Agen Ceme Online - Cerita Panas Ku Selingkuhi Kakak Ipar - Setelah beberapa kali saya edit, akhirnya kisah ini saya kirimkan ke tugupoker.net Sebuah kisah nyata dengan identitas pelaku saya samarkan untuk
melindungi saya dan orang-orang yang terlibat dalam kisah saya. Tadinya
seluruh kisah saya akan saya tulis dalam satu cerita. Tetapi ternyata
sangat panjang. Padahal kisah ini terdiri dari episode-episode.
Karenanya saya coba memecah menjadi beberapa bagian, tetapi tiap bagian
(episode) dapat berdiri sendiri. Saya tidak tahu untuk apa menceritakan
ini semua. Tetapi setelah semua saya tumpahkan dalam cerita, ada
perasaan lega dalam diri saya. Saya seperti terbebas dari himpitan berat
selama bertahun-tahun. Inilah kisah saya.
Agen Ceme Terbaik - Saya seorang pria berumur 40 tahun. Istri saya satu tahun lebih muda
dari saya. Secara keseluruhan kami keluarga bahagia dengan dua anak yang
manis-manis. Yang sulung, perempuan kelas II SMP (Nisa) dan bungsu
laki-laki kelas 3 SD. Saya bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi.
Sedangkan istri saya seorang wanita karier yang sukses di bidang
farmasi. Kini dia menjabat sebagai Distric Manager. Kami saling
mencintai. Dia merupakan seorang istri yang setia. Saya sendiri pada
dasarnya suami yang setia pula. Paling tidak saya setia terhadap
perasaan cinta saya kepada istri saya. Tapi tidak untuk soal seks. Saya
seorang peselingkuh. Ini semua karena saya memiliki libido yang amat
tinggi sementara istri saya tidak cukup punya minat di bidang seks. Saya
menginginkan hubungan paling tidak dua kali dalam seminggu. Tetapi
istri saya menganggap sekali dalam seminggu sudah berlebihan.
Dia pernah bilang kepada saya, “Lebih enak hubungan sekali dalam sebulan.”
Tiap kali hubungan kami mencapai orgasme bersama-sama. Jadi sebenarnya tidak ada masalah dengan saya.
Rendahnya minat istri saya itu dikarenakan dia terlalu terkuras
tenaga dan pikirannya untuk urusan kantor. Dia berangkat ke kantor pukul
07.30 dan pulang lepas Maghrib. Sampai di rumah sudah lesu dan sekitar
pukul 20.00 dia sudah terlelap, meninggalkan saya kekeringan. Kalau
sudah begitu biasanya saya melakukan onani. Tentu tanpa sepengetahuan
dia, karena malu kalau ketahuan.
Selama perkawinan kami sudah tak terhitung berapa kali saya
berselingkuh. Kalau istri saya tahu, saya tak bisa membayangkan akan
seperti apa neraka yang diciptakannya. Bukan apa-apa.
Perempuan-perempuan yang saya tiduri adalah mereka yang sangat dekat
dengan dia. Saya menyimpan rapat rahasia itu. Sampai kini. Itu karena
saya melakukan persetubuhan hanya sekali terhadap seorang perempuan yang
sama. Saya tak mau mengulanginya. Saya khawatir, pengulangan bakal
melibatkan perasaan. Padahal yang saya inginkan cuma persetubuhan fisik.
Bukan hati dan perasaan. Saya berusaha mengindarinya sebisa mungkin,
dan memberi kesan kepada si perempuan bahwa semua yang terjadi adalah
kekeliruan. Memang ada beberapa perempuan sebagai perkecualian yang
nanti akan saya ceritakan.
Perempuan pertama yang saya tiduri semenjak menikah tidak lain adalah
kakak istri saya. Oh ya, istri saya merupakan anak ketiga dari lima
bersaudara. Semuanya perempuan. Istri saya sebut saja bernama Yeni.
