertemuan kami) kami memadu kasih dan terlarut dalam kebersamaan yang
tiada tara sejak yang pertama di “Samudera Beach” Pelabuhan Ratu.
“Papah”, Ningsih bersender manja di dadaku di kamar hotel itu.
“Apa sayang?” jawabku sambil mencium rambutnya yang harum.
“Mamah… Mamah nggak mau kawin dan meninggalkan Papah”, rengeknya manja.
“Memangnya kenapa sayang?” jawabku sambil mengusap sayang payudaranya yang putih ranum.
“Mamah nggak cinta sama calon suami pilihan Bapak, lagi pula Mamah nggak mau meninggalkan Papah sendirian di
Jakarta.” Matanya terlihat mulai berkaca-kaca,
“Mamah sangat sayaang sekali sama Papah, Mamah cintaa sekali sama Papah,
Mamah tak rela tubuh dan segala milik Mamah dijamah dan dimiliki orang
lain selain Papah, achh… kenapa Tuhan mempertemukan kita baru sekarang?
setelah Papah punya isteri dan anak?” Ningsih terus bergumam sambil
membelai dadaku dan sesekali mempermainkan puting susuku yang semakin
keras.
“Mahh, sudahlah, itu sudah diatur dari sananya begitu, kalau dipikir,
Papah pun nggak rela kamu dijamah laki-laki lain, Papah tak kuasa
membayangkan bagaimana malam pengantinmu nanti, tapi semuanya sudah akan
menjadi kenyataan yang tidak mungkin kita robah.” Aku menciumi seluruh
mukanya dengan segenap kasing sayang, seakan kami tidak ingin
terpisahkan, air mata kami berlinangan campur menjadi satu dalam
kesenduan dan kemesraan yang tak pernah berakhir setiap kali kami memadu
kasih.
“Papaahh, nikmatilah Ningsihmu sepuasmu Pahh, sebelum orang lain
menjamah tubuhku.” Ningsih menarik tanganku ke buah dadanya dan
merebahkan badannya ke kasur empuk sebuah double-bed. Aku beringsut
mendekatinya, sambil kurebahkan badanku di samping tubuhnya yang putih
mulus dan seksi itu. Kuusap-usap penuh mesra dan kasih sayang buah
dadanya yang putih ranum dengan putingnya yang merona merah. Kujulurkan
mulut dan lidahku ke puting buah dada kirinya yang menurutnya cepat
membuat rangsangan berahinya timbul.
“Paahh…, gelliii… sayaang… oooggghh, Paahh…, naikin Mamaahh… Paahh…” Matanya merem ayam dan dadanya semakin turun naik.
“Iyyaa, yaanng…” aku segera menindihi badannya, dan penisku mulai kembali tegang.
Tiba-tiba Ningsih membalikkan badannya dan mendadak merenggangkan
kedua kakiku. Tak sampai satu menit, Ningsih sudah mengulum penisku yang
semakin mengeras dan mengkilat kepalanya sampai batangnya amblas semua
ke dalam mulutnya.
“Oogghh, Paahh, sudah assiiinnn, Papah sudah ngiler nih, tapi nikmat kok, Mamah suka?” Aku semakin merem melek,
“Ogghh, Mmaahh, geellii, sayaang, nikmaatt, ogghh.” Ningsih mengenyot
biji pelirku dan menggigit-gigit sayang, hingga aku menggelinjang geli
dan nikmat.
Ningsih memang pintar, hebat, telaten dan cantik. Aku terkadang tak
suka dan tak rela dia nanti ditiduri dan dijamah lelaki lain, walaupun
itu suaminya. Aku terpikir untuk menggodanya.
“Mah, apa nanti suamimu juga dijilati begini?” Ningsih berhenti
melumat dan menjilat penis dan buah pelirku sejenak. Matanya mendelik
dan mencubit pantatku keras sekali.
“Jangan menyakiti hati Mamah ya Pah, Mamah sumpah nggak akan seperti
ini, seperti main sama Papah, meskipun nanti lelaki itu resmi jadi
suamiku”, Ningsih iseng mengusap-usap penisku penuh sayang sambil
nyerocos lagi.
“Percaya dech pah, Ningsih cuma cinta sama Papah, paling-paling kalau
main nanti sama dia sekedar karena kewajiban, biar saja kayak gedebong
pisang.”
“Benar ya Mah, Papah nggak rela kalau kamu main sama dia dirasain, terus
ikut goyang dan melenguh, Papah pasti merasakannya” , kataku menimpali.
“Nggak bakal sayang, Mamah hanya manja dan menikmati semua kalau ngewe
sama Papah, percaya dech sayang.” Ningsih kembali naik di atas badanku
dan penisku terus diusap-usapnya dan sesekali dikocoknya persis di
bagian kepalanya, sehingga langsung tegang dan berdiri perkasa
menampakkan otot-ototnya.
Ningsih mengangkat sedikit pantatnya ke atas dan menyelipkan penisku
yang semakin perkasa ke lubang kemaluannya yang mulai basah dan licin.
Penisku nggak begitu panjang memang, paling sekitar 15 sentimeter, tapi
kerasnya seperti besi, dan Ningsih selalu menikmati klimaks dengan
sangat bahagia bahkan bisa berkali-kali klimaks dalam setiap kali
berhubungan denganku. Pantatnya mulai bekerja naik turun dan pantatku
juga mengimbanginya dengan menekan-nekan ke atas, sehingga Ningsih
semakin merem melek keasyikan.
“Ppaahh, aagggghh… terus teken sayaang… Mamaahh eennnaakk adduuhh
Paahh.., oogghh.., Mamaahh, cintaa.. yaangg…” Selalu saja Ningsih
nyerocos mulutnya kalau lagi keasyikan vaginanya melumat penisku.
Vaginanya mulai lagi menyedot-nyedot penisku dengan “empot ayamnya” yang tak bisa kulupakan.
“mmaahh…. ooogghh… aduuhh, Maahh, nikmaat, sayaang.. teruuuss Maahh, goyaanng.” Aku mulai merasakan kenikmatan yang luar biasa.
Kuremas-remas buah dada dan putingnya, hingga dia kegelian dan
semakin kencang menaik-turunkan pantatnya, sampai bunyi gesekan penis
dan vaginanya semakin terdengar. Ningsih membalikkan badannya dan
membelakangiku tapi dengan posisi tetap di atas tubuhku tanpa
mengeluarkan penisku dari kemaluannya. Aku paling bernafsu kalau melihat
pantat Ningsih yang putih mulus dan bahenol turun naik di depan mataku
sambil vaginanya terus menghisap-hisap batang penisku sampai amblas
semuanya ke dasar kemaluannya. Tiba-tiba,
“Pppaahh, oggghh, Papaahh, Mamahh maooo keluaarr…. ooghh… Papaahh…
aa.. aa… aagghh aaggghh, Mamaahh duluaannn Pahh….” Ningsih terkulai
lemas sambil menyubit keras pantatku dan berbalik kembali menindih
tubuhku, sambil memegang penisku yang masih berdiri tegak dan belepotan
lendirnya.
“Bandel nich… ayo cepeten masukin lagi, Mamah yang di bawah!”
perintahnya manja sambil menciumi wajahku. Kedua tubuh kami mandi
keringat, rasanya puas sekali setiap bersetubuh dengan Ningsihku sayang.
Aku tersenyum puas, aku memang nggak egois, biar Ningsihku dulu yang
terkulai lemas menikmati klimaksnya, aku bisa menyusul kemudian dan
Ningsih selalu melayaniku dengan penuh kasih sayang dan kesabaran.
Kubalikkan tubuhnya, kujilati dengan kulumat lendir-lendir di vaginanya,
kujilat, kugigit sayang klitoris dan vaginanya, dia menggelinjang
kegelian. Kutelan semua lendir Ningsihku, sementara itu penisku masih
berdiri tegak.
“Cepat masukin penisnya sayang, Mamah mau bobo nich.., lemas,
ngantuk”, kicaunya. Setelah kubersihkan vaginanya dengan handuk kecil,
kumasukkan lagi penisku, aduh ternyata lubang vaginanya menyempit kering
lagi, menambah nikmat terasa di penisku.
“Mmaahh, eennaak… Maahh, oogghh, sempit lagi Maahh…” sambil terus kutekan ke atas dan ke bawah penisku.
Aku sedikit mengangkat badanku tanpa mencabut penisku yang terbenam
penuh di vagina Ningsih, kemudian kaki kanan Ningsih kuangkat ke atas
dan aku duduk setengah badan dengan tumpuan kedua dengkulku. Ningsih
memiringkan sedikit badannya dengan posisi kaki kanannya kuangkat ke
atas. Dengan posisi demikian, kusodok terus penisku ke luar dan ke dalam
lubang vaginanya yang merah basah. Ningsih mulai melenguh kembali dan
aku semakin bernafsu menusukkan penisku sampai dasar vaginanya.
“Ooggghh, Maahh, ooogghh.. nikmat sekali sayang”, lenguhku sambil
memejamkan mataku merasakan kenikmatan vagina Ningsih yang menyut-menyut
dan menyedot-nyedot.
“Paahh.. Mamah enaak lagi, ooogghh… Paahh”, dia mulai melenguh lagi keenakan.
Aku semakin bersemangat menusukkan penisku yang semakin tegang dan
rasanya air maniku sudah naik ke ujung penisku untuk kusemburkan di
dalam kemaluan Ningsih yang hangat membara. Kubalikkan tubuhnya supaya
tengkurap dan dengan bertumpu pada kedua dengkulnya aku mau bersenggama
dengan doggy style, supaya penisku bisa kutusukkan ke vaginanya dari
belakang sambil melihat pinggul dan pantatnya yang putih dan indah.
Dalam posisi senggama menungging begitu, aku dan Ningsih merasakan
kenikmatan yang sangat sempurna dan dahsyat. Apalagi aku merasakan
lubang vaginanya semakin sempit menjepit batang penisku dan sedotannya
semakin menjadi-jadi.
“Paahh… teruuuss genjoott.. Paahh…” Ningsih mulai mengerang lagi
keenakan dan pantatnya semakin mundur maju sehingga lubang vaginanya
terlihat jelas melahap semua batang penisku.
“Blleesss, shhoottt… bleesss… srooottt, sreett crreeckkk… ” gesekan
penisku dan vaginanya semakin asyik terdengar bercampur lenguhan yang
semakin nyaring dari dua anak manusia yang saling dilanda cinta.
“Maahh, ooggghh… adduuuhh, Yaangg… emghh, Papah enaakk, ooghh!” aku
tergoncang-goncang dan dengkulku semakin lemas menahan kenikmatan dan
nafsuku yang semakin menggelegak.
Sementara itu keringatku semakin bercucuran membasahi kasur meskipun AC cukup dingin di kamar hotel itu.
“Paahh, ooogghh, teruuusss tusuuk Paahh…” Ningsih merintih-rintih ke asyikan, kelihatannya akan klimaks lagi.
Rupanya Ningsih nggak mau tahu kalau posisi persetubuhan saat itu
akan berakhir 2-1 untuk kemenanganku, dan entah akan menghasilkan skor
berapa sampai pagi hari nanti, soalnya mumpung ketemu sebelum dia
dikawinkan. Ningsih memintaku untuk telentang lagi dan sementara dia
berada jongkok di depanku, sehingga vaginanya yang merah basah sampai ke
bulu-bulunya terlihat jelas di depan mataku. Aku memberi kode agar
Ningsih mendekatkan vaginanya ke mukaku. Sesaat kemudian vaginanya sudah
ditindihkan di mulutku dan kulumat habis cairan asin bercampur manis
yang ada di selangkangan dan mulut vagina dan bulunya. Kujilati habis
dan kutelan dalam-dalam. Ningsih melenguh keasyikan sambil menggoyangkan
pinggulnya ke atas ke bawah dan membenamkan vaginanya ke mukaku.
“Paahh…, ooghh, Paahh…, nikmaatt, yaangg… teruusss, aduuuhh…,
ooggghh, eemmhh, gilaa…, emmhh”, mulai ramai lagi dia dengan lenguhannya
yang semakin menambah semangatku untuk terus melumat, menjilat,
menggigit-gigit kecil kemaluan dan klitorisnya, lidahku terus
menggapai-gapai ke dalam kemaluannya dan sesekali menjilat lubang
pantatnya, sehingga dia menggeliat dan melenguh keenakan. Lenguhan
Ningsih kalau sedang senggama itu tak bisa kulupakan sampai saat ini.
Ningsihku adalah isteriku yang sesungguhnya, meskipun secara resmi
tidak dapat dilakukan karena keadaan kami masing-masing. Terkadang kami
bingung apakah cinta kasih kami akan terus tanpa akhir sampai takdir
memisahkan kami berdua? Ningsih kembali kuminta celentang, karena sudah
kebiasaanku kalau aku klimaks harus melihat wajahnya dan mendengar
lenguhannya di depan mataku, dan rasanya semua perasaan cintaku dan
spermaku tumpah ruah di dalam vaginanya kalau aku ejakulasi sambil
berada di atas tubuhnya yang mulus montok, terkadang sambil meremah buah
dadanya yang putih padat.
Kumasukkan lagi segera penisku yang sekeras besi dan berwarna coklat mengkilap itu kelubang vaginanya,
“Blleeeessss. ” Aku sudah tak tahan lagi menahan gumpalan spermaku di ujung penisku.
Kugenjot penisku keluar masuk vaginanya sampai ke ujung batang
penisku, sehingga rambut kemaluan kami terasa bergesekan membuat semakin
geli dan nikmat rasanya. Kuangkat kaki kanan Ningsih ke atas, sehingga
aku semakin mudah dan bernafsu memaju mundurkan pinggulku dan penisku,
Ningsih meringis dan melenguh keenakan.
“Paahh… teruuss Paahh… oogghh, penis Papah eaakk… ooggghh, eeemmhh…
emmhh… aduuuhh.” Keringat kami semakin bercucuran membasahi sprei, masa
bodoh sudah bayar mahal ini.
Aku semakin bernafsu menyodok dan menarik batang penisku dari vagina
Ningsih yang semakin licin tapi tetap sempit seperti perawan.
“Oooggghh… Maahh… ooggghh… Maahh… ikut goyang dong Sayaang…, oooghh…
Papaahh maauu keluuuaarr.. .” aku semakin gila saja dibuatnya, keringat
semakin bercucuran, nikmat dan nikmat sekali setiap bersetubuh dengan
Ningsihku sayang.
Air maniku rasanya tinggal menunggu komando saja untuk disemprotkan habis-habisan kelubang vagina Ningsih.
“Paahh, aduuuhh, bareng yuuu.. Paahh… Mamah mmoo keluaarr lagi”, Ningsih minta aku menindihnya dan menciumnya.
Segera kutimpa dia dari atas sambil melumat mulut, bibir dan lidahnya.
“Ooogghh… yuu… baraeeng.. Paahh… aiiaaogghh.. . aduhh.. yuu Maahh..
Paahh…” badan kami saling meregang, berpelukan erat seakan tak mau lepas
lagi.
Air maniku kusemprotkan dalam-dalam ke lubang vagina Ningsih, rasanya
nggak ada lagi tersisa. Kami terkulai lemas dalam pelukan hangat dan
puas sekali. Sesekali penisku kutusukan ke dalam vaginanya, Ningsih
menggelinjang geli dan melenguh “Paahh… udaahh… Mamahh geli…” matanya
terpejam puas. Kuciumi dia, kubersihkan lagi vaginanya dengan jilatan
lidah dan mulutku, ketimbang pakai handuk. Vaginanya tetap harum, manis
dan wangi laksana melati.
Sepulang dari Singapore, aku dan Ningsih masih selalu bertemu di
beberapa motel di Jakarta dan sekitar Botabek. Aku seakan tidak rela
melepas kekasihku untuk dikawinkan dengan lelaki lain. Tapi memang tidak
ada jalan lain, sebab meskipun Ningsih telah menyatakan keikhlasannya
untuk menjadi isteri keduaku, namun aku juga sangat cinta keluarga
terutama anak-anakku yang masih butuh perhatian. Ningsih sangat maklum
hal itu, namun dia juga tidak bisa menolak keinginan orangtuanya untuk
segera menikah mengingat hal itu bagi seorang wanita adalah sesuatu yang
harus mempunyai kepastian karena usianya yang semakin meningkat. Waktu
itu Ningsih sudah berusia hampir 26 tahun dan untuk wanita seusia itu
pantas untuk segera berumah tangga.
Tanpa terasa hari pernikahan Ningsih sudah tinggal tersisa satu bulan
lagi, bahkan undangan pesta pernikahan sudah mulai dicetak, dan dia
membeNingsihhukan aku bahwa resepsi pernikahannya akan diselenggarakan
di Balai Kartini. Hatiku semakin merasa kesepian, dari hari ke hari aku
semakin sentimentil dan sering marah-marah termasuk kepada Ningsih.
Aku begitu tak rela dan rasanya merasa cemburu dan dikalahkan oleh
seorang laki-laki lain calon suami Ningsih yang sebenarnya tidak dia
cintai. Tapi itulah sebuah kenyataan pahit yang harus kutelan. Itulah
adat ketimuran kita, adat leluhur dan moyang kita. Barangkali kalau aku
dan Ningsih hidup di sebuah negara berkebudayaan barat, hal ini tidak
bakalan terjadi, sebab Ningsih bisa menentukan pilihannya sendiri untuk
hidup bahagia bersamaku di sebuah flat tanpa bisik-bisik tetangga dan
handai-taulan di sekitar kita.
Tanpa terasa pula aku sudah menjalin cinta dan berhubungan intim
dengan Ningsih hampir empat tahun lamanya, seperti layaknya suami isteri
tanpa seorang pun yang mengetahui dan hebatnya Ningsih tidak sampai
mengandung karena kami menggunakan cara kalender yang ketat sehingga
kami bersenggama jika Ningsih dalam keadaan tidak subur.
Pada suatu sore, Ningsih meneleponku minta diantarkan untuk mengukur
gaun pengantinnya di sebuah rumah mode langganannya di kawasan Slipi.
Kebetulan aku sedang agak rindu pada dia. Kujemput dia di sebuah toko di
Blok M selanjutnya kami meluncur ke arah Semanggi untuk menuju ke
Slipi. Di mobil dia agak diam, tidak seperti biasanya.
“Ning, kok tumben nggak bersuara”, kataku memecah hening.
Dia menatap mukaku perlahan, tetap tanpa senyum. Air matanya terlihat samar di pelupuk matanya.
“Mah, kenapa sayang? kok kelihatannya bersedih”, kataku sekali lagi.
Dia tetap menunduk dan air matanya mulai meluncur menetes di tanganku yang sedang mengelus mukanya.
“Bertambah dekat hari pernikahanku, aku bertambah sedih Pah”, ujarnya.
“Mamah membayangkan malam pengantin yang sama sekali tidak Mamah
harapkan terjadi dengan lelaki lain. Sayang sekali kamu sudah milik
orang lain. Kenapa kita baru dipertemukan sekarang?” Ningsih berceloteh
setengah bergumam. Aku merasa iba, sekaligus juga mengasihani diriku
yang tidak mampu berbuat banyak untuk membahagiakannya.
Kugenggam tangannya erat-erat seolah tak ingin terlepaskan. Tanpa
terasa, mobilku sudah memasuki pekarangan rumah mode yang ditunjukan
Ningsih. Hampir setengah jam aku menunggu di mobil sambil tiduran, mesin
dan pendingin mobilku sengaja tak kumatikan. Laser disk dengan lagu
“Love will lead you back” mengalun sayup menambah suasana sendu yang
menyelimuti perasaanku. Aku dikejutkan Ningsih yang masuk mobil dan
membanting pintunya. Setelah berada di jalan raya kutanya dia mau ke
mana lagi dan dia menjawab terserahku. Kuarahkan mobilku kembali ke
jembatan Semanggi dan belok kiri ke jalan Jenderal Sudirman dan masuk ke
Hotel Sahid. Sementara aku mengurus check-in di Reception Desk, Ningsih
menungguku di lobby hotel. Kemudian kami naik lift menuju kamar hotel
di lantai dua.
“Pah, Mamah serahkan segalanya untukmu, Mamah khawatir sebentar lagi
Mamah dipingit, nggak boleh keluar sendirian lagi, maklum tradisi kuno
kejawen masih ketat.” Tanpa malu-malu lagi karena kami memang sudah
seperti suami isteri, dia membuka satu persatu pakaian yang melekat di
badannya sehingga kemontokan tubuhnya yang tak bisa kulupakan terlihat
jelas di hadapanku. Tanpa malu-malu pula dia mulai memelorotkan celana
panjang sampai celana dalamku, sehingga batang penisku yang masih
tiduran terbangun. Tanpa menungguku membuka baju dan kaus singlet,
Ningsih sudah membenamkan batang penisku ke mulutnya dan melumatnya
dalam-dalam. Aku mulai merasakan kenikmatan yang luar biasa dan batang
penisku mulai mengembang besar dan keras seperti besi.
“Ogghh… Maahh…, isep terus yaang oooghh, aduuuuhh… gelli”, aku mulai
melenguh nikmat dan Ningsih semakin cepat mengulum penisku dengan
memaju-mundurkan mulutnya, penisku semakin terasa menegang dan aliran
darah terasa panas di batang penisku dan Ningsih semakin semangat
melumat habis batang penisku. “Oggghh, Paahh, enaakkk asiiin.. Paahh.”
Wah, batang penisku makin terasa senut-senut dan tegang sekali rasanya
cairan spermaku sudah berkumpul di ujung kepala penisku yang semakin
merah mengkilat dikulum habis Ningsih. Aku minta Ningsih menghentikan
hisapannya dulu, kalau tidak rasanya spermaku sudah mau muncrat di
mulutnya.
“Ooogghh, Maahh, sudah dulu doong, Papaahh moo… keluaar!” Ningsih
menuruti eranganku dan beranjak rebah dan telentang di tempat tidur. Aku
mengambil nafas dalam-dalam untuk menahan muncratnya spermaku. Aku ikut
naik ke tempat tidur dan kutenggelamkan mukaku ke tengah
selangkangannya yang mulus putih tiada cela tepat di depan kemaluannya
yang merekah merah. Kujulurkan lidahku untuk kemudian dengan meliuk-liuk
memainkan kelentitnya, turun ke bawah menjilat sekilas lubang
pantatnya. Ningsih melenguh kegelian dan mulai menaik-turunkan pantatnya
yang putih dan gempal.