Kedua kakak Yeni sudah menikah dan punya anak. Mereka keluarga bahagia
semuanya, dan telah memiliki tempat tinggal masing-masing. Hanya saya
dan istri yang ikut mertua dua tahun pertama perkawinan kami. Setiap
minggu keluarga besar istri saya berkumpul. Mereka keluarga yang hangat
dan saling menyayangi.
Mbak Maya, kakak istri saya ini adalah seorang perempuan yang
dominan. Dia terlihat sangat menguasai suaminya. Saya sering melihat
Mbak Maya menghardik suaminya yang berpenampilan culun. Suami Mbak Maya
sering berkeluh-kesah dengan saya tentang sikap istrinya. Tetapi kepada
orang lain Mbak Maya sangat ramah, termasuk kepada saya. Dia bahkan
sangat baik. Mbak Maya sering datang bersama kedua anaknya berkunjung ke
rumah orang tuanya -yang artinya rumah saya juga- tanpa suaminya.
Kadang-kadang sebagai basa-basi saya bertanya, “Kenapa Mas Wid tidak diajak?”
“Ahh malas saya ngajak dia,” jawabnya.
Saya tak pernah bertanya lebih jauh.
Seringkali saat Mbak Maya datang dan menginap, pas istri saya sedang
tugas luar kota. Istri saya dua minggu sekali keluar kota saat itu. Dia
adalah seorang detailer yang gigih dan ambisius. Jika sudah demikian
biasanya ibu mertua saya yang menyiapkan kopi buat saya, atau makan pagi
dan makan malam. Tapi jika pas ada Mbak Maya, ya si Mbak inilah yang
menggantikan tugas ibu mertua. Tak jarang Mbak Maya menemani saya makan.
Karena seringnya bertemu, maka saya pun mulai dirasuki pikiran kotor.
Saya sering membayangkan bisa tidur dengan Mbak Maya. Tapi mustahil.
Mbak Maya tidak menunjukkan tipe perempuan yang gampang diajak tidur.
Karenanya saya hanya bisa membayangkannya. Apalagi kalau pas hasrat
menggejolak sementara istri saya up country. Aduhh, tersiksa sekali
rasanya. Dan sore itu, sehabis mandi keramas saya mengeringkan rambut
dengan kipas angin di dalam kamar. Saya hanya bercelana dalam ketika
Mbak Maya mendadak membuka pintu.
“Kopinya Dik Andy.”
Saya terkejut, dan Mbak Maya buru-buru menutup pintu ketika melihat
sebelah tangan saya berada di dalam celana dalam, sementara satu tangan
lain mengibas-ibas rambut di depan kipas angin. Saya malu awalnya.
Tetapi kemudian berpikir, apa yang terjadi seandainya Mbak Maya melihat
saya bugil ketika penis saya sedang tegang?
Pikiran itu terus mengusik saya. Peristiwa membuka pintu kamar dengan
mendadak bukan hal yang tidak mungkin. Adik-adik dan kakak-kakak istri
saya memang terbiasa begitu. Mereka sepertinya tidak menganggap masalah.
Seolah kamar kami adalah kamar mereka juga. Adik istri saya yang bungsu
(masih kelas II SMU, sebut saja Rosi) bahkan pernah menyerobot masuk
begitu saja ketika saya sedang bergumul dengan istri saya. Untung saat
itu kami tidak sedang bugil. Tapi dia sendiri yang malu, dan
berhari-hari meledek kami.
Sejak peristiwa Mbak Maya membuka pintu itu, saya jadi sering
memasang diri, tiduran di dalam kamar dengan hanya bercelana dalam
sambil coli (onani). Saya hanya ingin menjaga supaya penis saya tegang,
dan berharap saat itu Mbak Maya masuk. Saya rebahan sambil membaca
majalah. Sialnya, yang saya incar tidak pernah datang. Sekali waktu
malah si Rosi yang masuk buat meminjam lipstik istri saya. Ini memang
sudah biasa. Buru-buru saya tutupkan CD saya. Tapi rupanya mata Rosi
keburu melihat.