Kutarik ke atas lidahku dan kujilat langit-langit vaginanya yang
mulai basah dan terasa manis dan asin. Kutegangkan lidahku agar terasa
seperti penis, terus kutekan lebih dalam menyapu langit-langit vagina
Ningsih. Ningsih semakin memundur-majukan pinggulnya sehingga lidahku
menembus lubang vaginanya semakin dalam. Aku sebenarnya ingat bahwa
hasil operasi selaput daranya tempo hari di Singapore bisa jebol lagi,
tapi aku tak peduli kalau kenikmatan bersenggama dengan Ningsih telah
memuncak ke ubun-ubunku.
“Paahh… ooghh… wooowww… ooghh.. paahh, terus paahh… enaakkk… paahh
lidahnya kayaak kontoooll… ” Goyangan pinggul Ningsih semakin menggila,
aku pun tambah semangat membabi buta memainkan lidah dan mulutku melumat
habis vagina dan klitorisnya sampai cairan Ningsih semakin banyak
mengalir.
Kuhisap dan kutelan habis cairan vagina Ningsih yang asin manis itu
sehingga lubang vaginanya selalu bersih kemerahan. Ningsih terus
menyodok-nyodokkan vaginanya ke mukaku sehingga lidahku terbenam semakin
dalam di lubang vaginanya, sampai mulai terasa pegal rasanya lidahku
terus kutegangkan seperti penis.
“Paahh… sudah naik sayaang, Mamah sudah nggak tahan, masukkan
penisnya sayang.” Ningsih menarik tanganku ke atas supaya aku segera
menaikkan badanku di atas badannya.
Penisku memang sudah terasa panas dan tegang sekali. Ningsih tak
sabar memegang penisku dan menuntunnya ke lubang vaginanya yang sudah
basah karena lendir kemaluan bercampur ludahku. Maka
“bleeess”,
“Ogghh… Paahh… tekan terus sayaang, Mamah udaahh rinduu… oogghh emmgghh…
Paah… terus goyaag sayaang…. ooghh..” Pantat Ningsih mulai bergerak
naik turun dengan liar dan penisku sebentar masuk sebentar keluar dari
lubang vaginanya yang menyedot-nyedot lagi.
Kunaikkan kaki kanannya dan dengan posisi setengah miring dan
posisiku setengan duduk aku sodok vagina Ningsih dari belakang. Aku
semakin bernafsu kalau melihat pantat dan pinggul Ningsih yang putih.
Penisku semakin ganas dan tegang menyodok mantap vaginanya dari
belakang.
Ningsih membalikkan tubuhnya sehingga menungging membelakangiku dan penisku tak kucabut dari vaginanya.
“Paahh.. teruuss dooong, Mamaah nikmaa… ogghh… teruuusss… sodoook
sayaang… ogghh… Paahh…. aaoggghh… uuuggghh…” Pantatnya semakin menggila
mundur maju dan aku pun semakin menggila menyodokkan penisku sampai
rasanya mau patah.
Memang setiap senggama sama Ningsih rasanya habis-habisan.
Kutumpahkan semua kemampuan dan keperkasaanku untuk membahagiakan
Ningsihku. Dia pun demikian, tidak ada yang tersisakan kalau kami
bersenggama. Harus habis-habisan supaya puas. Keringat kami membanjiri
sprei hotel seperti habis mandi.
“Mmaahh… oooghh, teruuusss goyaang… oooggghh.. Maahh… Papaahh mooo
keluaarr… gila Maahh… vaginanyaa.. . oooghh… nikmaat… sekalii…” Aku
mulai ribut dan Ningsih melenguh semakin panjang. Mungkin tamu kamar
sebelah mendengar lengkingan dan lenguhan kami.
Masa bodoh!
“Pahh… emmghh… oogghh… Paapaahh… adduuuhh.. Paahh… adduuhh… Mamaahh…
mmooo kelluuaarr.. . emmggg… addduhh… Paahh aduuhh… Paahh… adduuhh”,
Kugenjot terus penisku keluar masuk, vagina Ningsih yang semakin banjir
dengan cairan vaginanya, terus kugenjot penisku sampai pegel aku tak
peduli. Keringat kami terus membanjiri sprei.
Kuminta Ningsih telentang kembali karena dengkulku mulai lemas. Dia
tersenyum sambil tetap memejamkan matanya. Oh, cantiknya bidadariku,
rasanya ingin kukeluarkan seluruh isi penisku untuknya. Ningsih baru
sadar bahwa hasil operasi selaput daranya mungkin jebol lagi. Ningsih
bilang masa bodoh, yang penting semuanya telah diberikan buat Papah.
Biar saja suaminya curiga atau marah atau bahkan kalau mau cerai
sekalipun kalau tahu dia nggak perawan lagi. Kali ini kami nggak
menunggu waktu ketika Ningsih sedang tidak subur, karena Ningsih ingin
mengandung anakku dan orang tidak akan curiga karena Ningsih akan punya
suami. Memang kasihan nasib suami Ningsih nanti, tapi bukan salah kami
karena dia merebut cinta kami, ya kan ?
“Cepat pah masukan lagi ach… jangan mikirin orang lain!” Tuh kan
betapa dia nggak ambil peduli tentang hari pernikahannya dan calon
suaminya, sebab bagi dia akulah suami sesungguhnya dalam hati
sanubarinya. Bleess…, “Ooogghh… Paahh, enaak… Paahh… aaoogghh.. uuhhgg..
uuughh… genjot terus Paah”, Aku tekan penisku sekuat-kuatnya sampai
tembus semuanya ke lubang paling dalam vaginanya sampai terasa mentok.
“Ooogghh… mmaahh… nikmaattt… istrikuu… sayaangg… oooggghh… aagghh…
eemmgghh…” aku setengah berdiri lagi dengan tumpuan ke dua dengkulku dan
kurenggangkan kedua kaki Ningsih, kusodokkan terus penisku keluar masuk
vaginanya, bleeesss… sreeett… blleeess… sreeet…, vaginanya menimbulkan
suara yang semakin memancing gairah kami berdua.
Ningsih memejamkan dan mengigit-gigit bibirnya dan mencakar-cakar punggung dan tanganku ketika mulai meregang.
“Ooooggghh.. . Paappaahh… emmggg… ooggghh… aduuuhh… Mamaah moo
keeluuuuarr. . oooghh.. Paahh… teruuuss… saayyaang, keluuaarriiinn
barreenng oogghh”,
“Hayyyoo… Maahh… oogghh… hayoo… baarr… ooghh… reenng… Maahh… ooooghh”, teriakanku tak kalah serunya.
Kami menggelepar, meregang, mengejang bersama-sama, serasa nafasku
mau copot dan Ningsih melenguh panjang sambil merasakan cairan air
maniku tertumpah ruah di lubang kemaluannya, terasa nikmat dan hangat
katanya. Biasanya sehabis merasakan klimaks yang sangat dahsyat Ningsih
selalu memukul dan mencubit sayang badanku, terus kelelahan mau tidur
sehingga terbaring lunglai dengan keringat bercucuran. Aku selalu
memeluk dan menciumi keningnya, hidungnya, mulutnya, rambutnya sampai ke
pantatnya, biasanya dia menggelinjang dan marah-marah karena geli. Jika
Ningsih sudah terpuaskan dan tertidur, aku rasanya lelaki yang sangat
berbahagia di dunia ini. Sekian dulu (Akan kusambung setelah Ningsih
kawin seminggu, tambah seru deh!).
Telah seminggu Ningsih menikah dengan laki-laki pilihan orangtuanya.
Resepsi pernikahannya di Balai Kartini cukup meriah, dan aku datang
dengan isteriku untuk menyampaikan selamat. Ketika aku menyalaminya, dia
tertegun dan terasa agak kikuk dan serba salah, aku pun merasakan hal
yang sama. “Terima kasih ya Pak”, katanya hampir tak terdengar. Di
hatiku berkecamuk seribu macam pikiran, tapi kuusahakan untuk tetap
wajar. Ningsihku begitu cantik dan anggun dengan pakaian pengantinnya.
Aku membayangkan bahwa sebentar lagi Ningsih kekasihku, isteriku, yang
beberapa tahun telah memadu cinta denganku akan menjadi isteri orang.
Meskipun kutahu bahwa dia tetap mencintaiku, tapi secara resmi dia
akan menjadi isteri orang lain, tentu tidak akan sebebas dulu ketika dia
masih single. Sebentar lagi Ningsih akan tidur berdua-duaan dengan
lelaki lain, mungkin untuk selamanya, karena aku pun tak ingin dia
menjadi janda dan kalau Ningsih menjadi janda tentu akan menjadi
gunjingan orang. Tidak, aku tak rela Ningsihku menjadi gunjingan orang.
Sekilas aku berpikir untuk mengakhiri saja hubunganku dengan Ningsih,
karena dia telah menjadi isteri orang, tapi apakah bisa semudah itu aku
melupakannya? Dunia rasanya sepi dan kejam, dan aku melangkah gontai
meninggalkan pesta perkawinannya yang masih penuh tawa dan canda
teman-teman dan keluarganya.
Beberapa hari setelah pernikahannya aku membenamkan diri dengan
pekerjaanku, siang dan malam kusibukkan diriku dengan pekerjaan dan
mengurus anak-anaku. Aku tak mau membayangkan, dan memang tak sanggup
membayangkan sedang apa Ningsih beberapa hari setelah pernikahannya. Aku
cemburu, marah, masgul, gundah jika membayangkan dirinya sedang
bersenang-senang dengan suaminya yang tentunya sudah tak sabar ingin
menikmati kemontokan dan kemulusan tubuh Ningsih, yang sudah resmi jadi
isterinya. Aku membayangkan Ningsih telanjang bulat bersama suaminya,
manja, bersenggama bebas tanpa takut oleh siapapun dan melenguh mesra
seperti ketika bersenggama denganku.
Tiba-tiba aku sangat benci padanya, aku menganggap Ningsih nggak
setia padaku, Ningsih telah mengkhianati cintaku, buktinya dia mau saja
digilir oleh lelaki lain. Apakah itu yang namanya cinta dan kesetiaan?
Aku bertekad untuk menjauhinya mulai sekarang, dan aku tak akan menerima
teleponnya. Ningsih memang berjanji akan meneleponku paling lambat satu
minggu setelah dia menikah dan sebelum ikut suaminya pindah ke Bandung.
Tidak! aku tak akan menerimanya jika dia meneleponku, biar dia tahu
rasa, aku tak mau bekas orang lain. Benar saja, pada hari kelima setelah
kawin dia meneleponku.
“Pak, ada telepon”, kata sekretarisku yang baru, pengganti Ningsih.
Anehnya, meskipun dia berparas lumayan, aku tak tertarik sama sekali
dengan sekretaris baruku itu. Aku memang bukan type “hidung belang” yang
sekedar mau iseng bercumbu dengan perempuan. Aku hanya jatuh hati dua
kali seumur hidupku, kepada isteriku dan kepada Ningsih.
“Pak, kok melamun, ada telepon dari Ibu Ningsih, katanya bekas
sekretaris bapak”, sekretaris baruku kembali mengagetkan lamunanku.
“Ooh.. ya… ya.. sebentar Reni…, emh.. dari siapa? Ningsih? bilang saja
Bapak sedang ke luar kantor ya!” aku mengajari dia bohong.
“Lho, Pak, kenapa? kan kasihan Pak, katanya penting sekali, dan besok Ibu Ningsih mau pindah ke Bandung”
Reni, sekretaris baruku itu mulai mendesakku untuk menerima saja
telepon Ningsih itu. Aku sejenak merasa bingung, aku rasanya masih benci
tapi juga sangat rindu sama Ningsih, apalagi kata Reni besok akan jadi
pindah mengikuti suaminya yang bekerja di Bandung.
Setelah berfikir sejenak…
“OK, Reni, sambungkan ke sini!” dan aku agak gugup untuk kembali
berbicara dengan Ningsih, untuk kembali mendengar suaranya, Ningsih yang
sekarang sudah menjadi isteri orang lain.
“Hallooo…, siapa nich?”, kataku agak malas.
“Papah, ini Ningsih Pah, Papah kok gitu sih?” jawab Ningsih di ujung sana.
“Oh, Nyonya Prayogo, saya kira Ningsih Prameswara kawanku”, kataku menggoda.
“Nggak lucu ah…, Mamah sekarang tanya serius, apa Papah mau nemui Mamah nggak sebelum besok Mamah pindah ke
Bandung?”, jawabnya lagi setengah mengancam.
Aku bingung juga ditanya begitu, sebab jauh di dalam hatiku
sebenarnya aku rindu berat sama Ningsih, tapi kebencian dan kekesalan
masih menempel erat di benakku.
Beberapa jenak, aku nggak bisa menjawab sampai Ningsih nyerocos lagi.
“Mamah ngerti, Papah masih kesal dan benci sama Mamah, tapi kamu kan
sudah setuju kalau Mamah terpaksa harus kawin, demi kebaikan hubungan
kita dan demi menjaga nama baikmu juga. Papah, dengar! Mamah sudah
seminggu nggak menstruasi lagi sampai sekarang. Ingat hubungan kita di
Hotel Sahid terakhir kali? Sudahlah, nanti Mamah ceNingsihkan lebih
lengkap, sekarang mau nggak jemput Mamah di toko biasa di Blok M?
Soalnya mumpung si Yudi pulang agak larut malam” Nama suaminya memang
Yudi Prayogo dan hanya selisih dua tahun dengan Ningsih, katanya sih
ketemu di kursus Inggris LIA.
Hatiku mulai melunak mendengar pengakuannya dan serta merta aku
menyetujui untuk menjemputnya di Blok M. Aku memarkir mobilku di tempat
parkir yang agak memojok dan sepi, maklum kami harus semakin
berhati-hati, karena Ningsih sudah menjadi isteri orang. Ningsih segera
hafal melihat mobilku dan setelah Ningsih duduk di sampingku, segera
kukebut lagi keluar Blok M menuju ke utara melewati Sisingamangaraja,
Sudirman, naik jembatan Semanggi terus memutar ke jalan Jenderal Subroto
dan dengan cepat masuk ke halaman parkir Hotel Kartika Chandra. Ningsih
terlihat lebih cantik, sedikit gemuk dan tambah bersih dan putih
mukanya. Rambut dan bulu-bulu halus di sekitar jidatnya terlihat hilang,
mungkin karena dikerok oleh perias pengantinnya.
Dia mengenakan celana panjang merah dan T-Shirt putih kembang-kembang
ditutupi blazer warna hitam. Terlihat serasi dengan kulitnya yang putih
bersih. Banyak yang nyangka dia keturunan Tionghoa, padahal Jatul. Tahu
jatul? Jatul itu “Jowo Tenan” atau “Jawa Tulen”. Ibunya dari Purwokerto
dan bapaknya dari Surakarta , katanya sih masih kerabat Kesultanan
Surakarta, masih trah langsung Raja Paku Bowono. Setelah check-in
sebentar, aku sudah berdua-dua dengan Ningsih di kamar hotel, dan untuk
pertama kalinya aku berduaan dengan isteri orang. Ada perasaan berdosa
menyelinap di hatiku. Tapi semuanya menjadi hilang karena betapa
besarnya cintaku pada Ningsih. Juga sebaliknya, jika Ningsih tak
mencintaiku, mana mungkin dia beReni bertemu dengan lelaki lain padahal
dia baru kawin lima hari lalu?
“Papah, Ningsih sedang mengandung janin anakmu, biasanya tanggal lima
minggu lalu Mamah menstruasi ternyata nggak keluar sampai sekarang”,
Ningsih menambahkan keterangannya tadi di telepon, dan aku semakin cinta
dan sayang rasanya. Tapi tetap saja ingin menggodanya dan mengetes
cintanya padaku.
“Oh, ya, hampir lupa, gimana dong bulan madunya kemarin, ceNingsihin dong Ning! pasti seru dan rame dengan lenguhan.
Dan apa suamimu nggak ribut tanya perawanmu kaya Farid Hardja?” Ningsih mendelikkan matanya dan mencubit pahaku keras sekali.
“Percaya atau tidak terserah Papah, yang pasti nggak ada lenguhan,
nggak ada goyangan, persis kaya gedebong pisang. Si Yudi memang sempat
marah-marah karena mungkin Mamah ternyata begitu dingin dan nggak
gairah. Tapi memang nggak bisa dipaksakan. Mamah hanya bergairah kalau
bersenggama dengan Papah. Dia nggak nanya tuh, kenapa nggak ada darah
perawan Mamah di sprei, ah.. sudah.. sudah! nggak usah tanya gitu-gituan
lagi. Nanti malah berantem terus. Pokoknya Mamah sayaang benar sama
Papah, nggak ada duanya deh”.
Seperti bisa dia mulai mencopoti pakaianku satu persatu, sampai CD-ku
dia pelorotin juga. Begitu di buka CD-ku, penisku langsung bergerak
liar dan setengah tegang begitu tersentuh tangan halus Ningsih. Tak
buang waktu lama, Ningsih melemparkan semua pakaiannya ke lantai karpet
sampai terlihat bodinya yang seksi, putih mulus dengan puting susu yang
semakin ranum. Mungkin pengaruh dari kehamilannya meskipun baru beberapa
hari mengandung anakku. Penisku yang masih setengah tertidur langsung
dikulumnya ke dalam mulutnya dan dihisapnya dalam-dalam, padahal aku
masih berdiri seperti patung dengan bersandar ke tembok. Dengan ganas
dia menghisap, menggigit dan menyedot penisku dalam-dalam sampai penisku
mentok ke langit-langit mulutnya. Tak lama penisku langsung tegang dan
memerah dan mengkilap bercampur ludahnya.
“Ooooggghh.. . Maahh…. terus Maahh… jilaat…. ooogghh…” Aku mulai
terangsang dan kenikmatan setiap penisku dihisapnya. Ningsih memang suka
sekali menjilat dan menghisap penisku, tapi ketika kutanya apakah dia
juga menghisap penis suaminya, dia bilang amit-amit, nggak nafsu
katanya.
Mulut Ningsih pindah menghisap dan menjilat penisku, dia juga senang
menggigit-gigit dua bakso penisku, sampai aku kesakitan campur geli dan
nikmat bukan kepalang.
“Ooooghh… Maahh… jangan digigit, Papah sakiiittt”. Aku minta Ningsih
berhenti dulu mengulum batang penisku, aku juga sudah rindu untuk
menjilat vagina dan klitorisnya.
Kuminta Ningsih tiduran di pinggir tempat tidur empuk itu dengan kaki
terjuntai ke bawah, dengan begitu aku bisa duduk di tengah-tengah
selangkangannya. Vagina dan klitorisnya terlihat jelas kalau begitu. Oh,
begitu indah dengan warna merah jambu klitoris dan lubang vaginanya
terlihat jelas di hadapan mukaku. Kujilat dengkul dan pahanya, terus
merayap kujilati selangkangannya yang mulus, sesekali kujilatkan lidahku
ke lubang pantat, klitoris dan lubang vaginanya, Ningsih
melenguh-lenguh tertahan.
“Oooghh, Papaahh… eeemghh, aduuuhh…, teruuuss… Paahh… oooghh…
enaakkk.” Kalau Ningsih sudah mulai melenguh begitu aku semakin bernafsu
untuk terus menjilat, mengigit dan menyedot-nyedot klitoris dan lubang
vaginanya sambil menyedot air maninya yang mulai meleleh keluar dan
lubang vaginanya.
Oh, nikmat… manis dan sedikit asin, kaya kuah asinan Bogor .
Kukeraskan lidahku supaya semakin tegang dan kutusukkan ke dalam lubang
vaginanya, Ningsih semakin melenguh keenakan, karena mungkin lidahku
terasa seperti penis menyodok-nyodok semakin ke dalam lubang vaginanya.
Cairan vaginanya semakin banyak keluar dan kuhisap dan kutelan dengan
nikmat. Kadang-kadang rambut kemaluan Ningsih ada yang putus dan ikut
termakan.
“Paahh…. ooooghh…. Paahh…, enaakkk, teruuuusss.. .. Paahh… ooooggghh…
aduuuhh”, Ningsih semakin ramai, barangkali suaranya terdengar tamu di
sebelah atau room-boy yang sedang lewat.
Kujilatkan lidahku ke lubang pantatnya berkali-kali Ningsih bergelinjang kegelian.
“Papaahh… geliiii…” penisku menggesek pahanya yang mulus sehingga
semakin tegang. “Paahh… penisnya geli tuch di paha Mamah, udahan dulu
ngisepnya sayang…., kesini deh, cium Mamah dan masukin penisnya.”
Kuhentikan jilatan lidahku, memang sudah mulai pegal juga menegangkan
lidahku hampir seperempat jam. Kugeserkan badanku ke atas, sejajar
dengan tubuh Ningsih dan sambil kulumat mulutnya dalam-dalam kugesekan
penisku ke vaginanya yang basah, oh… betapa nikmatnya. Kukulum dan
kugigit lidahnya. Ningsih menjeNing tertahan, kemudian kujulurkan juga
lidahku dan dia balas menggigit lidahku dengan bernafsu. Aku gantian
teriak, sampai keluar sedikit air mata. Untung kenang-kenangan kalau
Ningsih di Bandung katanya. Kujilati kupingnya, jidatnya, hidungnya,
matanya sampai Ningsih menggelinjang- gelinjang ketika kujilati dan
kugigit kupingnya. “Tuuuuhh.. Paah lihat, sampai merinding, “katanya
manja. “Paahh, masukin penisnya Paahh, Mamah sudah rinduuu.”
Ningsih melenguh manja. Ningsih merenggangkan selangkangannya untuk
membuka lubang vaginanya lebih lebar lagi. Penisku yang tambah keras
nyasar-nyasar di lubang vaginanya setelah menembus bulu-bulu vaginanya
yang mulai basah dan
“Bleesssss.. .” Ningsih berteriak keenakan sambil menggigit bibirku.
“Paahh…, ooogghh…, pelaan pelaannn… doongg.” Matanya terpejam, nafasnya
yang harum dan bau mulutnya yang wangi masuk semua terhirup oleh
hidungku.
Kutarik dan kutekan penisku semakin kuat dan sering, keringatku
semakin bercucuran, mungkin berkat bir hitam cap kucing yang kuminum
sebelum bermain dengan Ningsih tadi. Ningsih juga semakin mengencangkan
goyangan pinggul dan pantatnya turun naik sampai aku merasakan kepala
penisku mentok di ujung lubang vaginanya.
“Paappaahh.. .. ooogghh… teruuusss, cumbu Mamaah Paahh…, Mamaahh
cintaa, Mamaahh.. sayyy… oooghh.. aduuhh… aanggg.” Ningsih semakin ramai
mengerang dan melenguh tak peduli suaranya akan didengar orang.
Kuminta Ningsih menungging setelah kucabut penisku. Ningsih menurut
dan wow! aku selalu semakin bernafsu kalau melihat pantat dan pinggul
Ningsih yang mulus dan seksi. Sambil setelah jongkok, aku menyodokan
penisku dari belakang setelah membuka lubang vaginanya sedikit dengan
tanganku dan,
“Bleeeeezzzz” , Ningsih berteriak keenakan. “aaggghh, oooghh… Paahh…
terus genjot Paahh… wooowww… enaakkk Paahh…” aku semakin mengencangkan
sodokan penisku.
Ningsih melenguh, merintih dan teriak-teriak kecil sementara itu
keringat kami semakin bercucuran membasahi seprei. Aku merasakan
kenikmatan yang luar biasa setiap mempraktekkan berhubungan badan dengan
gaya “doggy style” sehingga spermaku mulai meleleh keluar, semakin
meramaikan bunyi gesekan penisku dengan vagina Ningsih. Ningsih semakin
menunggingkan pantatnya sehingga penisku semakin amblas di dalam
vaginanya. Rasanya air maniku sudah mengumpul di kepala penisku menunggu
dimuntahkan habis.
“Maahh… oooghh…. aduuuhh… Maahh, vaginanya enaakk…, punya Papah yaa sayaang….” Ningsih menjawab sambil merintih
“Iyaa… sayaangg, semuanya punya Papaahh.” Kusodokkan penisku semakin dalam.
“Maahh…. adddduuhh… . Papaahh… moooo keluaarr! cabut dulu ya Maahh…” Ningsih setuju dan segera telentang kembali.
Aku segera menggumulinya dari atas badannya, kulumat pentil buah
dadanya. Ningsih kenikmatan dan minta penisku segera dimasukan kembali
ke vaginanya. Dia minta aku merasakan kenikmatan bersenggama dengannya,
sampai nanti bertemu lagi di Bandung dengan segala cara. Kumasukan
kembali penisku ke vaginanya yang semakin basah dengan cairan sperma
kami yang sudah bercampur satu.
“Bleeessszzz, crroockkk… chhooozkk… breesszz… crrrockkk… . bunyinya semakin gaduh.
Ningsih semakin membabi buta menggoyang dan menaik-turunkan
pinggulnya dan aku juga demikian. Kutekan dan kucabut penisku yang panas
dan keras ke lubang vaginanya. Ingin rasanya kutumpahkan semua sperma
dan spermaku ke lubang vagina dan rahim Ningsih supaya anakku semakin
sehat dengan tambahan vitamin dan mineral dari sperma bapaknya. Supaya
kegantengan dan kepintarannya juga turun ke anakku yang ada di dalam
rahim Ningsih. Tiba-tiba kami merasakan kenikmatan yang sangat luar
biasa, kami meregang dan melenguh bersama-sama merasakan sorga dunia
yang tiada taranya, meregang, meremas dan memeluk erat-erat dua badan
anak manusia yang saling mencinta dan seakan tak mampu terpisahkan.
Ningsih mengejang badannya dan menggigit bibir dan lidahku, pinggulnya
terangkat sambil berteriak.
“Papaahh…. oooghh… Mamaah… ooghh, keluaar… sayaangg”, sambil mencubit dan mencakar punggungku.
Mendengar lenguhan dan teriakan ejakulasi Ningsih, aku pun mulai tak
tahan menahan desakan air maniku di kepala penisku dan sambil menekan
dalam-dalam penisku di vaginanya aku berteriak sambil mengejang, kugigit
lidahnya,
“Maahh… oooggghh… Papaahh… jugaa….. keeelluuuaarrr. … oooghh….
sayaanggg… . nikmaattt.” Kami tertidur sejenak sambil berpelukan dengan
mesra dan tersenyum puas, waktu sudah menunjukkan jam delapan lewat lima
menit, berarti kami bermain selama hampir dua jam lamanya.
Oh, betapa nikmat dan puasnya. Aku memeluk dan menciumi Ningsih
erat-erat seolah tak ingin berpisah dengan kekasihku dan isteriku
tercinta, karena besok dia sudah akan pindah ke Bandung. Ningsih
berjanji untuk membeNingsihhukan nomor telepon rumahnya di Bandung dan
aku diminta untuk datang paling tidak seminggu sekali.
Sudah satu bulan berlalu, sejak pertemuanku terakhir dengan Ningsih
di Jakarta. Aku terkadang sangat rindu dengannya, tapi kutahan
perasaanku dengan menyibukkan diriku pada pekerjaan yang semakin
menumpuk sejak aku mempimpin cabang Slipi. Maklum, para pengusaha
nasabah bank dimana aku bekerja semakin banyak saja, hal ini karena
keberhasilan marketing-ku. Aku sengaja bekerja all-out siang malam,
dengan menjamu langgananku sambil makan malam dan karaoke.
Aku ingin melupakan Ningsihku yang sekarang sudah jadi isteri orang,
tapi bayang-bayang kemesraan selama beberapa tahun dengannya seperti
suami isteri tak mudah rupanya untuk dilupakan begitu saja. Sekretarisku
yang baru memang cantik, lebih muda dan menarik, tapi anehnya aku sama
sekali tak tertarik dengannya, barangkali memang aku bukan tipe lelaki
“play-boy” yang gampang gonta-ganti pasangan. Cintaku sudah direbut oleh
Ningsih tanpa peduli bahwa dia sudah menjadi isteri orang. Tapi aku tak
menyesali pertemuan dengan Ningsih, aku tetap mencintainya dengan
sepenuh hati.
Oh, rupanya aku melamun terlalu lama, sehingga aku merasa malu ketika sekretarisku Reni masuk membawa setumpuk dokumen.
“Pak, kok melamun?” sapanya ramah, sambil tersenyum manja.
“Ah, oohh… eng.. nggak.. kok”, kataku tergagap.
“Pak, dokumen-dokumen ini perlu segera ditanda-tangani Bapak, sebab
nanti siang Pak Yusuf Pramono akan mengambilnya” , kata Reni lagi.
“Okay, tinggalkan saja dulu, nanti saya panggil lagi kamu setelah kutandatangani” , kataku datar.
Reni menaruh beberapa map “feasability study” untuk beberapa proyek
pabrik konveksi yang mengambil kredit dari bank dimana aku bekerja. Dia
keluar ruanganku dengan lirikan matanya yang semakin manja. Ah, boleh
juga tuh cewek pikirku, bodinya cukup montok, hitam manis dengan buah
dada yang terlihat menonjol besar keluar dari blousenya. Tapi setiap aku
kepingin iseng-iseng menggoda Reni bayangan wajah Ningsih selalu
berkelebat di depan mataku, seakan mengingatkan janji dan kesetiaanku.
Ah, kamu mau menang sendiri Ning! gumamku dalam hati, sedangkan kamu
nikmat-enakan dengan suamimu.
Aku selalu membayangkan Ningsih telanjang bulat setiap malam dengan
suaminya dan bermain cinta di ranjang berdua, tanpa takut ketahuan
orang, tanpa takut diganggu orang karena memang suami-isteri sah dan
lupa pada diriku. Kemudian pada akhir klimaks-nya Ningsih melenguh dan
meregang sambil memuji sayang suaminya, sama seperti dilakukannya
padaku. “Uuh! kamu memang nggak setia Ningsih! kamu tega meninggalkan
aku sendirian di Jakarta , sedangkan kamu nikmat-enakan tiap malam
ngentot dengan suamimu. Kamu bilang nggak cinta, tapi lama lama kamu
suka juga dimasukin penisnya! Brengsek kamu Ningsih!!! dan bodohnya aku
tetap saja setia menunggu barang bekasan lelaki lain.”
Sekretarisku masuk lagi ke ruang kerjaku, ada apa pikirku, belum
dipanggil kok masuk lagi. Jangan-jangan dia memang sudah kegatelan mau
kucumbu. Aku sudah mempunyai pikiran buruk untuk menggodanya untuk
mengobati kekesalanku pada Ningsih dan aku hampir yakin bahwa dia pun
pasti menginginkan aku berbuat sesuatu yang mengasyikan padanya.
“Ada apa lagi?” kataku pura-pura tetap berwibawa seperti biasanya.
“Anu, Pak.. ada telepon dari Ibu Ningsih, Bandung!” katanya mengandung curiga.
“Hah, Ningsih! Ada apa lagi dia, mau ceNingsih asyik-masyuk pengantin barunya dengan si Yudi itu?” pikirku dalam hati.
“Cepat, sambungin ke sini!” jawabku cepat dan spontan.
Heran, setiap kudengar nama dia, apalagi akan mendengar suaranya
setelah hampir sebulan tidak ketemu, kebencian dan cemburuku pada
suaminya seperti mendadak hilang tak berbekas. Sekretarisku bergegas
keluar kembali untuk menyambungkan saluran telepon dari Ningsih,
terlihat raut mukanya agak ditekuk. Aku yakin dia nggak begitu suka jika
Ningsih telepon, mungkin juga cemburu, karena dia tahu aku punya
hubungan khusus dengan bekas sekretarisku itu.
“Hallo, Papah, ini Mamah, apa khabar sayang?” suara Ningsih di seberang sana terdengan merdu di kupingku.
“Baik saja kok, kamu gimana?” kataku datar.
“Pah, Mamah sangat rindu deh, kapan Papah mau ke Bandung?” jawabnya lagi.
Tiba-tiba timbul pikiranku untuk menggodanya, sekaligus menumpahkan kekesalan dan kecemburuanku.
“Ah, masa sih kamu kangen saya, kan tiap malam ada teman sekasur, nikmat
lagi, nggak takut ketahuan orang, tiap jam, tiap saat mau mainkan
tinggal buka celananya, penisnya gede lagi, pasti kamu melenguh
keenakan!” jawabku nyerocos seenaknya dan rasanya plong hatiku setelah
mengatakannya.
“Papah, kok gitu sih? Papah jahat deh, Mamah nggak nyangka Papah bicara
begitu, padahal setiap detik, setiap hari Mamah rindu padamu!” ungkapnya
dengan nada agak tinggi. Aku terdiam, nggak tahu mau ngomong apa lagi.
“Pah, kamu masih mau denger Mamah nggak?” Ningsih berkata lagi.
“Pah, Mamah interlokal nih, jadi mesti menghemat, Mamah kan isteri pegawai kecil, mesti ngiNing, masih mau dengar nggak?”
“Iya, iya, aku masih dengar kok, terus saja ngomong, aku dengerin”, kataku sekenanya.
“Papah kok gitu sih, Papah kelihatannya nggak rindu sama Mamah? ya
sudah, Mamah tutup teleponnya ya!” serunya mulai emosi. Aku masih saja
mau menggodanya, rasanya kesal dan cemburuku belum hilang betul.
“silakan, memangnya siapa yang telepon duluan?” lanjutku lagi.
“Oh, gitu ya, kamu memang egois, kamu nggak mau ngerti, mau menang
sendiri, kamu selalu mengungkit perkawinanku, padahal semuanya terjadi
bukan karena mauku.
Kenapa dulu Papah nggak beRani mengawini Mamah? Jawabnya karena Papah
sudah punya anak, isteri dan kedudukan tinggi. Apakah itu bukan egois
namanya? Tapi Mamah tetap menyintaimu dengan sepenuh hati, apa Papah
pikir Mamah juga nggak cemburu, bertahun-tahun mencintai laki-laki yang
sudah jadi suami orang? Apa Mamah harus jadi perawan tua dan hanya
selingan kamu?”
Terdengar suaranya mulai keras dan terbata-bata, mungkin menahan tangis.
“Ya sudah, Mamah nggak bakalan telepon Papah lagi, biarlah Mamah
menanggung rindu dan mencintai Papah sampai mati, Mamah nggak akan
ganggu Papah lagi kalau memang sudah tidak dibutuhkan! Tapi kamu mesti
ingat Pah, bahwa bayi di kandungan Mamah adalah anakmu, bayi ini adalah
darah dagingmu, kamulah yang membentuk dan menjadikan janin anakmu ini,
si Yudi bukan bapaknya yang sesungguhnya, dia nggak tahu bahwa aku sudah
mengandung benih anakmu ketika kawin.”
Ningsih terdengar menutupi kesedihannya dengan omelan panjang yang
memerahkan kupingku. Ah, dasar perempuan, kalau sudah merajuk dan
mengamuk, hatiku selalu luluh dengan perasaan cintaku kepadanya, cintaku
yang memang sangat mendalam dan tidak bisa terlupakan, apapun yang
terjadi dan bagaimanapun status Ningsih sekarang yang sudah menjadi
Nyonya Yudi Prayogo. Aku takut Ningsih segera menutup teleponnya,
makanya segera kularang dia.
“Mah, tunggu! jangan tutup dulu teleponnya, oke…oke… , maafkan Papah,
Papah juga rindu, Papah sayang, Papah selalu mencintaimu, kamu dengar
itu sayang?” aku menyerocos tak terkendali, menumpahkan perasaanku yang
sesungguhnya.
“Ya sudah, tak apa, Mamah selalu memaafkan kamu, sekarang catat nomor
telepon Mamah dan Mamah tunggu kamu di Bandung segera kalau Papah masih
sayang Mamah, mumpung si Yudi lagi tugas seminggu ke Malang!” perintah
Ningsih.
Kucatat nomor teleponnya dan aku berjanji untuk segera datang ke
Bandung menemuinya, kasihan Ningsihku kesepian dan sangat merindukanku.
Aku janji untuk datang hari Jumat sore dengan kereta Parahyangan dan
menginap di Hotel Kumala Panghegar. Aku sengaja tidak bawa mobil dan
sopirku sebab bisa berabe nanti kalau sopirku tahu aku masih berhubungan
dengan Ningsih.
Pada Jum’at sore aku sudah tiba di stasiun kereta api Bandung dan
temanku kepala cabang di Bandung telah siap menjemputku di stasiun.
“Gila lu Zen, kau rupanya masih juga berhubungan sama Ningsihmu itu!”
katanya sambil menepuk bahuku, setelah kami bertemu di stasiun.
Aku hanya tersenyum saja. Togar Sihombing temanku itu memang
satu-satunya sejawatku yang mengetahui hubungan intimku dengan Ningsih,
sejak Ningsih masih menjadi sekretarisku.
“Hati-hati kamu Zen, di sini kamu lagi bertamu, nanti ditangkep satpam suaminya tau rasa kau!” katanya meledek.
Karena rahasiaku dan Ningsih memang sudah di tangannya, aku tak
sungkan-sungkan meminta supaya Togar bisa jemput Ningsihku dari rumahnya
di daerah Pasir Kaliki dan dibawa ke kamar hotelku. Aku suruh dia
mengatur segalanya, termasuk keamanan hotel Kumala Penghegar, agar aku
bisa tenang dan santai dengan Ningsihku semalam suntuk, bahkan kalau
bisa sampai minggu pagi.
Kira-kira satu setengah jam aku menunggu di kamar hotel, pintu
diketuk dari luar dan waktu kubuka pintu kamarku, ternyata Ningsihku
sudah berdiri sendirian. Dia tersenyum manis dengan lipstik merah tua
tipis, kontras dengan mukanya yang putih mulus. Badannya semakin bersih
dan montok, mungkin pengaruh kandungannya yang jalan dua bulan, sehingga
buah dadanya terlihat semakin membesar dan pinggulnya semakin bulat
berisi. Terlihat perutnya sedikit membesar dan itu semakin membangkitkan
gairahku.
Kata orang, wanita yang sedang hamil dua atau tiga bulan itu sedang
cantik-cantiknya dan akan sangat menggemaskan laki-laki yang melihatnya,
apalagi dalam keadaan polos. Kuraih tangannya dan kutarik dia ke
kamarku. Setelah mengunci kamar dengan double-locked, kupeluk dan kucium
dia dengan penuh kerinduan, Ningsih membalas hangat. Kuminta air
liurnya seperti biasa ketika kami berciuman dan kutelan dalam-dalam
ludahnya yang tetap wangi itu. Baru aku sadar untuk menanyakan kawanku
Togar, setelah Ningsih melepaskan ciumanku yang menggebu-gebu sehingga
terengah-engah kehabisan napas.
“Kemana si batak itu?” tanyaku.
“Dia pulang dulu katanya, setelah mengantar Mamah sampai ke pintu kamarmu”, jawab Ningsih. Tahu betul tuh batak satu.
“Kok, Papah kelihatan kurusan? katanya lagi sambil memandangiku dari ujung kaki ke ujung rambut.
“Masa? barangkali kurus mikirin kamu. Apa khabar sayang? senang ya hidup
di Bandung?” dia merebahkan badannya di pelukanku, sehingga aku
terdorong rebah ke ranjang karena Ningsih semakin berat badannya.
“Apa kabarnya suamimu? Kok punya isteri cantik ditinggal-tinggal terus”, godaku muncul lagi.
“Ah, sudahlah, nggak usah nanya dia, namanya juga pegawai rendahan, harus mau ditugaskan ke mana saja.” Jawab Ningsih.
“Pah, Mamah kangen dan rindu banget deh”, katanya lagi sambil berbalik
menindih tubuhku. Oh, Ningsihku semakin bahenol saja badannya, dan buah
dadanya yang semakin montok menekan dadaku.
“Hati-hati dengan perutmu sayang, nanti anak kita kejepit.” Ningsih tak
peduli, dia terus merangsek dan menciumi seluruh mukaku dan kupingku
sehingga seluruh tubuhku merinding dibuatnya.
“Oooohh… Papah, Mamah gemes dan rindu deh!” ujarnya sambil menjulurkan
lidahnya yang harum ke bibirku, tentu saja kusambut hangat dan segera
menghisap lidahnya dalam-dalam sambil kugigit sayang.
Ningsih melotot manja,
“aachh… sakiiitt dong Paahh!” Kukulum lagi lidahnya dan kusedot
sambil memejamkan mataku, Ningsih mulai melenguh bahagia sambil sekali
lagi menumpahkan liurnya untuk kuhisap dan kutelan dalam.
Kubalikkan badannya pelan-pelan karena Ningsih sedang berisi, dan
segera saja kubuka pakaiannya. Ningsih diam saja dengan mata terpejam.
Kulempar satu persatu roknya, blousnya, blazernya, dan terakhir celana
dalamnya. Oh, Ningsihku semakin montok dan menggairahkan. Pahanya,
betisnya yang putih bersih, ditumbuhi bulu-bulu halus, pinggulnya
semakin montok berisi dan vaginanya dengan bulu-bulu hitam tipis
kemerahan semakin menggairahkan. Kujilati badannya mulai dari ujung
kaki, naik ke betis, paha dan bermuara di selangkangan dan vaginanya.
Ningsih mulai menggeliat-geliat kegelian.
“Paahh, ooogghh Mamah rindu jilatanmu seperti ini, oooogghh.”
lenguhan Ningsihku baru lagi kudengar setelah dua bulan tidak ketemu.
“Papah buka pakaiannya dong!” kata Ningsih mulai nggak sabar. Aku segera
menanggalkan seluruh pakaian yang melekat dan ketika CD-ku kulepas,
penisku langsung mencuat keluar dengan tegang.
Ningsih tersenyum manja dan langsung menyergap penisku dengan kuluman mautnya.
“Paahh… Mamah rindu penis iniiii, eeeemmggghh enaakkk Paahh, kok
sudah assiinn?” Mulutnya menyedot-nyedot penisku sambil mundur maju, aku
merasakan kenikmatan luar biasa. Ningsih mengigit-gigit batang penisku
yang mulai menegang seperti kayu.
“Maahh, ooogghh teruusss oooggghh, tapi jangaann oooghh, keras-keras gigitnya!” aku mulai merem-melek keasyikan.
Ningsih semakin kencang menghisap-hisap penisku sambil memejamkan
matanya, sementara buah-dadanya berayun-ayun ketika dia menaik-turunkan
mulutnya sampai batang penisku masuk semua di mulutnya.
“Paah, sudah keluar lendirnya, asiiiin!” sambil menelan cairan
penisku, dan hisapannya semakin menjadi-jadi di kepala penisku sambil
menghisap-hisap lendir penisku. “Eeeemmhh… enaak Paahh.” Aku semakin
merem melek sambil menggapai buah dadanya, dan ketika tanganku berhasil
meraihnya, kuremas-remas buah dadanya yang semakin kenyal dan kupilin
putingnya yang kemarahan seperti buah delima matang.
“Maahh.. ooogghh… udaahh duluuu yaang, Papah nggak tahaannn… oooghh.”
Aku menggelinjang kuat ketika hisapannya semakin asyik di kepala
penisku.
“Sekarang giliran Mamah yang tidur.” Ningsih telentang pasrah, kedua
kakinya kurenggangkan, kuusap-usap perutnya yang mulai kelihatan sedikit
buncit mengandung anakku.
cerisex.net–>cerita seks terbaru
Kubenamkan mukaku di selangkangannya sambil kujilat kedua
selangkangannya dan dengan cepat kujilat pula lubang duburnya. Ningsih
selalu nggak tahan kalau kujilat lubang pantatnya. Dia menggelinjang
kegelian sambil merintih.
“Aduuuhh, Papah jahaat!” Kumainkan klitorisnya dan lubang vaginanya
dengan lidahku dan kukeluarkan ludahku membasahinya sehingga terasa
semakin nikmat ketika kuhisap cairan vaginanya yang sudah mulai keluar
bercampur ludahku. Asin, manis dan gurih. Kutelan dalam-dalam. Ningsih
mulai menaik-turunkan pinggulnya kegelian.
“Paahh, eeemmggghh.. .. ooogghh, teruuusss… Paahh, lidahnya kayak
kontoool.” Dia terus melenguh seperti biasanya, dan lenguhannya ini yang
tak bisa kulupakan.
Lidahku yang tegang semakin kujulurkan ke dalam lubang vaginanya,
kumainkan klitorisnya dengan lidah digetarkan, Ningsih menggelinjang
hebat. Rongga-rongka vaginanya kulumat dan kujelajahi dengan lidahku,
sementara bibirku melumat kelentitnya yang memerah.
“Oooooghh… Papaahh… nikmaat… teruuusss Paahh! Ningsih menaik-turunkan
pantatnya semakin tinggi, sehingga lidahku seperti penis menancap dalam
di vaginanya.