“Woww, indahnya.”
Dia tampak cengengesan sambil memolesi bibirnya dengan gincu.
“Mau kemana?” tanya saya.
“Nggak. Pengin makai lipstik aja.”
Saya meneruskan membaca.
“Coli ya Mas?” katanya.
Gadis ini memang manja, dan sangat terbuka dengan saya. Ketika saya
masih berpacaran dengan istri saya, kemanjaannya bahkan luar biasa. Tak
jarang kalau saya datang dia menggelendot di punggung saya. Tentu saya
tak punya pikiran apa-apa. Dia kan masih kecil waktu itu. Tapi sekarang.
Ahh. Tiba-tiba saya memperhatikannya. Dia sudah dewasa. Sudah seksi.
Teteknya 34. Pinggang ramping, kulit bersih. Dia yang paling cantik di
antara saudara istri saya.
Pikiran saya mulai kotor. Menurut saya, akan lebih mudah sebenarnya
menjebak Rosi daripada Mbak Maya. Rosi lebih terbuka, lebih manja. Kalau
cuma mencium pipi dan mengecup bibir sedikit, bukan hal yang sulit.
Dulu saya sering mengecup pipinya. Tapi sejak dia kelihatan sudah
dewasa, saya tak lagi melakukannya. Akhirnya sasaran jebakan saya
beralih ke Rosi. Saya mencoba melupakan Mbak Maya.
Sore selepas mandi saya rebahan di tempat tidur, dan kembali memasang
jebakan untuk Rosi. Saya berbulat hati untuk memancing dia. Ini hari
terakhir istri saya up country. Artinya besok di kamar ini sudah ada
istri saya. Saya elus perlahan-lahan penis saya hingga berdiri tegak.
Saya tidak membaca majalah. Saya seolah sedang onani. Saya pejamkan mata
saya. Beberapa menit kemudian saya dengar pintu kamar berderit lembut.
Ada yang membuka. Saya diam saja seolah sedang keasyikan onani. Tidak
ada tanggapan. Saya melihat pintu dengan sudut mata yang terpicing.
Sialan. Tak ada orang sama sekali. Mungkin si Rosi langsung kabur. Saya
hampir saja menghentikan onani saya ketika dari mata yang hampir
tertutup saya lihat bayangan. Segera saya mengelus-elus penis saya
dengan agak cepat dan badan bergerak-gerak kecil. Saya mencoba
mengerling di antara picingan mata. Astaga! Kepala Mbak Maya di ambang
pintu. Tapi kemudian bayangan itu lenyap. Lalu muncul lagi, hilang lagi,
Kini tahulah saya, Mbak Maya sembunyi-sembunyi melihat saya. Beberapa
saat kemudian pintu ditutup, dan tak dibuka kembali sampai saya
menghentikan onani saya. Tanpa mani keluar.
Malamnya, di meja makan kami makan bersama-sama. Saya, kedua mertua,
Mbak Maya, Rosi dan kakak Rosi, Mayang. Berkali-kali saya merasakan Mbak
Maya memperhatikan saya. Saya berdebar-debar membayangkan apa yang ada
di pikiran Mbak Maya. Saya sengaja memperlambat makan saya. Dan ternyata
Mbak Maya pun demikian. Sehingga sampai semua beranjak dari meja makan,
tinggal kami berdua. Selesai makan kami tidak segera berlalu.
Piring-piring kotor dan makanan telah dibereskan Mak Jah, pembantu kami.
“Dik Andy kesepian ya? Suka begitu kalau kesepian?” Mbak Maya mebuka suara.
Saya kaget. Dia duduk persis di kanan saya. Dia memandangi saya. Matanya seakan jatuh kasihan kepada saya. Sialan.