“Aduuhh… Paahh… oooogghh… Paahh, Mamaahh… oogghh… enaakkk!” mulai deh Ningsih melenguh panjang.
“Paah, hayo naik deh, Mamah sudah nggak tahan, masukin cepet penisnya
sayaang!” Ningsih semakin melebarkan selangkangannya dan menggapai
badanku.
Aku bangun dan menidurinya dengan hati-hati karena sekarang Ningsih
sedang berbadan dua. penisku sudah keras seperti batu dan
mengangguk-ngangguk gagah mencari mangsa. penis pun tahu bahwa
kesukaannya ada di depannya, vagina Ningsih memang sudah tak asing lagi
buat penisku sehingga begitu bersentuhan saja langsung mengeras bukan
main. Seperti batu! Dan Ningsih memang nggak bakal lupa dengan
keperkasaan penisku yang mulai dikenalnya sejak dia perawan, untuk
pertama kali menikmati penis lelaki.
Kugesekan penisku di pahanya, Ningsih kegelian, dan memberikan kode
supaya langsung ditancapkan ke vaginanya yang sudah menganga, basah,
hangat dan mulai menyedot-nyedot mencari mangsa. Kubenamkan kepala
penisku sedikit demi sedikit, oh hangatnya vagina Ningsih dan vaginanya
mulai bereaksi menyedot-nyedot, empot-ayamnya mulai main. Kutarik lagi
penisku, sehingga pinggul Ningsih ikut naik karena sudah tidak sabar
ingin melumat penisku. Kubenamkan lagi batang penisku perlahan, Ningsih
menaikkan pinggulnya ke atas, sehingga batang penisku setengah ditelan
vaginanya. Pinggulnya diputar-putarkan sambil mengeluarkan jurus
“empot-ayamnya” .
“Oooogggghh, Mamaahh… uughhgghh… nikmaattt aduhh.” Desahanku membuat
Ningsih semakin semangat menaik-turunkan pinggulnya, hingga batang
penisku semakin amblas ditelan vaginanya yang tetap saja sempit.
“Paahh tekaannnn Paahh… Mamaahh… oogghh… nikmaattt sekalii.” Pinggul
Ningsih dan badannya semakin bahenol dan seksi, perutnya yang sedikit
membesar membuat nafsuku semakin menjadi-jadi.
Kuganjal pantatnya dengan bantal dan aku setengah duduk dengan
bertumpu pada dengkul menggenjot penisku keluar masuk vagina Ningsih
yang semakin naik ditopang bantal sehingga seluruh rongga vaginanya
terlihat jelas.
“Bleeesss… creekkkk…. bleeees… creeekkk, gesekan dahsyat penis dan
vaginanya yang empot ayam semakin ramai saja. Daging vaginanya terlihat
seperti terbawa ketika kucabut batang penisku saking sempitnya. Dan
“empot-ayam” -nya dikeluarkan kalau senggama dengan aku saja katanya,
sedangkan dengan suaminya tetap seperti layaknya “gedebong pisang”.
“Paah…, aduuhh, Paahh.., kontoolnya ooghh, Mamaahh… nggaak tahaan…
Paahh!” Ningsih seperti nggak ingat sedang hamil, badannya bergetar,
pinggulnya naik turun dengan cepatnya, miring ke kiri dan ke kanan
merasakan kenikmatan penisku yang perkasa.
“Paahh… ooghh…. eemmghh… oozzzhh… aauugghh… eeemmhh… teruuzshh…
tusuuukk…. Paahhghh”, lenguhan itu yang sangat kudambakan. Aku seperti
lelaki yang sangat dibutuhkan Ningsihku, tidak ada lelaki lain yang bisa
memuaskannya lahir batin.
Aku semakin gila menyodokkan penisku keluar masuk vagina Ningsih,
kuangkat kaki kirinya ke atas dan kutenggelamkan seluruh batang penisku
sampai terasa mentok di ujung lubang vaginanya.
“Oooogghh… apaahh… uughhzz… Papaahh… nikmaatt… ooghh…. teruss…
aduuuuhh… teruuss, Mamaahh… maooo… keluaarr!” Ningsih berteriak-teriak
keras sekali sambil seluruh badannya bergetar dan bergoyang, keringat
kami bercucuran seperti habis mandi membasahi sprei.
“Paahh, kenapa dicabut?” Ningsih mendelik waktu penisku mendadak dicabut
dari lubang vaginanya. Ningsih tersenyum lagi ketika kuminta dia
menungging, supaya kami bisa bermain dengan “doggy style”. Wow,
pinggulnya yang putih mulus semakin berisi dan bahenol saja menambah
nafsuku semakin menjadi, ketika Ningsih menungging.
Kuhisap dan kujilat lendir vaginanya dari belakang, sekalian lubang
pantatnya, Ningsih melenguh panjang. Dia memang paling geli kalau
dijilat lubang pantatnya.
“Papaahh…. aduhh…. Mamaahh, nggak tahaan doongg… Cepat masukin
penisnyaa!” teriak Ningsih sambil menunggingkan pantatnya, sehingga
terlihat vaginanya yang merah jambu dan sedikit basah itu.
Penisku yang lagi tegang-tegangnya kuarahkan ke lubang vaginanya
seperti mengarahkan meriam “Si Jagur” siap menembak tank-tank belanda.
Dan…
“Bleeeesszzhh. ..” penisku menyeruak ke dalam “gua kenikmatan dunia”
Ningsihku. Ningsih kembali melenguh panjang. “Paahh… oooggghh…, teruuss
kocookk sayaang!” Aku mulai menarik dan membenamkan batang penisku
keluar masuk lubang vaginanya yang terasa semakin sempit dan
menyedot-nyedot kalau bersenggama dengan “doggy style” kesukaan kami
berdua.
“Oooggghh… Maahh, Papah enaakkk… ooooggghh… hhzzz… aahzzoogghh. ..
duuh…. Maahh… aa… duuhh gilaa… yaangg, teruuss goyaang.. cakeeep!”
Ningsih memundur-majukan pantat dan pinggulnya semakin cepat sehingga
bed kamar hotelku berdeNing-deNing bunyinya.
Keringat kami jatuh bercucuran. Nikmat sekali rasanya bersenggama
dengan kekasihku tersayang ini. Jiwa raga kami rasanya bersatu-padu.
“Aduuuhh… Papaahh… ooggghh… enaakkk… Paahh, teruusss Paahh genjot…
teruuuss… aahh… lebih kenceng, oooggghh… aahhzzzzhh.. . duhh”, badan
Ningsih berguncang-guncang keras, goyangan pinggul dan pantatnya tambah
menggila dan lubang vaginanya seakan mau melumat habis dan mematahkan
batang penisku.
Air maniku rasanya sudah mengumpul di kepala penisku, siap
disemprotkan kapan saja kalau mau, tapi aku mau agar Ningsihku dulu yang
klimaks supaya dia puas. Belum tentu kami bisa ketemu seminggu sekali,
padahal dia pernah bilang bahwa kalau kami bisa kawin mungkin bisa
berhubungan badan setiap malam, karena penisku terasa nikmat sekali
rasanya katanya suatu hari sambil melumat lendirku yang keluar di
mulutnya, dan Ningsih nggak geli menelan semua air maniku.
“Paahh… Mamaahh… ooggghh… Paahh… aaduuhh… oggzz… giillaa…. aahh.. ooogghh… Mamaahh…. ooghh… Maauu keluaarrr!”
“Tungguu sayaangg.. Mamaah berbalik dulu telentang lagi”, perintahku, kami sudah hampir mencapai orgasme.
Kucabut penisku, Ningsih kemudian telentang dengan kedua kaki dibuka
lebar. Vagina dan lubang pantatnya kubersihkan dulu dengan jilatan
lidahku penuh nafsu. Kutelan habis cairan vaginanya yang asin, wangi dan
gurih itu. Dia menggelinjang sambil bergumam
“Aduuuhh, ooogghh, Papah jahaat!” sambil tersenyum manja dan matanya merem-melek.
“Cepetan masukin lagi penisnya Paahh, Mamah sudah nggak tahan nih!” Aku
segera menaiki tubuhnya dengan hati-hati takut kandungannya tertekan dan
anakku kesakitan.
Kuarahkan lagi batang penisku yang sudah merah legam seperti batu
dibakar untuk siap bertempur sampai titik darah putihku terakhir, demi
untuk Ningsihku tersayang. Dan…
“Bleeezzzhh” dan Ningsih melenguh panjang sekali
“Oooogghh Paahh.. kocookkkhh yangghhzz..” Kutarik cepat penisku sampai
kepalanya nongol ke permukaan vaginanya dan seketika itu juga kubenamkan
habis batang penisku ke lubang vaginanya sampai terasa mentok.
Ningsih melenguh panjang.
“Oooggghh Paahh aduuuhh gilaa nikmaat.” Kucabut lagi batang penisku
tiba-tiba dan kubenamkan lagi kuat-kuat ke dalam vaginanya, dengan style
agak miring, terkadang dari lubang sebelah kanan, terkadang masuk dari
lubang sebelah kirinya, membuat Ningsih terbuai kenikmatan luar biasa.
“Ooooowww ooogghh aahh Papahh enaakkhh duhh ampuunnn duuhh ooghhz….
Paahhzz!” teriakannya melengking-lengking , seperti nggak peduli kalau
ada yang dengar. Aku semakin bernafsu, keringatku bercucuran, penisku
terasa semakin tegang dan mau meledak dan terasa panas sekali seperti
gunung mau memuntahkan laharnya.
“Maahh.. ooghhzz Maahh Nonooknya gilaa empot ayaamm!”
“Goyaanggg teruusss oogghh yuuu bareeeng keluariiin Maahhggzz!
Kami semakin menggila saja, aku menusukkan batang penisku dan
mencabutnya setiap “setengah detik” sekali, dan goyangan pantat dan
pinggul Ningsih semakin menjadi-jadi. Tempat tidur semakin ramai
berdeNing-deNing, keringat kami bercucuran seperti mandi sambil
bersenggama, atau bersenggama sambil mandi, bercampur menjadi satu
menambah kenikmatan dan rasa menyatu yang bukan main indahnya. Ningsih
semakin menggila, mengelepar-gelepar keasyikan, matanya merem-melek.
Kucium dan kulumat seluruh wajahnya, bibirnya, jidatnya, ludahnya
kusedot dalam-dalam. Ningsih menggigit lidahku keras sekali sampai aku
menjeNing kesakitan.
Itu tandanya Ningsihku mau ejakulasi dan klimaks. Kukuatkan agar
cairan air sorgaku nggak muncrat dulu sampai Ningsihku mencapai
klimaksnya. Tiba-tiba…
“Paahh oooggghh aduuuhh Maamah keluuaarr ooghh aduuhh gilaa ooowwwhzz
aahh Papaahh.. uuughh uughh uuugghh”, dia sekali lagi menggigit lidahku
sampai berdarah barangkali, sambil mencubit keras pahaku, itu memang
kebiasaannya kalau meregang menahan klimaks luar biasa.
Aku tak peduli apapun yang dilakukan Ningsihku demi kepuasan
kekasihku ini. Aku terus menggenjotkan penisku semakin gila dan rasanya
sudah nggak tahan lagi menahan spermaku muncrat di vaginanya yang
kusayangi. Ningsih sudah kepayahan rupanya, katanya vaginanya terasa
ngilu kalau dia keluar duluan dan aku masih semangat menggenjotkan
penisku keluar masuk vaginanya.
“Cepeeet dooong yaang aach Mamaah capeee”, katanya dan akhirnya…
“Ooogghh.. Maahh.. Papah jugaa keluaarrr… ooooghh.. oooghh… oooghh..
Mamaahh… aduuuuhh eemmhhzz! Kami sama-sama meregang, mengejang,
mendelik, menggelepar, seakan jiwa raga kami terbang ke angkasa luas nan
indah, ke alam surgawi dunia fana entah sampai kapan kami akan memagut
cinta, tapi rasanya memang sulit berpisah.
Kupeluk dan kucium Ningsihku yang terkulai puas dengan senyuman
tersungging di bibirnya yang merah muda tanpa gincu. Kulumat lagi
bibirnya habis-habisan, dia melenguh manja dengan mata tertutup letih
tanda puas yang luar biasa.
“Paahh, Mamah cinta… jangan tinggalin Mamah ya sayaang!” Aku mengangguk saja karena aku pun sangat mencintainya.
Kemudian Ningsih dan aku rupanya tertidur pulas dalam keadaan
berpelukan mesra dan bugil dan penisku masih sedikit menancap di
vaginanya. Kulihat jam tanganku sudah menunjukan jam dua pagi. Hawa
dingin kota Bandung dan ketika aku tersadar bahwa kekasihku masih
tergolek mesra di pelukanku dengan telanjang bulat, nafsuku mulai
bangkit kembali dan penisku sedikit demi sedikit mulai menegang dan
keras kembali.
Kubangunkan Ningsihku, dia terbangun kami sama-sama berciuman kembali
walaupun belum gosok gigi. Tapi cinta mengalahkan segalanya, semuanya
terasa indah dan harum wangi. Ningsih juga kemudian terangsang kembali
dan kami bersenggama lagi habis-habisan sampai jam empat pagi sampai
seluruh badan terasa lemas dan lunglai. Nggak apa, kami makan apa saja
yang membuat tubuh segar kembali dengan memesan ke Room Service.
Hari Sabtu pagi sampai siang hari kami terus tidur berpelukan mesra,
pintu kamar terus berstatus “DO NOT DISTURB” sebab ada dua sejoli yang
sedang memagut kasih, dan sampai Minggu pagi kami terus bercinta dan
bersetubuh tak bosan-bosannya sampai tujuh kali. Minggu siang sekitar
jam 12.00 Togar datang sesuai janji untuk mengantarkan Ningsih pulang,
sambil mendropku di stasiun kereta api. Oh, setianya Batak satu ini,
benar-benar kawan sejati dia. Dia cuma cengar-cengir penuh arti ketika
bersalaman di stasiun dan berpisah denganku.
Dari mobil, Ningsih melambaikan tangan dan menempelkannya di
bibirnya. “Hati-hati kau bawa dia kawan, dia sedang mengandung anakku,
cari jalan yang mulus!” perintahku pada Togar. “Siap boss, akan
kulaksanakan perintahmu!” katanya tegas. Batak ini memang tegas dan
kasar, tapi hatinya sangat lembut dan baik. Sekali lagi aku berpelukan
dengan Togar, sebelum Kijangnya yang membawa Ningsih hilang dari
pandanganku.
Aku berjanji pada Ningsih untuk sesering mungkin datang ke Bandung,
tak peduli apakah si Yudi keluar kota atau tidak sebab cinta kami begitu
indah.
Wah, cocok deh, rasanya pada minggu pertama hari-hari di kantor
begitu indah dan rasanya sangat cepat berjalan. Namanya Indah Ningsih
Purwati, oh… rasanya kerjaku tambah bersemangat. Setiap kali dia datang
ke kamar kerjaku membawa surat atau minumanku, aku mulai menancapkan
busur-busur asmaraku dari mulai menggenggam tangannya, mencium hidung
dan keningnya tetapi masih cukup sopan, jangan sampai dia kaget atau
marah. Tapi aku yakin, dia pun ingin diperlakukan demikian karena
ternyata dia tak menolak bahkan kerjanya semakin rajin dan cekatan
bahkan tak pernah bolos (termasuk ketika datang matahari, eh datang
bulan).
Kupikir tak apa, malah aku senang, toh aku belum mau pakai, yang
penting bisa mencium bibirnya, hidungnya, keningnya dan dari hari ke
hari kami semakin tenggelam dalam asmara. Ketika itu, tahun 1982, dia
sudah punya pacar bahkan pacarnya terus memintanya untuk segera menikah.
Herannya, menurut pengakuannya, dia semakin benci dan tidak berniat
nikah dengan pacarnya itu. Weleh-weleh- weleh, rupanya jerat cintaku
telah merasuki jiwanya.
Sampai suatu hari (3 bulan kemudian), aku memberanikan diri untuk
mengajaknya pergi ke luar kota di hari minggu, karena tidak mungkin kami
mencurahkan cinta kasih kami di kantor. Dia setuju dan berjanji untuk
menungguku di sebuah pasar swalayan tak jauh dari rumahnya. Maka ketika
mobil kami meluncur di toll Jagorawi menuju Bogor dan kemudian ke
Pelabuhan Ratu Sukabumi, hati kami semakin berbunga-bunga sebab kami
akan dapat mencurahkan segalanya tanpa takut diketahui orang atau
pegawai lain di kantor maklum kedudukanku sebagai kepala cabang bank
swasta terkemuka di samping sudah beristeri dan beranak dua.
“Ning….” kataku pelan ketika mobilku keluar pintu toll.
“Ada apa Pak?” Ningsih menjawab manis, sambil melirikku.
“Sekarang jangan panggil bapak, panggil saja Papah, biar nanti orang
mengira kita ini suami-isteri. ” Dia mencubit pahaku sambil tersenyum
manja, dan tangannya kutahan untuk tetap memegang pahaku, dia mendelik
manja tapi juga setuju.
“Pah… kamu nakal deh”, sambil mencubit sekali lagi pahaku. Wah, rasanya
aku seperti terbang ke langit mendengar Ningsih mengatakan “Papah”
seperti yang kuminta.
Sebaliknya, aku pun mulai saat itu memanggil Ningsih dengan sebutan
“Mamah” dan kami saling memagut cinta sepanjang perjalanan ke Pelabuhan
Ratu itu, laksana sepasang sejoli yang sedang mabuk cinta atau pengantin
baru yang akan ber-“honey-moon” , sehingga tak terasa mobilku sudah
memasuki halaman Hotel Samudera Beach. Pelabuan Ratu yang berada di tepi
Samudra Hindia dengan ombaknya yang terkenal garang. Laksana suami
isteri, aku dan Ningsih masuk dan menuju “reception desk” untuk check-in
minta satu kamar yang menghadap ke laut lepas. Petugas resepsi dengan
ramah dan tanpa rewel (mungkin karena aku ber-Mamah-Papah dan terlihat
sebagai suami isteri yang sangat serasi, sama ganteng dan cantiknya)
segera memberikan kunci kamar, sambil minta seorang room-boy mengantar
kami ke ruangan hotel di lantai tiga kalau aku tak salah.
Segera kututup pintu kamar, di-lock sekaligus dan pesan supaya kami
tidak diganggu karena mau beristirahat. Aku dan Ningsih duduk berhadapan
di pinggir tempat tidur sambil tersenyum mesra penuh kemenangan.
Akhirnya, angan-angan yang selalu kuimpikan untuk berdua-duaan dengan
Ningsih ternyata terlaksana juga. Kukecup hidungnya, keningnya,
telinganya, Ningsih menggelinjang geli. Kusodorkan mulutku untuk meraih
mulutnya, dia terpejam manja dan ketika bibir kami bersentuhan dan
kuulurkan lidahku ke bibirnya, ternyata dia langsung menyedot dan
melumat lidahku dalam-dalam.
“Ooohhgghh, Paahh”, Ningsih mulai terangsang dan merebahkan badannya,
aku segera saja menggumulinya dan menaiki badannya, Ningsih melenguh
dan terpejam, kemaluanku bergesekan dengan selangkangannya dan bau harum
parfumnya semakin merangsang nafsuku.
“Paahh, kita buka pakaiannya dulu, nanti lecek.” Oh, harum sekali
mulutnya, kulumat habis wajahnya, kupingnya, jidatnya dan mulutnya.
“Paahh, bandel nih, kita buka dulu bajunya!” Aku masih terengah-engah
menahan nafsuku yang membara, kemaluanku semakin menegang menggesek
selangkangannya.
“OK Mahh… yuuk dibuka dulu.”
Karena sudah sama-sama ngebet, kami saling membukakan pakaian dan
setelah T-Shirt-nya kulepas, terlihat sepasang gunung menyembul putih,
dan mulus sekali. Kami berpandangan setelah tak selembar benang pun
menempel. Kudekap Ningsih yang mulus, putih, harum itu, kujilati
semuanya sambil berdiri, sementara kemaluanku sudah tegang memerah,
apalagi ketika Ningsih mulai meraba dan meremas batang kemaluanku.
Kutelentangkan dia di tempat tidur. Oh… betapa mulusnya badan Ningsih,
sempurna sekali seperti bidadari. Pinggulnya yang montok, buah dadanya
yang putih kencang dengan puting merona merah dan kemaluannya yang
dijalari rambut kemaluan yang tidak terlalu lebat jelas menampakkan
bentuknya yang sempurna tanpa cacat, dan kelentit yang merah terlihat
rapi dan belum menonjol keluar karena memang Ningsih masih perawan.
Kujilati dari ujung kaki sampai ujung jidatnya yang mulus, naik ke
atas, berhenti lama di bawah kemaluannya. Kumainkan lidahku di antara
selangkangannya, Ningsih melenguh, terus kukulum-kulum kemaluannya,
klitorisnya yang merah dan beraroma harum, tambah lama tambah merambah
ke dalam lubang kemaluannya yang merah.
“Ogghh, Paahh, geliii.., terusss Pahh, ogghh, tapi jangan terlalu dalam Pahh…, saakiiit.”
“Yaa, sayanggg”, sambil terus lidah dan mulutku mengulum kemaluan dan
kelentitnya yang mulai terasa agak asin karena cairan kemaluan Ningsih
mulai keluar.
“Ogghh, Paah…, adduuhh, Paahh, gelii, Pahh, Mamah kayaak maauu… ogghh.”
Aku terus menjilati seluruh kemaluannya dengan membabi buta, kuhirup
seluruh cairannya yang wangi itu, sekali-kali lubang pantatnya kujilati
dan Ningsih menggelinjang dan merintih setiap kali kujilat pantatnya.
Penisku semakin tegang dan keras, urat-uratnya terlihat jelas
menegang, aku tahan terus supaya tidak ejakulasi duluan. Aku ingin
memuaskan Ningsihku yang tentunya baru merasakan kenikmatan surga dunia
ini bersama lelaki yang dicintainya.
“Paahh, eemmggghh.., teruss… Paahh, geellii…, oooggghh…, Pappaahh
jaahhaatt!” aku masih saja terus melumat, memamah, menggigit-gigit kecil
lubang kemaluan dan klitorisnya yang merah dan beraroma wangi, dan
pantat Ningsih semakin cepat naik turun sepertinya mau agar lidahku
semakin masuk ke lubang kemaluannya.
“Paahh, naik Paahh, udaahh donnkk, Mamahh nggak tahaan”, sambil menarik tanganku.
Matanya terpejam ayam, buah dadanya yang putih, mulus dan mengkel
terlihat naik turun. Aku menaiki badannya dan penisku yang sudah seperti
besi terasa menggesek bulu kemaluannya dan menempel hangat disela-sela
kemaluannya yang semakin basah oleh ludahku dan cairan vaginanya.
Kuremas dan kuhisap buah dadanya, kukulum puting susunya yang merah
muda, terasa sedap dan manis. Ningsih menggelinjang dan semakin
melenguh.
“Maahh, masukin yaa, penis Papah”, dia mengangguk sambil tetap
terpejam. Kubidikan penisku yang sudah keras itu kelubang kemaluannya,
dan kujajaki sedikit-sedikit lubangnya, maklum Ningsih masih perawan,
aku tak ingin menyakitinya.
“PPPaahh, masukkaan cepatt… Mamah nggak tahan Paah aahh…” Kutancapkan
penisku lebih dalam, Ningsih merintih nikmat, pantatku naik turun untuk
mencari lubang kemaluannya yang masih belum tertembus penis itu, Ningsih
terus menggoyangkan pantatnya naik turun sambil terus merintih.
“Maahh, penis Papahh udahh masuukk, oogghh mahh, vaginanya lezat,
menyedot-nyedottt. .. penis…” aku mulai merasakan kenikmatan yang luar
biasa, karena disamping Ningsih masih perawan, vaginanya juga punya
keistimewaan yang sering disebut “empot-empot ayam” itu.
Tambah lama, penisku tambah melesak jauh ke dalam vagina Ningsih dan
ada beberapa tetes darah sebagai tanda keperawanannya diberikan
kepadaku, boss-nya, kekasih barunya. Oh, betapa bahagianya hati ini.
“Paahh, saakkiitt, Paahh, tapi enaak, oooggghh.. Paahh, terus, goyang
paahh…, oooghh, cepeetiinn paahh…” Aku semakin mempercepat goyangan
pantatku naik turun dan penisku sudah bisa masuk semuanya ke lubang
kemaluan Ningsih.
Aku bangun dan duduk sambil kupeluk Ningsih untuk duduk
berhadap-hadapan dengan tidak melepaskan penisku. Ningsih duduk di
pangkuanku dengan kaki melonjor ke belakang pantatku. Penisku terus
menancap di vaginanya dan Ningsih mulai menaik-turunkan pantatnya.
“Paahh, oggghh… pahh”, sambil melumat bibirku dan menggigitnya.
“mmaahh,oogghh, aememmhh… maahh, goyang terusss…, Papah mau keluarrrr.”
Ningsih semakin beraksi menaik turunkan pinggulnya yang bahenol dan
putih bersih dan aku pun meladeninya dengan menaik-turunkan pantat dan
penisku semakin kencang juga.
“Pppaahh… Papahh harus tanggung jawab yaa, kalau Ningsih hamil”, ucapnya di sela-sela nafasnya yang semakin ngos-ngosan.
“Ningsiha… emmhhggg, sayang Pappaahh… biarin mengandung anak Papaah”,
manjanya. Aku mengangguk saja sebab aku sangat mencintainya.
“Paahh… oogghh… emmgghh… Ningsiha mauuu… keluaarrr… oomhh.” “Papahh..
jugaa… sayanggg…. “jawabku sambil telentang agi sedangkan Ningsih tetap
nongkrong berada di atas badanku dan vagina serta pantatnya naik turun
semakin cepat melumat habis batang penisku.
“Paahh… Mamahh… oooghh… sssakittt, oooggghh… tapiii.. ennaakk”, ketika
kubalikkan badannya dan kutancapkan penisku dari belakang.
Kugenjot terus penisku keluar masuk lubang kemaluannya sambil
kuremas-remas pinggulnya yang mulus dan montok seperti gitar itu,
Ningsih semakin merintih, aku juga semakin tersengal-sengal menahan
nafasku dan penisku yang semakin liar. Waktu sudah berjalan sekitar 50
menit sejak kami masuk kamar. Kuat juga pikirku, mungkin berkat latihan
yogaku yang cukup teratur, sehingga bisa menahan emosi dan cukup nafas.
Aku memang rada jago juga dalam bermain asmara di ranjang.
“Terruusss.. . Paahh… eemmhh… ogghh… Paahh… Paahh, ggghh… Mamahh
maaooo keluaarr… oogghh… bareng Paahh.” Kucabut dulu penisku dan Ningsih
kuminta untuk telentang kembali dan lantas kutindih lagi sebab aku
ingin menatap dan menciumi wajah kekasihku ketika kami sama-sama
ejakulasi.
Kutancapkan kembali penisku ke vaginanya yang terlihat semakin
memerah, kujilati dulu lendir-lendir di kemaluannya sampai lumat dan
kutelan dengan nikmat. Dia menggeliat,
“Cepat dong masukan lagi penisnya Pah!” dan,
“Bbbleess”, oh nikmat sekali rasanya vagina perawanku tercinta ini.
Aku seperti di awang-awang, saling mencintai dan dicintai. Kugoyang
terus pantatku semakin lama semakin kencang dan penisku keluar masuk
vaginanya dengan gagah, Ningsih terus melenguh kenikmatan sambil
tangannya memilin-milin puting susuku semakin membawa nikmat. Ningsih
semakin menggila goyangannya mengimbangi keluar masuk penisku ke
vaginanya, penisku terasa disedot-sedot dan dijepit dengan daging lunak
yang ngepres sekali. Keringat kami semakin bercucuran dan semakin
membangkitkan gairah cinta, kemudian tiba pada puncak gairah cinta dan
surga dunia kami yang paling indah, paling berkesan sekali disaksikan
laut kidul, dan kami berdua serempak berteriak dan mengejang,
“Paahh… Maahh… oogghh… mauuu keluuuarrr.. . ogghh… baarrrreeengg. ..
yuuu…, oooghh… sayaang.” Kami sama-sama mengejang, mengerang, merengkuh
apa pun yang bisa direngkuh, sebuah klimaks dua manusia yang saling
mencintai dan baru dipertemukan, meskipun sudah agak telat karena aku
sudah berkeluarga.
Sejak itu, aku terus memadu kasih kapan dan di mana saja (kebanyakan
di luar kota) sampai Ningsih kawin dan keluar dari perusahaanku.
Anak-anaknya adalah anak-anakku juga bahkan wajahnya mirip wajahku dan
kadang-kadang kami masih bertemu memadu kasih karena kami tidak bisa
melupakan saat-saat indah itu. Kapan akan berakhir perselingkuhan ini,
kami tidak tahu sebab cinta kami sangat mendalam.
Ningsih telah keluar dari kantor cabang bank yang kupimpin di
bilangan Slipi, karena dia dipaksa kawin dengan seorang laki-laki yang
tidak dicintainya. Namun sebagai anak yang patuh sama orang tua,
terpaksa harus mengikuti keinginan orangtuanya dan ikut bersama suaminya
setelah itu ke Bandung, karena suaminya bertugas di kantor pajak Jawa
Barat. Sebulan sebelum menikah dia kuajak ke Singapore untuk operasi
selaput dara, karena aku tidak ingin Ningsihku bermasalah dengan
suaminya pada malam pengantinnya.
Kami menginap di sebuah hotel di kawasan Orchard Road yang ramai dan
penuh pertokoan selama tiga malam dan satu malam lainnya aku
menungguinya di Rumah Sakit Elizabeth yang terkenal dan langsung
ditangani oleh dr. Lie Tek Shih, spesialis operasi plastik, kenalan lama
saya. Malam sebelum operasi selaput dara, kami menumpahkan seluruh
kasih sayang semalam suntuk di hotel bintang empat itu, dan malam itu
merupakan malam yang ke 24 (karena Ningsih rajin mencatat setiap
pertemuan kami) kami memadu kasih dan terlarut dalam kebersamaan yang
tiada tara sejak yang pertama di “Samudera Beach” Pelabuhan Ratu.
“Papah”, Ningsih bersender manja di dadaku di kamar hotel itu.
“Apa sayang?” jawabku sambil mencium rambutnya yang harum.
“Mamah… Mamah nggak mau kawin dan meninggalkan Papah”, rengeknya manja.
“Memangnya kenapa sayang?” jawabku sambil mengusap sayang payudaranya yang putih ranum.
“Mamah nggak cinta sama calon suami pilihan Bapak, lagi pula Mamah nggak mau meninggalkan Papah sendirian di
Jakarta.” Matanya terlihat mulai berkaca-kaca,
“Mamah sangat sayaang sekali sama Papah, Mamah cintaa sekali sama Papah,
Mamah tak rela tubuh dan segala milik Mamah dijamah dan dimiliki orang
lain selain Papah, achh… kenapa Tuhan mempertemukan kita baru sekarang?
setelah Papah punya isteri dan anak?” Ningsih terus bergumam sambil
membelai dadaku dan sesekali mempermainkan puting susuku yang semakin
keras.
“Mahh, sudahlah, itu sudah diatur dari sananya begitu, kalau dipikir,
Papah pun nggak rela kamu dijamah laki-laki lain, Papah tak kuasa
membayangkan bagaimana malam pengantinmu nanti, tapi semuanya sudah akan
menjadi kenyataan yang tidak mungkin kita robah.” Aku menciumi seluruh
mukanya dengan segenap kasing sayang, seakan kami tidak ingin
terpisahkan, air mata kami berlinangan campur menjadi satu dalam
kesenduan dan kemesraan yang tak pernah berakhir setiap kali kami memadu
kasih.
“Papaahh, nikmatilah Ningsihmu sepuasmu Pahh, sebelum orang lain
menjamah tubuhku.” Ningsih menarik tanganku ke buah dadanya dan
merebahkan badannya ke kasur empuk sebuah double-bed. Aku beringsut
mendekatinya, sambil kurebahkan badanku di samping tubuhnya yang putih
mulus dan seksi itu. Kuusap-usap penuh mesra dan kasih sayang buah
dadanya yang putih ranum dengan putingnya yang merona merah. Kujulurkan
mulut dan lidahku ke puting buah dada kirinya yang menurutnya cepat
membuat rangsangan berahinya timbul.
“Paahh…, gelliii… sayaang… oooggghh, Paahh…, naikin Mamaahh… Paahh…” Matanya merem ayam dan dadanya semakin turun naik.
“Iyyaa, yaanng…” aku segera menindihi badannya, dan penisku mulai kembali tegang.
Tiba-tiba Ningsih membalikkan badannya dan mendadak merenggangkan
kedua kakiku. Tak sampai satu menit, Ningsih sudah mengulum penisku yang
semakin mengeras dan mengkilat kepalanya sampai batangnya amblas semua
ke dalam mulutnya.
“Oogghh, Paahh, sudah assiiinnn, Papah sudah ngiler nih, tapi nikmat kok, Mamah suka?” Aku semakin merem melek,
“Ogghh, Mmaahh, geellii, sayaang, nikmaatt, ogghh.” Ningsih mengenyot
biji pelirku dan menggigit-gigit sayang, hingga aku menggelinjang geli
dan nikmat.
Ningsih memang pintar, hebat, telaten dan cantik. Aku terkadang tak
suka dan tak rela dia nanti ditiduri dan dijamah lelaki lain, walaupun
itu suaminya. Aku terpikir untuk menggodanya.
“Mah, apa nanti suamimu juga dijilati begini?” Ningsih berhenti
melumat dan menjilat penis dan buah pelirku sejenak. Matanya mendelik
dan mencubit pantatku keras sekali.
“Jangan menyakiti hati Mamah ya Pah, Mamah sumpah nggak akan seperti
ini, seperti main sama Papah, meskipun nanti lelaki itu resmi jadi
suamiku”, Ningsih iseng mengusap-usap penisku penuh sayang sambil
nyerocos lagi.
“Percaya dech pah, Ningsih cuma cinta sama Papah, paling-paling kalau
main nanti sama dia sekedar karena kewajiban, biar saja kayak gedebong
pisang.”
“Benar ya Mah, Papah nggak rela kalau kamu main sama dia dirasain, terus
ikut goyang dan melenguh, Papah pasti merasakannya” , kataku menimpali.
“Nggak bakal sayang, Mamah hanya manja dan menikmati semua kalau ngewe
sama Papah, percaya dech sayang.” Ningsih kembali naik di atas badanku
dan penisku terus diusap-usapnya dan sesekali dikocoknya persis di
bagian kepalanya, sehingga langsung tegang dan berdiri perkasa
menampakkan otot-ototnya.
Ningsih mengangkat sedikit pantatnya ke atas dan menyelipkan penisku
yang semakin perkasa ke lubang kemaluannya yang mulai basah dan licin.
Penisku nggak begitu panjang memang, paling sekitar 15 sentimeter, tapi
kerasnya seperti besi, dan Ningsih selalu menikmati klimaks dengan
sangat bahagia bahkan bisa berkali-kali klimaks dalam setiap kali
berhubungan denganku. Pantatnya mulai bekerja naik turun dan pantatku
juga mengimbanginya dengan menekan-nekan ke atas, sehingga Ningsih
semakin merem melek keasyikan.
“Ppaahh, aagggghh… terus teken sayaang… Mamaahh eennnaakk adduuhh
Paahh.., oogghh.., Mamaahh, cintaa.. yaangg…” Selalu saja Ningsih
nyerocos mulutnya kalau lagi keasyikan vaginanya melumat penisku.
Vaginanya mulai lagi menyedot-nyedot penisku dengan “empot ayamnya” yang tak bisa kulupakan.
“mmaahh…. ooogghh… aduuhh, Maahh, nikmaat, sayaang.. teruuuss Maahh, goyaanng.” Aku mulai merasakan kenikmatan yang luar biasa.
Kuremas-remas buah dada dan putingnya, hingga dia kegelian dan
semakin kencang menaik-turunkan pantatnya, sampai bunyi gesekan penis
dan vaginanya semakin terdengar. Ningsih membalikkan badannya dan
membelakangiku tapi dengan posisi tetap di atas tubuhku tanpa
mengeluarkan penisku dari kemaluannya. Aku paling bernafsu kalau melihat
pantat Ningsih yang putih mulus dan bahenol turun naik di depan mataku
sambil vaginanya terus menghisap-hisap batang penisku sampai amblas
semuanya ke dasar kemaluannya. Tiba-tiba,
“Pppaahh, oggghh, Papaahh, Mamahh maooo keluaarr…. ooghh… Papaahh…
aa.. aa… aagghh aaggghh, Mamaahh duluaannn Pahh….” Ningsih terkulai
lemas sambil menyubit keras pantatku dan berbalik kembali menindih
tubuhku, sambil memegang penisku yang masih berdiri tegak dan belepotan
lendirnya.
“Bandel nich… ayo cepeten masukin lagi, Mamah yang di bawah!”
perintahnya manja sambil menciumi wajahku. Kedua tubuh kami mandi
keringat, rasanya puas sekali setiap bersetubuh dengan Ningsihku sayang.
Aku tersenyum puas, aku memang nggak egois, biar Ningsihku dulu yang
terkulai lemas menikmati klimaksnya, aku bisa menyusul kemudian dan
Ningsih selalu melayaniku dengan penuh kasih sayang dan kesabaran.
Kubalikkan tubuhnya, kujilati dengan kulumat lendir-lendir di vaginanya,
kujilat, kugigit sayang klitoris dan vaginanya, dia menggelinjang
kegelian. Kutelan semua lendir Ningsihku, sementara itu penisku masih
berdiri tegak.
“Cepat masukin penisnya sayang, Mamah mau bobo nich.., lemas,
ngantuk”, kicaunya. Setelah kubersihkan vaginanya dengan handuk kecil,
kumasukkan lagi penisku, aduh ternyata lubang vaginanya menyempit kering
lagi, menambah nikmat terasa di penisku.
“Mmaahh, eennaak… Maahh, oogghh, sempit lagi Maahh…” sambil terus kutekan ke atas dan ke bawah penisku.
Aku sedikit mengangkat badanku tanpa mencabut penisku yang terbenam
penuh di vagina Ningsih, kemudian kaki kanan Ningsih kuangkat ke atas
dan aku duduk setengah badan dengan tumpuan kedua dengkulku. Ningsih
memiringkan sedikit badannya dengan posisi kaki kanannya kuangkat ke
atas. Dengan posisi demikian, kusodok terus penisku ke luar dan ke dalam
lubang vaginanya yang merah basah. Ningsih mulai melenguh kembali dan
aku semakin bernafsu menusukkan penisku sampai dasar vaginanya.
“Ooggghh, Maahh, ooogghh.. nikmat sekali sayang”, lenguhku sambil
memejamkan mataku merasakan kenikmatan vagina Ningsih yang menyut-menyut
dan menyedot-nyedot.
“Paahh.. Mamah enaak lagi, ooogghh… Paahh”, dia mulai melenguh lagi keenakan.
Aku semakin bersemangat menusukkan penisku yang semakin tegang dan
rasanya air maniku sudah naik ke ujung penisku untuk kusemburkan di
dalam kemaluan Ningsih yang hangat membara. Kubalikkan tubuhnya supaya
tengkurap dan dengan bertumpu pada kedua dengkulnya aku mau bersenggama
dengan doggy style, supaya penisku bisa kutusukkan ke vaginanya dari
belakang sambil melihat pinggul dan pantatnya yang putih dan indah.
Dalam posisi senggama menungging begitu, aku dan Ningsih merasakan
kenikmatan yang sangat sempurna dan dahsyat. Apalagi aku merasakan
lubang vaginanya semakin sempit menjepit batang penisku dan sedotannya
semakin menjadi-jadi.
“Paahh… teruuuss genjoott.. Paahh…” Ningsih mulai mengerang lagi
keenakan dan pantatnya semakin mundur maju sehingga lubang vaginanya
terlihat jelas melahap semua batang penisku.
“Blleesss, shhoottt… bleesss… srooottt, sreett crreeckkk… ” gesekan
penisku dan vaginanya semakin asyik terdengar bercampur lenguhan yang
semakin nyaring dari dua anak manusia yang saling dilanda cinta.
“Maahh, ooggghh… adduuuhh, Yaangg… emghh, Papah enaakk, ooghh!” aku
tergoncang-goncang dan dengkulku semakin lemas menahan kenikmatan dan
nafsuku yang semakin menggelegak.
Sementara itu keringatku semakin bercucuran membasahi kasur meskipun AC cukup dingin di kamar hotel itu.
“Paahh, ooogghh, teruuusss tusuuk Paahh…” Ningsih merintih-rintih ke asyikan, kelihatannya akan klimaks lagi.
Rupanya Ningsih nggak mau tahu kalau posisi persetubuhan saat itu
akan berakhir 2-1 untuk kemenanganku, dan entah akan menghasilkan skor
berapa sampai pagi hari nanti, soalnya mumpung ketemu sebelum dia
dikawinkan. Ningsih memintaku untuk telentang lagi dan sementara dia
berada jongkok di depanku, sehingga vaginanya yang merah basah sampai ke
bulu-bulunya terlihat jelas di depan mataku. Aku memberi kode agar
Ningsih mendekatkan vaginanya ke mukaku. Sesaat kemudian vaginanya sudah
ditindihkan di mulutku dan kulumat habis cairan asin bercampur manis
yang ada di selangkangan dan mulut vagina dan bulunya. Kujilati habis
dan kutelan dalam-dalam. Ningsih melenguh keasyikan sambil menggoyangkan
pinggulnya ke atas ke bawah dan membenamkan vaginanya ke mukaku.
“Paahh…, ooghh, Paahh…, nikmaatt, yaangg… teruusss, aduuuhh…,
ooggghh, eemmhh, gilaa…, emmhh”, mulai ramai lagi dia dengan lenguhannya
yang semakin menambah semangatku untuk terus melumat, menjilat,
menggigit-gigit kecil kemaluan dan klitorisnya, lidahku terus
menggapai-gapai ke dalam kemaluannya dan sesekali menjilat lubang
pantatnya, sehingga dia menggeliat dan melenguh keenakan. Lenguhan
Ningsih kalau sedang senggama itu tak bisa kulupakan sampai saat ini.
Ningsihku adalah isteriku yang sesungguhnya, meskipun secara resmi
tidak dapat dilakukan karena keadaan kami masing-masing. Terkadang kami
bingung apakah cinta kasih kami akan terus tanpa akhir sampai takdir
memisahkan kami berdua? Ningsih kembali kuminta celentang, karena sudah
kebiasaanku kalau aku klimaks harus melihat wajahnya dan mendengar
lenguhannya di depan mataku, dan rasanya semua perasaan cintaku dan
spermaku tumpah ruah di dalam vaginanya kalau aku ejakulasi sambil
berada di atas tubuhnya yang mulus montok, terkadang sambil meremah buah
dadanya yang putih padat.
Kumasukkan lagi segera penisku yang sekeras besi dan berwarna coklat mengkilap itu kelubang vaginanya,
“Blleeeessss. ” Aku sudah tak tahan lagi menahan gumpalan spermaku di ujung penisku.
Kugenjot penisku keluar masuk vaginanya sampai ke ujung batang
penisku, sehingga rambut kemaluan kami terasa bergesekan membuat semakin
geli dan nikmat rasanya. Kuangkat kaki kanan Ningsih ke atas, sehingga
aku semakin mudah dan bernafsu memaju mundurkan pinggulku dan penisku,
Ningsih meringis dan melenguh keenakan.
“Paahh… teruuss Paahh… oogghh, penis Papah eaakk… ooggghh, eeemmhh…
emmhh… aduuuhh.” Keringat kami semakin bercucuran membasahi sprei, masa
bodoh sudah bayar mahal ini.
Aku semakin bernafsu menyodok dan menarik batang penisku dari vagina
Ningsih yang semakin licin tapi tetap sempit seperti perawan.
“Oooggghh… Maahh… ooggghh… Maahh… ikut goyang dong Sayaang…, oooghh…
Papaahh maauu keluuuaarr.. .” aku semakin gila saja dibuatnya, keringat
semakin bercucuran, nikmat dan nikmat sekali setiap bersetubuh dengan
Ningsihku sayang.
Air maniku rasanya tinggal menunggu komando saja untuk disemprotkan habis-habisan kelubang vagina Ningsih.
“Paahh, aduuuhh, bareng yuuu.. Paahh… Mamah mmoo keluaarr lagi”, Ningsih minta aku menindihnya dan menciumnya.
Segera kutimpa dia dari atas sambil melumat mulut, bibir dan lidahnya.