“Maksud Mbak May apaan sih?” saya pura-pura tidak tahu.
“Tadi Mbak May lihat Dik Andy ngapain di kamar. Sampai Dik Andy nggak
liat. Kalau sedang gitu, kunci pintunya. Kalau Rosi atau Ibu lihat
gimana?”
“Apaan sih?” saya tetap pura-pura tidak mengerti.
“Tadi onani kan?”
“Ohh.” Saya berpura-pura malu.
Perasaan saya senang bercampur gugup, menunggu reaksi Mbak Maya. Saya menghela nafas panjang. Sengaja.
“Yahh, Yeni sudah tiga hari keluar kota. Pikiran saya sedang kotor. Jadi..”
“Besok lagi kalau Yeni mau keluar kota, kamu minta jatah dulu.”
“Ahh Mbak May ini. Susah Mbak nunggu moodnya si Yeni. Kadang pas saya lagi pengin dia sudah kecapekan.”
“Tapi itu kan kewajiban dia melayani kamu?”
“Saya tidak ingin dia melakukan dengan terpaksa.”
Kami sama-sama diam. Saya terus menunggu. Menunggu. Jantung saya berdegup keras.
“Kamu sering swalayan gitu?”
“Yaa sering Mbak. Kalau pengin, terus Yeni nggak mau, ya saya swalayan. Ahh udah aahh. Kok ngomongin gitu?”
Saya pura-pura ingin mengalihkan pembicaraan. Tapi Mbak Maya tidak peduli.
“Gini lho Dik. Masalahnya, itu tidak sehat untuk perkawinan kalian. Kamu
harus berbicara dengan Yeni. Masa sudah punya istri masih swalayan.”
Mbak Maya memegang punggung tangan saya.
“Maaf Mbak. Nafsu saya besar. Sebaliknya dengan Yeni. Jadi kayaknya saya
yang mesti mengikuti kondisi dia.” Kali ini saya bicara jujur. “Saya
cukup puas bisa melayani diri sendiri kok.”
“Kasihan kamu.”
Mbak Maya menyentuh ujung rambut saya, dan disibakkannya ke belakang.
Saya memberanikan diri menangkap tangan itu, dan menciumnya selintas.
Mbak Maya seperti kaget, dan buru-buru menariknya.
“Kapan kalian terakhir kumpul?”
“Dua atau tiga minggu lalu,” jawab saya.
Bohong besar. Mbak Maya mendesis kaget.
“Ya ampuun.”
“Mbak. Tapi Mbak jangan bilang apa-apa ke Yeni. Nanti salah pengertian. Dikira saya mengadu soal begituan.”
Mbak Maya kembali menggenggam tangan saya. Erat, dan meremasnya. Isi
celana saya mulai bergerak-gerak. Kali ini saya yang menarik tangan saya
dari genggaman Mbak Maya. Tapi Mbak Maya menahannya. Saya menarik lagi.
Bukan apa-apa. Kali ini saya takut nanti dilihat orang lain.
“Saya horny kalau Mbak pegang terus.”
Mbak Maya tertawa kecil dan melepaskan tangan saya. Dia beranjak sambil mengucek-ucek rambut saya.
“Kaciaann ipar Mbak satu ini.”
Mbak Maya berlalu, menuju ruang keluarga.
“Liat TV aja yuk,” ajaknya.
Saya memaki dalam hati. Kurang ajar betul. Dibilang saya horny malah
cengengesan, bukannya bilang, “Saya juga nih, Dik.” Setengah jengkel
saya mengikutinya. Di ruang keluarga semua kumpul kecuali Rosi. Hanya
sebentar. Saya masuk ke kamar.
Sekitar pukul 23.00 pintu kamar saya berderit. Saya menoleh. Mbak Maya. Dia menempelkan telunjuknya di bibirnya.
“Belum bobo?” tanyanya lirih. Jantung saya berdenyut keras.