“Ooogghh… yuu… baraeeng.. Paahh… aiiaaogghh.. . aduhh.. yuu Maahh..
Paahh…” badan kami saling meregang, berpelukan erat seakan tak mau lepas
lagi.
Air maniku kusemprotkan dalam-dalam ke lubang vagina Ningsih, rasanya
nggak ada lagi tersisa. Kami terkulai lemas dalam pelukan hangat dan
puas sekali. Sesekali penisku kutusukan ke dalam vaginanya, Ningsih
menggelinjang geli dan melenguh “Paahh… udaahh… Mamahh geli…” matanya
terpejam puas. Kuciumi dia, kubersihkan lagi vaginanya dengan jilatan
lidah dan mulutku, ketimbang pakai handuk. Vaginanya tetap harum, manis
dan wangi laksana melati.
Sepulang dari Singapore, aku dan Ningsih masih selalu bertemu di
beberapa motel di Jakarta dan sekitar Botabek. Aku seakan tidak rela
melepas kekasihku untuk dikawinkan dengan lelaki lain. Tapi memang tidak
ada jalan lain, sebab meskipun Ningsih telah menyatakan keikhlasannya
untuk menjadi isteri keduaku, namun aku juga sangat cinta keluarga
terutama anak-anakku yang masih butuh perhatian. Ningsih sangat maklum
hal itu, namun dia juga tidak bisa menolak keinginan orangtuanya untuk
segera menikah mengingat hal itu bagi seorang wanita adalah sesuatu yang
harus mempunyai kepastian karena usianya yang semakin meningkat. Waktu
itu Ningsih sudah berusia hampir 26 tahun dan untuk wanita seusia itu
pantas untuk segera berumah tangga.
Tanpa terasa hari pernikahan Ningsih sudah tinggal tersisa satu bulan
lagi, bahkan undangan pesta pernikahan sudah mulai dicetak, dan dia
membeNingsihhukan aku bahwa resepsi pernikahannya akan diselenggarakan
di Balai Kartini. Hatiku semakin merasa kesepian, dari hari ke hari aku
semakin sentimentil dan sering marah-marah termasuk kepada Ningsih.
Aku begitu tak rela dan rasanya merasa cemburu dan dikalahkan oleh
seorang laki-laki lain calon suami Ningsih yang sebenarnya tidak dia
cintai. Tapi itulah sebuah kenyataan pahit yang harus kutelan. Itulah
adat ketimuran kita, adat leluhur dan moyang kita. Barangkali kalau aku
dan Ningsih hidup di sebuah negara berkebudayaan barat, hal ini tidak
bakalan terjadi, sebab Ningsih bisa menentukan pilihannya sendiri untuk
hidup bahagia bersamaku di sebuah flat tanpa bisik-bisik tetangga dan
handai-taulan di sekitar kita.
Tanpa terasa pula aku sudah menjalin cinta dan berhubungan intim
dengan Ningsih hampir empat tahun lamanya, seperti layaknya suami isteri
tanpa seorang pun yang mengetahui dan hebatnya Ningsih tidak sampai
mengandung karena kami menggunakan cara kalender yang ketat sehingga
kami bersenggama jika Ningsih dalam keadaan tidak subur.
Pada suatu sore, Ningsih meneleponku minta diantarkan untuk mengukur
gaun pengantinnya di sebuah rumah mode langganannya di kawasan Slipi.
Kebetulan aku sedang agak rindu pada dia. Kujemput dia di sebuah toko di
Blok M selanjutnya kami meluncur ke arah Semanggi untuk menuju ke
Slipi. Di mobil dia agak diam, tidak seperti biasanya.
“Ning, kok tumben nggak bersuara”, kataku memecah hening.
Dia menatap mukaku perlahan, tetap tanpa senyum. Air matanya terlihat samar di pelupuk matanya.
“Mah, kenapa sayang? kok kelihatannya bersedih”, kataku sekali lagi.
Dia tetap menunduk dan air matanya mulai meluncur menetes di tanganku yang sedang mengelus mukanya.
“Bertambah dekat hari pernikahanku, aku bertambah sedih Pah”, ujarnya.
“Mamah membayangkan malam pengantin yang sama sekali tidak Mamah
harapkan terjadi dengan lelaki lain. Sayang sekali kamu sudah milik
orang lain. Kenapa kita baru dipertemukan sekarang?” Ningsih berceloteh
setengah bergumam. Aku merasa iba, sekaligus juga mengasihani diriku
yang tidak mampu berbuat banyak untuk membahagiakannya.
Kugenggam tangannya erat-erat seolah tak ingin terlepaskan. Tanpa
terasa, mobilku sudah memasuki pekarangan rumah mode yang ditunjukan
Ningsih. Hampir setengah jam aku menunggu di mobil sambil tiduran, mesin
dan pendingin mobilku sengaja tak kumatikan. Laser disk dengan lagu
“Love will lead you back” mengalun sayup menambah suasana sendu yang
menyelimuti perasaanku. Aku dikejutkan Ningsih yang masuk mobil dan
membanting pintunya. Setelah berada di jalan raya kutanya dia mau ke
mana lagi dan dia menjawab terserahku. Kuarahkan mobilku kembali ke
jembatan Semanggi dan belok kiri ke jalan Jenderal Sudirman dan masuk ke
Hotel Sahid. Sementara aku mengurus check-in di Reception Desk, Ningsih
menungguku di lobby hotel. Kemudian kami naik lift menuju kamar hotel
di lantai dua.
“Pah, Mamah serahkan segalanya untukmu, Mamah khawatir sebentar lagi
Mamah dipingit, nggak boleh keluar sendirian lagi, maklum tradisi kuno
kejawen masih ketat.” Tanpa malu-malu lagi karena kami memang sudah
seperti suami isteri, dia membuka satu persatu pakaian yang melekat di
badannya sehingga kemontokan tubuhnya yang tak bisa kulupakan terlihat
jelas di hadapanku. Tanpa malu-malu pula dia mulai memelorotkan celana
panjang sampai celana dalamku, sehingga batang penisku yang masih
tiduran terbangun. Tanpa menungguku membuka baju dan kaus singlet,
Ningsih sudah membenamkan batang penisku ke mulutnya dan melumatnya
dalam-dalam. Aku mulai merasakan kenikmatan yang luar biasa dan batang
penisku mulai mengembang besar dan keras seperti besi.
“Ogghh… Maahh…, isep terus yaang oooghh, aduuuuhh… gelli”, aku mulai
melenguh nikmat dan Ningsih semakin cepat mengulum penisku dengan
memaju-mundurkan mulutnya, penisku semakin terasa menegang dan aliran
darah terasa panas di batang penisku dan Ningsih semakin semangat
melumat habis batang penisku. “Oggghh, Paahh, enaakkk asiiin.. Paahh.”
Wah, batang penisku makin terasa senut-senut dan tegang sekali rasanya
cairan spermaku sudah berkumpul di ujung kepala penisku yang semakin
merah mengkilat dikulum habis Ningsih. Aku minta Ningsih menghentikan
hisapannya dulu, kalau tidak rasanya spermaku sudah mau muncrat di
mulutnya.
“Ooogghh, Maahh, sudah dulu doong, Papaahh moo… keluaar!” Ningsih
menuruti eranganku dan beranjak rebah dan telentang di tempat tidur. Aku
mengambil nafas dalam-dalam untuk menahan muncratnya spermaku. Aku ikut
naik ke tempat tidur dan kutenggelamkan mukaku ke tengah
selangkangannya yang mulus putih tiada cela tepat di depan kemaluannya
yang merekah merah. Kujulurkan lidahku untuk kemudian dengan meliuk-liuk
memainkan kelentitnya, turun ke bawah menjilat sekilas lubang
pantatnya. Ningsih melenguh kegelian dan mulai menaik-turunkan pantatnya
yang putih dan gempal.
Kutarik ke atas lidahku dan kujilat langit-langit vaginanya yang
mulai basah dan terasa manis dan asin. Kutegangkan lidahku agar terasa
seperti penis, terus kutekan lebih dalam menyapu langit-langit vagina
Ningsih. Ningsih semakin memundur-majukan pinggulnya sehingga lidahku
menembus lubang vaginanya semakin dalam. Aku sebenarnya ingat bahwa
hasil operasi selaput daranya tempo hari di Singapore bisa jebol lagi,
tapi aku tak peduli kalau kenikmatan bersenggama dengan Ningsih telah
memuncak ke ubun-ubunku.
“Paahh… ooghh… wooowww… ooghh.. paahh, terus paahh… enaakkk… paahh
lidahnya kayaak kontoooll… ” Goyangan pinggul Ningsih semakin menggila,
aku pun tambah semangat membabi buta memainkan lidah dan mulutku melumat
habis vagina dan klitorisnya sampai cairan Ningsih semakin banyak
mengalir.
Kuhisap dan kutelan habis cairan vagina Ningsih yang asin manis itu
sehingga lubang vaginanya selalu bersih kemerahan. Ningsih terus
menyodok-nyodokkan vaginanya ke mukaku sehingga lidahku terbenam semakin
dalam di lubang vaginanya, sampai mulai terasa pegal rasanya lidahku
terus kutegangkan seperti penis.
“Paahh… sudah naik sayaang, Mamah sudah nggak tahan, masukkan
penisnya sayang.” Ningsih menarik tanganku ke atas supaya aku segera
menaikkan badanku di atas badannya.
Penisku memang sudah terasa panas dan tegang sekali. Ningsih tak
sabar memegang penisku dan menuntunnya ke lubang vaginanya yang sudah
basah karena lendir kemaluan bercampur ludahku. Maka
“bleeess”,
“Ogghh… Paahh… tekan terus sayaang, Mamah udaahh rinduu… oogghh emmgghh…
Paah… terus goyaag sayaang…. ooghh..” Pantat Ningsih mulai bergerak
naik turun dengan liar dan penisku sebentar masuk sebentar keluar dari
lubang vaginanya yang menyedot-nyedot lagi.
Kunaikkan kaki kanannya dan dengan posisi setengah miring dan
posisiku setengan duduk aku sodok vagina Ningsih dari belakang. Aku
semakin bernafsu kalau melihat pantat dan pinggul Ningsih yang putih.
Penisku semakin ganas dan tegang menyodok mantap vaginanya dari
belakang.
Ningsih membalikkan tubuhnya sehingga menungging membelakangiku dan penisku tak kucabut dari vaginanya.
“Paahh.. teruuss dooong, Mamaah nikmaa… ogghh… teruuusss… sodoook
sayaang… ogghh… Paahh…. aaoggghh… uuuggghh…” Pantatnya semakin menggila
mundur maju dan aku pun semakin menggila menyodokkan penisku sampai
rasanya mau patah.
Memang setiap senggama sama Ningsih rasanya habis-habisan.
Kutumpahkan semua kemampuan dan keperkasaanku untuk membahagiakan
Ningsihku. Dia pun demikian, tidak ada yang tersisakan kalau kami
bersenggama. Harus habis-habisan supaya puas. Keringat kami membanjiri
sprei hotel seperti habis mandi.
“Mmaahh… oooghh, teruuusss goyaang… oooggghh.. Maahh… Papaahh mooo
keluaarr… gila Maahh… vaginanyaa.. . oooghh… nikmaat… sekalii…” Aku
mulai ribut dan Ningsih melenguh semakin panjang. Mungkin tamu kamar
sebelah mendengar lengkingan dan lenguhan kami.
Masa bodoh!
“Pahh… emmghh… oogghh… Paapaahh… adduuuhh.. Paahh… adduuhh… Mamaahh…
mmooo kelluuaarr.. . emmggg… addduhh… Paahh aduuhh… Paahh… adduuhh”,
Kugenjot terus penisku keluar masuk, vagina Ningsih yang semakin banjir
dengan cairan vaginanya, terus kugenjot penisku sampai pegel aku tak
peduli. Keringat kami terus membanjiri sprei.
Kuminta Ningsih telentang kembali karena dengkulku mulai lemas. Dia
tersenyum sambil tetap memejamkan matanya. Oh, cantiknya bidadariku,
rasanya ingin kukeluarkan seluruh isi penisku untuknya. Ningsih baru
sadar bahwa hasil operasi selaput daranya mungkin jebol lagi. Ningsih
bilang masa bodoh, yang penting semuanya telah diberikan buat Papah.
Biar saja suaminya curiga atau marah atau bahkan kalau mau cerai
sekalipun kalau tahu dia nggak perawan lagi. Kali ini kami nggak
menunggu waktu ketika Ningsih sedang tidak subur, karena Ningsih ingin
mengandung anakku dan orang tidak akan curiga karena Ningsih akan punya
suami. Memang kasihan nasib suami Ningsih nanti, tapi bukan salah kami
karena dia merebut cinta kami, ya kan ?
“Cepat pah masukan lagi ach… jangan mikirin orang lain!” Tuh kan
betapa dia nggak ambil peduli tentang hari pernikahannya dan calon
suaminya, sebab bagi dia akulah suami sesungguhnya dalam hati
sanubarinya. Bleess…, “Ooogghh… Paahh, enaak… Paahh… aaoogghh.. uuhhgg..
uuughh… genjot terus Paah”, Aku tekan penisku sekuat-kuatnya sampai
tembus semuanya ke lubang paling dalam vaginanya sampai terasa mentok.
“Ooogghh… mmaahh… nikmaattt… istrikuu… sayaangg… oooggghh… aagghh…
eemmgghh…” aku setengah berdiri lagi dengan tumpuan ke dua dengkulku dan
kurenggangkan kedua kaki Ningsih, kusodokkan terus penisku keluar masuk
vaginanya, bleeesss… sreeett… blleeess… sreeet…, vaginanya menimbulkan
suara yang semakin memancing gairah kami berdua.
Ningsih memejamkan dan mengigit-gigit bibirnya dan mencakar-cakar punggung dan tanganku ketika mulai meregang.
“Ooooggghh.. . Paappaahh… emmggg… ooggghh… aduuuhh… Mamaah moo
keeluuuuarr. . oooghh.. Paahh… teruuuss… saayyaang, keluuaarriiinn
barreenng oogghh”,
“Hayyyoo… Maahh… oogghh… hayoo… baarr… ooghh… reenng… Maahh… ooooghh”, teriakanku tak kalah serunya.
Kami menggelepar, meregang, mengejang bersama-sama, serasa nafasku
mau copot dan Ningsih melenguh panjang sambil merasakan cairan air
maniku tertumpah ruah di lubang kemaluannya, terasa nikmat dan hangat
katanya. Biasanya sehabis merasakan klimaks yang sangat dahsyat Ningsih
selalu memukul dan mencubit sayang badanku, terus kelelahan mau tidur
sehingga terbaring lunglai dengan keringat bercucuran. Aku selalu
memeluk dan menciumi keningnya, hidungnya, mulutnya, rambutnya sampai ke
pantatnya, biasanya dia menggelinjang dan marah-marah karena geli. Jika
Ningsih sudah terpuaskan dan tertidur, aku rasanya lelaki yang sangat
berbahagia di dunia ini. Sekian dulu (Akan kusambung setelah Ningsih
kawin seminggu, tambah seru deh!).
Telah seminggu Ningsih menikah dengan laki-laki pilihan orangtuanya.
Resepsi pernikahannya di Balai Kartini cukup meriah, dan aku datang
dengan isteriku untuk menyampaikan selamat. Ketika aku menyalaminya, dia
tertegun dan terasa agak kikuk dan serba salah, aku pun merasakan hal
yang sama. “Terima kasih ya Pak”, katanya hampir tak terdengar. Di
hatiku berkecamuk seribu macam pikiran, tapi kuusahakan untuk tetap
wajar. Ningsihku begitu cantik dan anggun dengan pakaian pengantinnya.
Aku membayangkan bahwa sebentar lagi Ningsih kekasihku, isteriku, yang
beberapa tahun telah memadu cinta denganku akan menjadi isteri orang.
Meskipun kutahu bahwa dia tetap mencintaiku, tapi secara resmi dia
akan menjadi isteri orang lain, tentu tidak akan sebebas dulu ketika dia
masih single. Sebentar lagi Ningsih akan tidur berdua-duaan dengan
lelaki lain, mungkin untuk selamanya, karena aku pun tak ingin dia
menjadi janda dan kalau Ningsih menjadi janda tentu akan menjadi
gunjingan orang. Tidak, aku tak rela Ningsihku menjadi gunjingan orang.
Sekilas aku berpikir untuk mengakhiri saja hubunganku dengan Ningsih,
karena dia telah menjadi isteri orang, tapi apakah bisa semudah itu aku
melupakannya? Dunia rasanya sepi dan kejam, dan aku melangkah gontai
meninggalkan pesta perkawinannya yang masih penuh tawa dan canda
teman-teman dan keluarganya.
Beberapa hari setelah pernikahannya aku membenamkan diri dengan
pekerjaanku, siang dan malam kusibukkan diriku dengan pekerjaan dan
mengurus anak-anaku. Aku tak mau membayangkan, dan memang tak sanggup
membayangkan sedang apa Ningsih beberapa hari setelah pernikahannya. Aku
cemburu, marah, masgul, gundah jika membayangkan dirinya sedang
bersenang-senang dengan suaminya yang tentunya sudah tak sabar ingin
menikmati kemontokan dan kemulusan tubuh Ningsih, yang sudah resmi jadi
isterinya. Aku membayangkan Ningsih telanjang bulat bersama suaminya,
manja, bersenggama bebas tanpa takut oleh siapapun dan melenguh mesra
seperti ketika bersenggama denganku.
Tiba-tiba aku sangat benci padanya, aku menganggap Ningsih nggak
setia padaku, Ningsih telah mengkhianati cintaku, buktinya dia mau saja
digilir oleh lelaki lain. Apakah itu yang namanya cinta dan kesetiaan?
Aku bertekad untuk menjauhinya mulai sekarang, dan aku tak akan menerima
teleponnya. Ningsih memang berjanji akan meneleponku paling lambat satu
minggu setelah dia menikah dan sebelum ikut suaminya pindah ke Bandung.
Tidak! aku tak akan menerimanya jika dia meneleponku, biar dia tahu
rasa, aku tak mau bekas orang lain. Benar saja, pada hari kelima setelah
kawin dia meneleponku.
“Pak, ada telepon”, kata sekretarisku yang baru, pengganti Ningsih.
Anehnya, meskipun dia berparas lumayan, aku tak tertarik sama sekali
dengan sekretaris baruku itu. Aku memang bukan type “hidung belang” yang
sekedar mau iseng bercumbu dengan perempuan. Aku hanya jatuh hati dua
kali seumur hidupku, kepada isteriku dan kepada Ningsih.
“Pak, kok melamun, ada telepon dari Ibu Ningsih, katanya bekas
sekretaris bapak”, sekretaris baruku kembali mengagetkan lamunanku.
“Ooh.. ya… ya.. sebentar Reni…, emh.. dari siapa? Ningsih? bilang saja
Bapak sedang ke luar kantor ya!” aku mengajari dia bohong.
“Lho, Pak, kenapa? kan kasihan Pak, katanya penting sekali, dan besok Ibu Ningsih mau pindah ke Bandung”
Reni, sekretaris baruku itu mulai mendesakku untuk menerima saja
telepon Ningsih itu. Aku sejenak merasa bingung, aku rasanya masih benci
tapi juga sangat rindu sama Ningsih, apalagi kata Reni besok akan jadi
pindah mengikuti suaminya yang bekerja di Bandung.
Setelah berfikir sejenak…
“OK, Reni, sambungkan ke sini!” dan aku agak gugup untuk kembali
berbicara dengan Ningsih, untuk kembali mendengar suaranya, Ningsih yang
sekarang sudah menjadi isteri orang lain.
“Hallooo…, siapa nich?”, kataku agak malas.
“Papah, ini Ningsih Pah, Papah kok gitu sih?” jawab Ningsih di ujung sana.
“Oh, Nyonya Prayogo, saya kira Ningsih Prameswara kawanku”, kataku menggoda.
“Nggak lucu ah…, Mamah sekarang tanya serius, apa Papah mau nemui Mamah nggak sebelum besok Mamah pindah ke
Bandung?”, jawabnya lagi setengah mengancam.
Aku bingung juga ditanya begitu, sebab jauh di dalam hatiku
sebenarnya aku rindu berat sama Ningsih, tapi kebencian dan kekesalan
masih menempel erat di benakku.
Beberapa jenak, aku nggak bisa menjawab sampai Ningsih nyerocos lagi.
“Mamah ngerti, Papah masih kesal dan benci sama Mamah, tapi kamu kan
sudah setuju kalau Mamah terpaksa harus kawin, demi kebaikan hubungan
kita dan demi menjaga nama baikmu juga. Papah, dengar! Mamah sudah
seminggu nggak menstruasi lagi sampai sekarang. Ingat hubungan kita di
Hotel Sahid terakhir kali? Sudahlah, nanti Mamah ceNingsihkan lebih
lengkap, sekarang mau nggak jemput Mamah di toko biasa di Blok M?
Soalnya mumpung si Yudi pulang agak larut malam” Nama suaminya memang
Yudi Prayogo dan hanya selisih dua tahun dengan Ningsih, katanya sih
ketemu di kursus Inggris LIA.
Hatiku mulai melunak mendengar pengakuannya dan serta merta aku
menyetujui untuk menjemputnya di Blok M. Aku memarkir mobilku di tempat
parkir yang agak memojok dan sepi, maklum kami harus semakin
berhati-hati, karena Ningsih sudah menjadi isteri orang. Ningsih segera
hafal melihat mobilku dan setelah Ningsih duduk di sampingku, segera
kukebut lagi keluar Blok M menuju ke utara melewati Sisingamangaraja,
Sudirman, naik jembatan Semanggi terus memutar ke jalan Jenderal Subroto
dan dengan cepat masuk ke halaman parkir Hotel Kartika Chandra. Ningsih
terlihat lebih cantik, sedikit gemuk dan tambah bersih dan putih
mukanya. Rambut dan bulu-bulu halus di sekitar jidatnya terlihat hilang,
mungkin karena dikerok oleh perias pengantinnya.
Dia mengenakan celana panjang merah dan T-Shirt putih kembang-kembang
ditutupi blazer warna hitam. Terlihat serasi dengan kulitnya yang putih
bersih. Banyak yang nyangka dia keturunan Tionghoa, padahal Jatul. Tahu
jatul? Jatul itu “Jowo Tenan” atau “Jawa Tulen”. Ibunya dari Purwokerto
dan bapaknya dari Surakarta , katanya sih masih kerabat Kesultanan
Surakarta, masih trah langsung Raja Paku Bowono. Setelah check-in
sebentar, aku sudah berdua-dua dengan Ningsih di kamar hotel, dan untuk
pertama kalinya aku berduaan dengan isteri orang. Ada perasaan berdosa
menyelinap di hatiku. Tapi semuanya menjadi hilang karena betapa
besarnya cintaku pada Ningsih. Juga sebaliknya, jika Ningsih tak
mencintaiku, mana mungkin dia beReni bertemu dengan lelaki lain padahal
dia baru kawin lima hari lalu?
“Papah, Ningsih sedang mengandung janin anakmu, biasanya tanggal lima
minggu lalu Mamah menstruasi ternyata nggak keluar sampai sekarang”,
Ningsih menambahkan keterangannya tadi di telepon, dan aku semakin cinta
dan sayang rasanya. Tapi tetap saja ingin menggodanya dan mengetes
cintanya padaku.
“Oh, ya, hampir lupa, gimana dong bulan madunya kemarin, ceNingsihin dong Ning! pasti seru dan rame dengan lenguhan.
Dan apa suamimu nggak ribut tanya perawanmu kaya Farid Hardja?” Ningsih mendelikkan matanya dan mencubit pahaku keras sekali.
“Percaya atau tidak terserah Papah, yang pasti nggak ada lenguhan,
nggak ada goyangan, persis kaya gedebong pisang. Si Yudi memang sempat
marah-marah karena mungkin Mamah ternyata begitu dingin dan nggak
gairah. Tapi memang nggak bisa dipaksakan. Mamah hanya bergairah kalau
bersenggama dengan Papah. Dia nggak nanya tuh, kenapa nggak ada darah
perawan Mamah di sprei, ah.. sudah.. sudah! nggak usah tanya gitu-gituan
lagi. Nanti malah berantem terus. Pokoknya Mamah sayaang benar sama
Papah, nggak ada duanya deh”.
Seperti bisa dia mulai mencopoti pakaianku satu persatu, sampai CD-ku
dia pelorotin juga. Begitu di buka CD-ku, penisku langsung bergerak
liar dan setengah tegang begitu tersentuh tangan halus Ningsih. Tak
buang waktu lama, Ningsih melemparkan semua pakaiannya ke lantai karpet
sampai terlihat bodinya yang seksi, putih mulus dengan puting susu yang
semakin ranum. Mungkin pengaruh dari kehamilannya meskipun baru beberapa
hari mengandung anakku. Penisku yang masih setengah tertidur langsung
dikulumnya ke dalam mulutnya dan dihisapnya dalam-dalam, padahal aku
masih berdiri seperti patung dengan bersandar ke tembok. Dengan ganas
dia menghisap, menggigit dan menyedot penisku dalam-dalam sampai penisku
mentok ke langit-langit mulutnya. Tak lama penisku langsung tegang dan
memerah dan mengkilap bercampur ludahnya.
“Ooooggghh.. . Maahh…. terus Maahh… jilaat…. ooogghh…” Aku mulai
terangsang dan kenikmatan setiap penisku dihisapnya. Ningsih memang suka
sekali menjilat dan menghisap penisku, tapi ketika kutanya apakah dia
juga menghisap penis suaminya, dia bilang amit-amit, nggak nafsu
katanya.
Mulut Ningsih pindah menghisap dan menjilat penisku, dia juga senang
menggigit-gigit dua bakso penisku, sampai aku kesakitan campur geli dan
nikmat bukan kepalang.
“Ooooghh… Maahh… jangan digigit, Papah sakiiittt”. Aku minta Ningsih
berhenti dulu mengulum batang penisku, aku juga sudah rindu untuk
menjilat vagina dan klitorisnya.
Kuminta Ningsih tiduran di pinggir tempat tidur empuk itu dengan kaki
terjuntai ke bawah, dengan begitu aku bisa duduk di tengah-tengah
selangkangannya. Vagina dan klitorisnya terlihat jelas kalau begitu. Oh,
begitu indah dengan warna merah jambu klitoris dan lubang vaginanya
terlihat jelas di hadapan mukaku. Kujilat dengkul dan pahanya, terus
merayap kujilati selangkangannya yang mulus, sesekali kujilatkan lidahku
ke lubang pantat, klitoris dan lubang vaginanya, Ningsih
melenguh-lenguh tertahan.
“Oooghh, Papaahh… eeemghh, aduuuhh…, teruuuss… Paahh… oooghh…
enaakkk.” Kalau Ningsih sudah mulai melenguh begitu aku semakin bernafsu
untuk terus menjilat, mengigit dan menyedot-nyedot klitoris dan lubang
vaginanya sambil menyedot air maninya yang mulai meleleh keluar dan
lubang vaginanya.
Oh, nikmat… manis dan sedikit asin, kaya kuah asinan Bogor .
Kukeraskan lidahku supaya semakin tegang dan kutusukkan ke dalam lubang
vaginanya, Ningsih semakin melenguh keenakan, karena mungkin lidahku
terasa seperti penis menyodok-nyodok semakin ke dalam lubang vaginanya.
Cairan vaginanya semakin banyak keluar dan kuhisap dan kutelan dengan
nikmat. Kadang-kadang rambut kemaluan Ningsih ada yang putus dan ikut
termakan.
“Paahh…. ooooghh…. Paahh…, enaakkk, teruuuusss.. .. Paahh… ooooggghh…
aduuuhh”, Ningsih semakin ramai, barangkali suaranya terdengar tamu di
sebelah atau room-boy yang sedang lewat.
Kujilatkan lidahku ke lubang pantatnya berkali-kali Ningsih bergelinjang kegelian.
“Papaahh… geliiii…” penisku menggesek pahanya yang mulus sehingga
semakin tegang. “Paahh… penisnya geli tuch di paha Mamah, udahan dulu
ngisepnya sayang…., kesini deh, cium Mamah dan masukin penisnya.”
Kuhentikan jilatan lidahku, memang sudah mulai pegal juga menegangkan
lidahku hampir seperempat jam. Kugeserkan badanku ke atas, sejajar
dengan tubuh Ningsih dan sambil kulumat mulutnya dalam-dalam kugesekan
penisku ke vaginanya yang basah, oh… betapa nikmatnya. Kukulum dan
kugigit lidahnya. Ningsih menjeNing tertahan, kemudian kujulurkan juga
lidahku dan dia balas menggigit lidahku dengan bernafsu. Aku gantian
teriak, sampai keluar sedikit air mata. Untung kenang-kenangan kalau
Ningsih di Bandung katanya. Kujilati kupingnya, jidatnya, hidungnya,
matanya sampai Ningsih menggelinjang- gelinjang ketika kujilati dan
kugigit kupingnya. “Tuuuuhh.. Paah lihat, sampai merinding, “katanya
manja. “Paahh, masukin penisnya Paahh, Mamah sudah rinduuu.”
Ningsih melenguh manja. Ningsih merenggangkan selangkangannya untuk
membuka lubang vaginanya lebih lebar lagi. Penisku yang tambah keras
nyasar-nyasar di lubang vaginanya setelah menembus bulu-bulu vaginanya
yang mulai basah dan
“Bleesssss.. .” Ningsih berteriak keenakan sambil menggigit bibirku.
“Paahh…, ooogghh…, pelaan pelaannn… doongg.” Matanya terpejam, nafasnya
yang harum dan bau mulutnya yang wangi masuk semua terhirup oleh
hidungku.
Kutarik dan kutekan penisku semakin kuat dan sering, keringatku
semakin bercucuran, mungkin berkat bir hitam cap kucing yang kuminum
sebelum bermain dengan Ningsih tadi. Ningsih juga semakin mengencangkan
goyangan pinggul dan pantatnya turun naik sampai aku merasakan kepala
penisku mentok di ujung lubang vaginanya.
“Paappaahh.. .. ooogghh… teruuusss, cumbu Mamaah Paahh…, Mamaahh
cintaa, Mamaahh.. sayyy… oooghh.. aduuhh… aanggg.” Ningsih semakin ramai
mengerang dan melenguh tak peduli suaranya akan didengar orang.
Kuminta Ningsih menungging setelah kucabut penisku. Ningsih menurut
dan wow! aku selalu semakin bernafsu kalau melihat pantat dan pinggul
Ningsih yang mulus dan seksi. Sambil setelah jongkok, aku menyodokan
penisku dari belakang setelah membuka lubang vaginanya sedikit dengan
tanganku dan,
“Bleeeeezzzz” , Ningsih berteriak keenakan. “aaggghh, oooghh… Paahh…
terus genjot Paahh… wooowww… enaakkk Paahh…” aku semakin mengencangkan
sodokan penisku.
Ningsih melenguh, merintih dan teriak-teriak kecil sementara itu
keringat kami semakin bercucuran membasahi seprei. Aku merasakan
kenikmatan yang luar biasa setiap mempraktekkan berhubungan badan dengan
gaya “doggy style” sehingga spermaku mulai meleleh keluar, semakin
meramaikan bunyi gesekan penisku dengan vagina Ningsih. Ningsih semakin
menunggingkan pantatnya sehingga penisku semakin amblas di dalam
vaginanya. Rasanya air maniku sudah mengumpul di kepala penisku menunggu
dimuntahkan habis.
“Maahh… oooghh…. aduuuhh… Maahh, vaginanya enaakk…, punya Papah yaa sayaang….” Ningsih menjawab sambil merintih
“Iyaa… sayaangg, semuanya punya Papaahh.” Kusodokkan penisku semakin dalam.
“Maahh…. adddduuhh… . Papaahh… moooo keluaarr! cabut dulu ya Maahh…” Ningsih setuju dan segera telentang kembali.
Aku segera menggumulinya dari atas badannya, kulumat pentil buah
dadanya. Ningsih kenikmatan dan minta penisku segera dimasukan kembali
ke vaginanya. Dia minta aku merasakan kenikmatan bersenggama dengannya,
sampai nanti bertemu lagi di Bandung dengan segala cara. Kumasukan
kembali penisku ke vaginanya yang semakin basah dengan cairan sperma
kami yang sudah bercampur satu.
“Bleeessszzz, crroockkk… chhooozkk… breesszz… crrrockkk… . bunyinya semakin gaduh.
Ningsih semakin membabi buta menggoyang dan menaik-turunkan
pinggulnya dan aku juga demikian. Kutekan dan kucabut penisku yang panas
dan keras ke lubang vaginanya. Ingin rasanya kutumpahkan semua sperma
dan spermaku ke lubang vagina dan rahim Ningsih supaya anakku semakin
sehat dengan tambahan vitamin dan mineral dari sperma bapaknya. Supaya
kegantengan dan kepintarannya juga turun ke anakku yang ada di dalam
rahim Ningsih. Tiba-tiba kami merasakan kenikmatan yang sangat luar
biasa, kami meregang dan melenguh bersama-sama merasakan sorga dunia
yang tiada taranya, meregang, meremas dan memeluk erat-erat dua badan
anak manusia yang saling mencinta dan seakan tak mampu terpisahkan.
Ningsih mengejang badannya dan menggigit bibir dan lidahku, pinggulnya
terangkat sambil berteriak.
“Papaahh…. oooghh… Mamaah… ooghh, keluaar… sayaangg”, sambil mencubit dan mencakar punggungku.
Mendengar lenguhan dan teriakan ejakulasi Ningsih, aku pun mulai tak
tahan menahan desakan air maniku di kepala penisku dan sambil menekan
dalam-dalam penisku di vaginanya aku berteriak sambil mengejang, kugigit
lidahnya,
“Maahh… oooggghh… Papaahh… jugaa….. keeelluuuaarrr. … oooghh….
sayaanggg… . nikmaattt.” Kami tertidur sejenak sambil berpelukan dengan
mesra dan tersenyum puas, waktu sudah menunjukkan jam delapan lewat lima
menit, berarti kami bermain selama hampir dua jam lamanya.
Oh, betapa nikmat dan puasnya. Aku memeluk dan menciumi Ningsih
erat-erat seolah tak ingin berpisah dengan kekasihku dan isteriku
tercinta, karena besok dia sudah akan pindah ke Bandung. Ningsih
berjanji untuk membeNingsihhukan nomor telepon rumahnya di Bandung dan
aku diminta untuk datang paling tidak seminggu sekali.
Sudah satu bulan berlalu, sejak pertemuanku terakhir dengan Ningsih
di Jakarta. Aku terkadang sangat rindu dengannya, tapi kutahan
perasaanku dengan menyibukkan diriku pada pekerjaan yang semakin
menumpuk sejak aku mempimpin cabang Slipi. Maklum, para pengusaha
nasabah bank dimana aku bekerja semakin banyak saja, hal ini karena
keberhasilan marketing-ku. Aku sengaja bekerja all-out siang malam,
dengan menjamu langgananku sambil makan malam dan karaoke.
Aku ingin melupakan Ningsihku yang sekarang sudah jadi isteri orang,
tapi bayang-bayang kemesraan selama beberapa tahun dengannya seperti
suami isteri tak mudah rupanya untuk dilupakan begitu saja. Sekretarisku
yang baru memang cantik, lebih muda dan menarik, tapi anehnya aku sama
sekali tak tertarik dengannya, barangkali memang aku bukan tipe lelaki
“play-boy” yang gampang gonta-ganti pasangan. Cintaku sudah direbut oleh
Ningsih tanpa peduli bahwa dia sudah menjadi isteri orang. Tapi aku tak
menyesali pertemuan dengan Ningsih, aku tetap mencintainya dengan
sepenuh hati.
Oh, rupanya aku melamun terlalu lama, sehingga aku merasa malu ketika sekretarisku Reni masuk membawa setumpuk dokumen.
“Pak, kok melamun?” sapanya ramah, sambil tersenyum manja.
“Ah, oohh… eng.. nggak.. kok”, kataku tergagap.
“Pak, dokumen-dokumen ini perlu segera ditanda-tangani Bapak, sebab
nanti siang Pak Yusuf Pramono akan mengambilnya” , kata Reni lagi.
“Okay, tinggalkan saja dulu, nanti saya panggil lagi kamu setelah kutandatangani” , kataku datar.
Reni menaruh beberapa map “feasability study” untuk beberapa proyek
pabrik konveksi yang mengambil kredit dari bank dimana aku bekerja. Dia
keluar ruanganku dengan lirikan matanya yang semakin manja. Ah, boleh
juga tuh cewek pikirku, bodinya cukup montok, hitam manis dengan buah
dada yang terlihat menonjol besar keluar dari blousenya. Tapi setiap aku
kepingin iseng-iseng menggoda Reni bayangan wajah Ningsih selalu
berkelebat di depan mataku, seakan mengingatkan janji dan kesetiaanku.
Ah, kamu mau menang sendiri Ning! gumamku dalam hati, sedangkan kamu
nikmat-enakan dengan suamimu.
Aku selalu membayangkan Ningsih telanjang bulat setiap malam dengan
suaminya dan bermain cinta di ranjang berdua, tanpa takut ketahuan
orang, tanpa takut diganggu orang karena memang suami-isteri sah dan
lupa pada diriku. Kemudian pada akhir klimaks-nya Ningsih melenguh dan
meregang sambil memuji sayang suaminya, sama seperti dilakukannya
padaku. “Uuh! kamu memang nggak setia Ningsih! kamu tega meninggalkan
aku sendirian di Jakarta , sedangkan kamu nikmat-enakan tiap malam
ngentot dengan suamimu. Kamu bilang nggak cinta, tapi lama lama kamu
suka juga dimasukin penisnya! Brengsek kamu Ningsih!!! dan bodohnya aku
tetap saja setia menunggu barang bekasan lelaki lain.”
Sekretarisku masuk lagi ke ruang kerjaku, ada apa pikirku, belum
dipanggil kok masuk lagi. Jangan-jangan dia memang sudah kegatelan mau
kucumbu. Aku sudah mempunyai pikiran buruk untuk menggodanya untuk
mengobati kekesalanku pada Ningsih dan aku hampir yakin bahwa dia pun
pasti menginginkan aku berbuat sesuatu yang mengasyikan padanya.
“Ada apa lagi?” kataku pura-pura tetap berwibawa seperti biasanya.
“Anu, Pak.. ada telepon dari Ibu Ningsih, Bandung!” katanya mengandung curiga.
“Hah, Ningsih! Ada apa lagi dia, mau ceNingsih asyik-masyuk pengantin barunya dengan si Yudi itu?” pikirku dalam hati.
“Cepat, sambungin ke sini!” jawabku cepat dan spontan.
Heran, setiap kudengar nama dia, apalagi akan mendengar suaranya
setelah hampir sebulan tidak ketemu, kebencian dan cemburuku pada
suaminya seperti mendadak hilang tak berbekas. Sekretarisku bergegas
keluar kembali untuk menyambungkan saluran telepon dari Ningsih,
terlihat raut mukanya agak ditekuk. Aku yakin dia nggak begitu suka jika
Ningsih telepon, mungkin juga cemburu, karena dia tahu aku punya
hubungan khusus dengan bekas sekretarisku itu.
“Hallo, Papah, ini Mamah, apa khabar sayang?” suara Ningsih di seberang sana terdengan merdu di kupingku.
“Baik saja kok, kamu gimana?” kataku datar.
“Pah, Mamah sangat rindu deh, kapan Papah mau ke Bandung?” jawabnya lagi.
Tiba-tiba timbul pikiranku untuk menggodanya, sekaligus menumpahkan kekesalan dan kecemburuanku.
“Ah, masa sih kamu kangen saya, kan tiap malam ada teman sekasur, nikmat
lagi, nggak takut ketahuan orang, tiap jam, tiap saat mau mainkan
tinggal buka celananya, penisnya gede lagi, pasti kamu melenguh
keenakan!” jawabku nyerocos seenaknya dan rasanya plong hatiku setelah
mengatakannya.
“Papah, kok gitu sih? Papah jahat deh, Mamah nggak nyangka Papah bicara
begitu, padahal setiap detik, setiap hari Mamah rindu padamu!” ungkapnya
dengan nada agak tinggi. Aku terdiam, nggak tahu mau ngomong apa lagi.
“Pah, kamu masih mau denger Mamah nggak?” Ningsih berkata lagi.
“Pah, Mamah interlokal nih, jadi mesti menghemat, Mamah kan isteri pegawai kecil, mesti ngiNing, masih mau dengar nggak?”
“Iya, iya, aku masih dengar kok, terus saja ngomong, aku dengerin”, kataku sekenanya.
“Papah kok gitu sih, Papah kelihatannya nggak rindu sama Mamah? ya
sudah, Mamah tutup teleponnya ya!” serunya mulai emosi. Aku masih saja
mau menggodanya, rasanya kesal dan cemburuku belum hilang betul.
“silakan, memangnya siapa yang telepon duluan?” lanjutku lagi.
“Oh, gitu ya, kamu memang egois, kamu nggak mau ngerti, mau menang
sendiri, kamu selalu mengungkit perkawinanku, padahal semuanya terjadi
bukan karena mauku.
Kenapa dulu Papah nggak beRani mengawini Mamah? Jawabnya karena Papah
sudah punya anak, isteri dan kedudukan tinggi. Apakah itu bukan egois
namanya? Tapi Mamah tetap menyintaimu dengan sepenuh hati, apa Papah
pikir Mamah juga nggak cemburu, bertahun-tahun mencintai laki-laki yang
sudah jadi suami orang? Apa Mamah harus jadi perawan tua dan hanya
selingan kamu?”
Terdengar suaranya mulai keras dan terbata-bata, mungkin menahan tangis.
“Ya sudah, Mamah nggak bakalan telepon Papah lagi, biarlah Mamah
menanggung rindu dan mencintai Papah sampai mati, Mamah nggak akan
ganggu Papah lagi kalau memang sudah tidak dibutuhkan! Tapi kamu mesti
ingat Pah, bahwa bayi di kandungan Mamah adalah anakmu, bayi ini adalah
darah dagingmu, kamulah yang membentuk dan menjadikan janin anakmu ini,
si Yudi bukan bapaknya yang sesungguhnya, dia nggak tahu bahwa aku sudah
mengandung benih anakmu ketika kawin.”
Ningsih terdengar menutupi kesedihannya dengan omelan panjang yang
memerahkan kupingku. Ah, dasar perempuan, kalau sudah merajuk dan
mengamuk, hatiku selalu luluh dengan perasaan cintaku kepadanya, cintaku
yang memang sangat mendalam dan tidak bisa terlupakan, apapun yang
terjadi dan bagaimanapun status Ningsih sekarang yang sudah menjadi
Nyonya Yudi Prayogo. Aku takut Ningsih segera menutup teleponnya,
makanya segera kularang dia.
“Mah, tunggu! jangan tutup dulu teleponnya, oke…oke… , maafkan Papah,
Papah juga rindu, Papah sayang, Papah selalu mencintaimu, kamu dengar
itu sayang?” aku menyerocos tak terkendali, menumpahkan perasaanku yang
sesungguhnya.
“Ya sudah, tak apa, Mamah selalu memaafkan kamu, sekarang catat nomor
telepon Mamah dan Mamah tunggu kamu di Bandung segera kalau Papah masih
sayang Mamah, mumpung si Yudi lagi tugas seminggu ke Malang!” perintah
Ningsih.
Kucatat nomor teleponnya dan aku berjanji untuk segera datang ke
Bandung menemuinya, kasihan Ningsihku kesepian dan sangat merindukanku.
Aku janji untuk datang hari Jumat sore dengan kereta Parahyangan dan
menginap di Hotel Kumala Panghegar. Aku sengaja tidak bawa mobil dan
sopirku sebab bisa berabe nanti kalau sopirku tahu aku masih berhubungan
dengan Ningsih.
Pada Jum’at sore aku sudah tiba di stasiun kereta api Bandung dan
temanku kepala cabang di Bandung telah siap menjemputku di stasiun.
“Gila lu Zen, kau rupanya masih juga berhubungan sama Ningsihmu itu!”
katanya sambil menepuk bahuku, setelah kami bertemu di stasiun.
Aku hanya tersenyum saja. Togar Sihombing temanku itu memang
satu-satunya sejawatku yang mengetahui hubungan intimku dengan Ningsih,
sejak Ningsih masih menjadi sekretarisku.
“Hati-hati kamu Zen, di sini kamu lagi bertamu, nanti ditangkep satpam suaminya tau rasa kau!” katanya meledek.
Karena rahasiaku dan Ningsih memang sudah di tangannya, aku tak
sungkan-sungkan meminta supaya Togar bisa jemput Ningsihku dari rumahnya
di daerah Pasir Kaliki dan dibawa ke kamar hotelku. Aku suruh dia
mengatur segalanya, termasuk keamanan hotel Kumala Penghegar, agar aku
bisa tenang dan santai dengan Ningsihku semalam suntuk, bahkan kalau
bisa sampai minggu pagi.
Kira-kira satu setengah jam aku menunggu di kamar hotel, pintu
diketuk dari luar dan waktu kubuka pintu kamarku, ternyata Ningsihku
sudah berdiri sendirian. Dia tersenyum manis dengan lipstik merah tua
tipis, kontras dengan mukanya yang putih mulus. Badannya semakin bersih
dan montok, mungkin pengaruh kandungannya yang jalan dua bulan, sehingga
buah dadanya terlihat semakin membesar dan pinggulnya semakin bulat
berisi. Terlihat perutnya sedikit membesar dan itu semakin membangkitkan
gairahku.
Kata orang, wanita yang sedang hamil dua atau tiga bulan itu sedang
cantik-cantiknya dan akan sangat menggemaskan laki-laki yang melihatnya,
apalagi dalam keadaan polos. Kuraih tangannya dan kutarik dia ke
kamarku. Setelah mengunci kamar dengan double-locked, kupeluk dan kucium
dia dengan penuh kerinduan, Ningsih membalas hangat. Kuminta air
liurnya seperti biasa ketika kami berciuman dan kutelan dalam-dalam
ludahnya yang tetap wangi itu. Baru aku sadar untuk menanyakan kawanku
Togar, setelah Ningsih melepaskan ciumanku yang menggebu-gebu sehingga
terengah-engah kehabisan napas.
“Kemana si batak itu?” tanyaku.
“Dia pulang dulu katanya, setelah mengantar Mamah sampai ke pintu kamarmu”, jawab Ningsih. Tahu betul tuh batak satu.
“Kok, Papah kelihatan kurusan? katanya lagi sambil memandangiku dari ujung kaki ke ujung rambut.
“Masa? barangkali kurus mikirin kamu. Apa khabar sayang? senang ya hidup
di Bandung?” dia merebahkan badannya di pelukanku, sehingga aku
terdorong rebah ke ranjang karena Ningsih semakin berat badannya.
“Apa kabarnya suamimu? Kok punya isteri cantik ditinggal-tinggal terus”, godaku muncul lagi.
“Ah, sudahlah, nggak usah nanya dia, namanya juga pegawai rendahan, harus mau ditugaskan ke mana saja.” Jawab Ningsih.
“Pah, Mamah kangen dan rindu banget deh”, katanya lagi sambil berbalik
menindih tubuhku. Oh, Ningsihku semakin bahenol saja badannya, dan buah
dadanya yang semakin montok menekan dadaku.
“Hati-hati dengan perutmu sayang, nanti anak kita kejepit.” Ningsih tak
peduli, dia terus merangsek dan menciumi seluruh mukaku dan kupingku
sehingga seluruh tubuhku merinding dibuatnya.
“Oooohh… Papah, Mamah gemes dan rindu deh!” ujarnya sambil menjulurkan
lidahnya yang harum ke bibirku, tentu saja kusambut hangat dan segera
menghisap lidahnya dalam-dalam sambil kugigit sayang.
Ningsih melotot manja,
“aachh… sakiiitt dong Paahh!” Kukulum lagi lidahnya dan kusedot
sambil memejamkan mataku, Ningsih mulai melenguh bahagia sambil sekali
lagi menumpahkan liurnya untuk kuhisap dan kutelan dalam.
Kubalikkan badannya pelan-pelan karena Ningsih sedang berisi, dan
segera saja kubuka pakaiannya. Ningsih diam saja dengan mata terpejam.
Kulempar satu persatu roknya, blousnya, blazernya, dan terakhir celana
dalamnya. Oh, Ningsihku semakin montok dan menggairahkan. Pahanya,
betisnya yang putih bersih, ditumbuhi bulu-bulu halus, pinggulnya
semakin montok berisi dan vaginanya dengan bulu-bulu hitam tipis
kemerahan semakin menggairahkan. Kujilati badannya mulai dari ujung
kaki, naik ke betis, paha dan bermuara di selangkangan dan vaginanya.
Ningsih mulai menggeliat-geliat kegelian.
“Paahh, ooogghh Mamah rindu jilatanmu seperti ini, oooogghh.”
lenguhan Ningsihku baru lagi kudengar setelah dua bulan tidak ketemu.
“Papah buka pakaiannya dong!” kata Ningsih mulai nggak sabar. Aku segera
menanggalkan seluruh pakaian yang melekat dan ketika CD-ku kulepas,
penisku langsung mencuat keluar dengan tegang.
Ningsih tersenyum manja dan langsung menyergap penisku dengan kuluman mautnya.
“Paahh… Mamah rindu penis iniiii, eeeemmggghh enaakkk Paahh, kok
sudah assiinn?” Mulutnya menyedot-nyedot penisku sambil mundur maju, aku
merasakan kenikmatan luar biasa. Ningsih mengigit-gigit batang penisku
yang mulai menegang seperti kayu.
“Maahh, ooogghh teruusss oooggghh, tapi jangaann oooghh, keras-keras gigitnya!” aku mulai merem-melek keasyikan.
Ningsih semakin kencang menghisap-hisap penisku sambil memejamkan
matanya, sementara buah-dadanya berayun-ayun ketika dia menaik-turunkan
mulutnya sampai batang penisku masuk semua di mulutnya.
“Paah, sudah keluar lendirnya, asiiiin!” sambil menelan cairan
penisku, dan hisapannya semakin menjadi-jadi di kepala penisku sambil
menghisap-hisap lendir penisku. “Eeeemmhh… enaak Paahh.” Aku semakin
merem melek sambil menggapai buah dadanya, dan ketika tanganku berhasil
meraihnya, kuremas-remas buah dadanya yang semakin kenyal dan kupilin
putingnya yang kemarahan seperti buah delima matang.
“Maahh.. ooogghh… udaahh duluuu yaang, Papah nggak tahaannn… oooghh.”
Aku menggelinjang kuat ketika hisapannya semakin asyik di kepala
penisku.
“Sekarang giliran Mamah yang tidur.” Ningsih telentang pasrah, kedua
kakinya kurenggangkan, kuusap-usap perutnya yang mulai kelihatan sedikit
buncit mengandung anakku.
cerisex.net–>cerita seks terbaru
Kubenamkan mukaku di selangkangannya sambil kujilat kedua
selangkangannya dan dengan cepat kujilat pula lubang duburnya. Ningsih
selalu nggak tahan kalau kujilat lubang pantatnya. Dia menggelinjang
kegelian sambil merintih.
“Aduuuhh, Papah jahaat!” Kumainkan klitorisnya dan lubang vaginanya
dengan lidahku dan kukeluarkan ludahku membasahinya sehingga terasa
semakin nikmat ketika kuhisap cairan vaginanya yang sudah mulai keluar
bercampur ludahku. Asin, manis dan gurih. Kutelan dalam-dalam. Ningsih
mulai menaik-turunkan pinggulnya kegelian.
“Paahh, eeemmggghh.. .. ooogghh, teruuusss… Paahh, lidahnya kayak
kontoool.” Dia terus melenguh seperti biasanya, dan lenguhannya ini yang
tak bisa kulupakan.
Lidahku yang tegang semakin kujulurkan ke dalam lubang vaginanya,
kumainkan klitorisnya dengan lidah digetarkan, Ningsih menggelinjang
hebat. Rongga-rongka vaginanya kulumat dan kujelajahi dengan lidahku,
sementara bibirku melumat kelentitnya yang memerah.
“Oooooghh… Papaahh… nikmaat… teruuusss Paahh! Ningsih menaik-turunkan
pantatnya semakin tinggi, sehingga lidahku seperti penis menancap dalam
di vaginanya.
“Aduuhh… Paahh… oooogghh… Paahh, Mamaahh… oogghh… enaakkk!” mulai deh Ningsih melenguh panjang.
“Paah, hayo naik deh, Mamah sudah nggak tahan, masukin cepet penisnya
sayaang!” Ningsih semakin melebarkan selangkangannya dan menggapai
badanku.
Aku bangun dan menidurinya dengan hati-hati karena sekarang Ningsih
sedang berbadan dua. penisku sudah keras seperti batu dan
mengangguk-ngangguk gagah mencari mangsa. penis pun tahu bahwa
kesukaannya ada di depannya, vagina Ningsih memang sudah tak asing lagi
buat penisku sehingga begitu bersentuhan saja langsung mengeras bukan
main. Seperti batu! Dan Ningsih memang nggak bakal lupa dengan
keperkasaan penisku yang mulai dikenalnya sejak dia perawan, untuk
pertama kali menikmati penis lelaki.
Kugesekan penisku di pahanya, Ningsih kegelian, dan memberikan kode
supaya langsung ditancapkan ke vaginanya yang sudah menganga, basah,
hangat dan mulai menyedot-nyedot mencari mangsa. Kubenamkan kepala
penisku sedikit demi sedikit, oh hangatnya vagina Ningsih dan vaginanya
mulai bereaksi menyedot-nyedot, empot-ayamnya mulai main. Kutarik lagi
penisku, sehingga pinggul Ningsih ikut naik karena sudah tidak sabar
ingin melumat penisku. Kubenamkan lagi batang penisku perlahan, Ningsih
menaikkan pinggulnya ke atas, sehingga batang penisku setengah ditelan
vaginanya. Pinggulnya diputar-putarkan sambil mengeluarkan jurus
“empot-ayamnya” .
“Oooogggghh, Mamaahh… uughhgghh… nikmaattt aduhh.” Desahanku membuat
Ningsih semakin semangat menaik-turunkan pinggulnya, hingga batang
penisku semakin amblas ditelan vaginanya yang tetap saja sempit.
“Paahh tekaannnn Paahh… Mamaahh… oogghh… nikmaattt sekalii.” Pinggul
Ningsih dan badannya semakin bahenol dan seksi, perutnya yang sedikit
membesar membuat nafsuku semakin menjadi-jadi.
Kuganjal pantatnya dengan bantal dan aku setengah duduk dengan
bertumpu pada dengkul menggenjot penisku keluar masuk vagina Ningsih
yang semakin naik ditopang bantal sehingga seluruh rongga vaginanya
terlihat jelas.
“Bleeesss… creekkkk…. bleeees… creeekkk, gesekan dahsyat penis dan
vaginanya yang empot ayam semakin ramai saja. Daging vaginanya terlihat
seperti terbawa ketika kucabut batang penisku saking sempitnya. Dan
“empot-ayam” -nya dikeluarkan kalau senggama dengan aku saja katanya,
sedangkan dengan suaminya tetap seperti layaknya “gedebong pisang”.
“Paah…, aduuhh, Paahh.., kontoolnya ooghh, Mamaahh… nggaak tahaan…
Paahh!” Ningsih seperti nggak ingat sedang hamil, badannya bergetar,
pinggulnya naik turun dengan cepatnya, miring ke kiri dan ke kanan
merasakan kenikmatan penisku yang perkasa.
“Paahh… ooghh…. eemmghh… oozzzhh… aauugghh… eeemmhh… teruuzshh…
tusuuukk…. Paahhghh”, lenguhan itu yang sangat kudambakan. Aku seperti
lelaki yang sangat dibutuhkan Ningsihku, tidak ada lelaki lain yang bisa
memuaskannya lahir batin.
Aku semakin gila menyodokkan penisku keluar masuk vagina Ningsih,
kuangkat kaki kirinya ke atas dan kutenggelamkan seluruh batang penisku
sampai terasa mentok di ujung lubang vaginanya.
“Oooogghh… apaahh… uughhzz… Papaahh… nikmaatt… ooghh…. teruss…
aduuuuhh… teruuss, Mamaahh… maooo… keluaarr!” Ningsih berteriak-teriak
keras sekali sambil seluruh badannya bergetar dan bergoyang, keringat
kami bercucuran seperti habis mandi membasahi sprei.
“Paahh, kenapa dicabut?” Ningsih mendelik waktu penisku mendadak dicabut
dari lubang vaginanya. Ningsih tersenyum lagi ketika kuminta dia
menungging, supaya kami bisa bermain dengan “doggy style”. Wow,
pinggulnya yang putih mulus semakin berisi dan bahenol saja menambah
nafsuku semakin menjadi, ketika Ningsih menungging.
Kuhisap dan kujilat lendir vaginanya dari belakang, sekalian lubang
pantatnya, Ningsih melenguh panjang. Dia memang paling geli kalau
dijilat lubang pantatnya.
“Papaahh…. aduhh…. Mamaahh, nggak tahaan doongg… Cepat masukin
penisnyaa!” teriak Ningsih sambil menunggingkan pantatnya, sehingga
terlihat vaginanya yang merah jambu dan sedikit basah itu.
Penisku yang lagi tegang-tegangnya kuarahkan ke lubang vaginanya
seperti mengarahkan meriam “Si Jagur” siap menembak tank-tank belanda.
Dan…
“Bleeeesszzhh. ..” penisku menyeruak ke dalam “gua kenikmatan dunia”
Ningsihku. Ningsih kembali melenguh panjang. “Paahh… oooggghh…, teruuss
kocookk sayaang!” Aku mulai menarik dan membenamkan batang penisku
keluar masuk lubang vaginanya yang terasa semakin sempit dan
menyedot-nyedot kalau bersenggama dengan “doggy style” kesukaan kami
berdua.
“Oooggghh… Maahh, Papah enaakkk… ooooggghh… hhzzz… aahzzoogghh. ..
duuh…. Maahh… aa… duuhh gilaa… yaangg, teruuss goyaang.. cakeeep!”
Ningsih memundur-majukan pantat dan pinggulnya semakin cepat sehingga
bed kamar hotelku berdeNing-deNing bunyinya.
Keringat kami jatuh bercucuran. Nikmat sekali rasanya bersenggama
dengan kekasihku tersayang ini. Jiwa raga kami rasanya bersatu-padu.
“Aduuuhh… Papaahh… ooggghh… enaakkk… Paahh, teruusss Paahh genjot…
teruuuss… aahh… lebih kenceng, oooggghh… aahhzzzzhh.. . duhh”, badan
Ningsih berguncang-guncang keras, goyangan pinggul dan pantatnya tambah
menggila dan lubang vaginanya seakan mau melumat habis dan mematahkan
batang penisku.
Air maniku rasanya sudah mengumpul di kepala penisku, siap
disemprotkan kapan saja kalau mau, tapi aku mau agar Ningsihku dulu yang
klimaks supaya dia puas. Belum tentu kami bisa ketemu seminggu sekali,
padahal dia pernah bilang bahwa kalau kami bisa kawin mungkin bisa
berhubungan badan setiap malam, karena penisku terasa nikmat sekali
rasanya katanya suatu hari sambil melumat lendirku yang keluar di
mulutnya, dan Ningsih nggak geli menelan semua air maniku.
“Paahh… Mamaahh… ooggghh… Paahh… aaduuhh… oggzz… giillaa…. aahh.. ooogghh… Mamaahh…. ooghh… Maauu keluaarrr!”
“Tungguu sayaangg.. Mamaah berbalik dulu telentang lagi”, perintahku, kami sudah hampir mencapai orgasme.
Kucabut penisku, Ningsih kemudian telentang dengan kedua kaki dibuka
lebar. Vagina dan lubang pantatnya kubersihkan dulu dengan jilatan
lidahku penuh nafsu. Kutelan habis cairan vaginanya yang asin, wangi dan
gurih itu. Dia menggelinjang sambil bergumam
“Aduuuhh, ooogghh, Papah jahaat!” sambil tersenyum manja dan matanya merem-melek.
“Cepetan masukin lagi penisnya Paahh, Mamah sudah nggak tahan nih!” Aku
segera menaiki tubuhnya dengan hati-hati takut kandungannya tertekan dan
anakku kesakitan.
Kuarahkan lagi batang penisku yang sudah merah legam seperti batu
dibakar untuk siap bertempur sampai titik darah putihku terakhir, demi
untuk Ningsihku tersayang. Dan…
“Bleeezzzhh” dan Ningsih melenguh panjang sekali
“Oooogghh Paahh.. kocookkkhh yangghhzz..” Kutarik cepat penisku sampai
kepalanya nongol ke permukaan vaginanya dan seketika itu juga kubenamkan
habis batang penisku ke lubang vaginanya sampai terasa mentok.
Ningsih melenguh panjang.
“Oooggghh Paahh aduuuhh gilaa nikmaat.” Kucabut lagi batang penisku
tiba-tiba dan kubenamkan lagi kuat-kuat ke dalam vaginanya, dengan style
agak miring, terkadang dari lubang sebelah kanan, terkadang masuk dari
lubang sebelah kirinya, membuat Ningsih terbuai kenikmatan luar biasa.
“Ooooowww ooogghh aahh Papahh enaakkhh duhh ampuunnn duuhh ooghhz….
Paahhzz!” teriakannya melengking-lengking , seperti nggak peduli kalau
ada yang dengar. Aku semakin bernafsu, keringatku bercucuran, penisku
terasa semakin tegang dan mau meledak dan terasa panas sekali seperti
gunung mau memuntahkan laharnya.
“Maahh.. ooghhzz Maahh Nonooknya gilaa empot ayaamm!”
“Goyaanggg teruusss oogghh yuuu bareeeng keluariiin Maahhggzz!
Kami semakin menggila saja, aku menusukkan batang penisku dan
mencabutnya setiap “setengah detik” sekali, dan goyangan pantat dan
pinggul Ningsih semakin menjadi-jadi. Tempat tidur semakin ramai
berdeNing-deNing, keringat kami bercucuran seperti mandi sambil
bersenggama, atau bersenggama sambil mandi, bercampur menjadi satu
menambah kenikmatan dan rasa menyatu yang bukan main indahnya. Ningsih
semakin menggila, mengelepar-gelepar keasyikan, matanya merem-melek.
Kucium dan kulumat seluruh wajahnya, bibirnya, jidatnya, ludahnya
kusedot dalam-dalam. Ningsih menggigit lidahku keras sekali sampai aku
menjeNing kesakitan.
Itu tandanya Ningsihku mau ejakulasi dan klimaks. Kukuatkan agar
cairan air sorgaku nggak muncrat dulu sampai Ningsihku mencapai
klimaksnya. Tiba-tiba…
“Paahh oooggghh aduuuhh Maamah keluuaarr ooghh aduuhh gilaa ooowwwhzz
aahh Papaahh.. uuughh uughh uuugghh”, dia sekali lagi menggigit lidahku
sampai berdarah barangkali, sambil mencubit keras pahaku, itu memang
kebiasaannya kalau meregang menahan klimaks luar biasa.
Aku tak peduli apapun yang dilakukan Ningsihku demi kepuasan
kekasihku ini. Aku terus menggenjotkan penisku semakin gila dan rasanya
sudah nggak tahan lagi menahan spermaku muncrat di vaginanya yang
kusayangi. Ningsih sudah kepayahan rupanya, katanya vaginanya terasa
ngilu kalau dia keluar duluan dan aku masih semangat menggenjotkan
penisku keluar masuk vaginanya.
“Cepeeet dooong yaang aach Mamaah capeee”, katanya dan akhirnya…
“Ooogghh.. Maahh.. Papah jugaa keluaarrr… ooooghh.. oooghh… oooghh..
Mamaahh… aduuuuhh eemmhhzz! Kami sama-sama meregang, mengejang,
mendelik, menggelepar, seakan jiwa raga kami terbang ke angkasa luas nan
indah, ke alam surgawi dunia fana entah sampai kapan kami akan memagut
cinta, tapi rasanya memang sulit berpisah.
Kupeluk dan kucium Ningsihku yang terkulai puas dengan senyuman
tersungging di bibirnya yang merah muda tanpa gincu. Kulumat lagi
bibirnya habis-habisan, dia melenguh manja dengan mata tertutup letih
tanda puas yang luar biasa.
“Paahh, Mamah cinta… jangan tinggalin Mamah ya sayaang!” Aku mengangguk saja karena aku pun sangat mencintainya.
Kemudian Ningsih dan aku rupanya tertidur pulas dalam keadaan
berpelukan mesra dan bugil dan penisku masih sedikit menancap di
vaginanya. Kulihat jam tanganku sudah menunjukan jam dua pagi. Hawa
dingin kota Bandung dan ketika aku tersadar bahwa kekasihku masih
tergolek mesra di pelukanku dengan telanjang bulat, nafsuku mulai
bangkit kembali dan penisku sedikit demi sedikit mulai menegang dan
keras kembali.
Kubangunkan Ningsihku, dia terbangun kami sama-sama berciuman kembali
walaupun belum gosok gigi. Tapi cinta mengalahkan segalanya, semuanya
terasa indah dan harum wangi. Ningsih juga kemudian terangsang kembali
dan kami bersenggama lagi habis-habisan sampai jam empat pagi sampai
seluruh badan terasa lemas dan lunglai. Nggak apa, kami makan apa saja
yang membuat tubuh segar kembali dengan memesan ke Room Service.
Hari Sabtu pagi sampai siang hari kami terus tidur berpelukan mesra,
pintu kamar terus berstatus “DO NOT DISTURB” sebab ada dua sejoli yang
sedang memagut kasih, dan sampai Minggu pagi kami terus bercinta dan
bersetubuh tak bosan-bosannya sampai tujuh kali. Minggu siang sekitar
jam 12.00 Togar datang sesuai janji untuk mengantarkan Ningsih pulang,
sambil mendropku di stasiun kereta api. Oh, setianya Batak satu ini,
benar-benar kawan sejati dia. Dia cuma cengar-cengir penuh arti ketika
bersalaman di stasiun dan berpisah denganku.
Dari mobil, Ningsih melambaikan tangan dan menempelkannya di
bibirnya. “Hati-hati kau bawa dia kawan, dia sedang mengandung anakku,
cari jalan yang mulus!” perintahku pada Togar. “Siap boss, akan
kulaksanakan perintahmu!” katanya tegas. Batak ini memang tegas dan
kasar, tapi hatinya sangat lembut dan baik. Sekali lagi aku berpelukan
dengan Togar, sebelum Kijangnya yang membawa Ningsih hilang dari
pandanganku.
Aku berjanji pada Ningsih untuk sesering mungkin datang ke Bandung,
tak peduli apakah si Yudi keluar kota atau tidak sebab cinta kami begitu
indah.
Untuk Melihat Video Selengkapnya Klik Dibawah Ini :
Posted By : www.tugupoker.net
No comments:
Post a Comment