“Belum.” Jawab saya.
“Kita ngobrol di luar yuk?”
“Di sini saja Mbak.” Saya seperti mendapat inspirasi.
“Ihh. Di teras aja. Udah ngantuk belum?”
Mbak Maya segera menghilang. Dengan hanya bersarung telanjang dada dan
CD saya mengikuti Mbak Maya ke teras. Saya memang terbiasa tidur
bertelanjang dada dan bersarung. Rumah telah senyap. TV telah dimatikan.
Keluarga ini memang terbiasa tidur sebelum jam 22.00. Hanya aku yang
betah melek.
Mbak Maya mengenakan daster tanpa lengan. Ujung atas hanya berupa
seutas tali tipis. Daster kuning yang agak ketat. Saya kini
memperhatikan betul lekuk tubuh perempuan yang berjalan di depan saya
itu. Pantat menonjol. Singset. Kulitnya paling putih di antara semua
sadaranya. Umurnya berselisih tiga tahun dengan Yeni.
Mbak Maya duduk di bangku teras yang gelap. Bangku ini dulu sering saya
gunakan bercumbu dengan Yeni. Wajah Mbak Maya hanya terlihat samar-samar
oleh cahaya lampu TL 10 watt milik tetangga sebelah. Itupun terhalang
oleh daun-daun angsana yang rimbun.
Dia memberi tempat kepada saya. Kami duduk hampir berhimpitan. Saya
memang sengaja. Ketika dia mencoba menggeser sedikit menjauh,
perlahan-lahan saya mendekakan diri.
“Dik Andy” Mbak Maya membuka percakapan.
“Nasib kamu itu sebenernya tak jauh beda dengan Mbak.”
Saya mengernyitkan dahi. Menunggu Mbak Maya menjelaskan. Tapi perempuan itu diam saja. tangannya memilin-milin ujung rambut.
“Maksud Mbak apa sih?”
“Tidak bahagia dalam urusan tempat tidur. Ih. Gimana sih.”
Mbak Maya mencubit paha saya. Saya mengaduh. Memang sakit, Tapi saya senang. Perlahan-lahan penis saya bergerak.
“Kok bisa?”
“Nggak tahu tuh. Mas Wib itu loyo abis.”
“Impoten?” Saya agak kaget.
“Ya enggak sih. Tapi susah diajakin. Banyak nolaknya. Malas saya. Perempuan kok dibegituin,”
“Hihihi.. Tadi kok kasih nasihat ke saya?”
Saya tersenyum kecil. Mbak Maya mencoba mendaratkan lagi cubitannya.
Tapi saya lebih sigap. Saya tangkap tangan itu, dan saya amankan dalam
genggaman. Saya mulai berani. Saya remas tangan Mbak Maya. Penis saya
terasa menegang. Badan mulai panas dingin. Mungkinkan malam ini saya dan
Mbak Maya..
“Terus cara pelampiasan Mbak gimana? Swalayan juga?” Tanya saya.
Saya taruh sebelah tangan di atas pahanya. Mbak Maya mencoba menghindar, tapi tak jadi.
“Enggak dong. Malu. Risih. Ya ditahan aja.”
“Kapan terakhir Mbak Maya tidur sama Mas Wib?”
Saya mencium punggung tangan Mbak Maya. Lalu tangan itu saya taruh perlahan-lahan di antara pahaku, sedikit menyentuh penis.
“Dua minggu lalu.”
“Heh?” Saya menatap matanya. Bener enggak sih. Kok jawabannya sama dengan saya? Ngeledek apa gimana nih.
“Bener.” Matanya mengerling ke bawah, melihat sesuatu di dekat tangannya yang kugenggam.
“Mbak..” Saya menyusun kekuatan untuk berbicara. Tenggorokan terasa
kering. Nafsu saya mulai naik. Perempuan ini bener-bener seperti
merpati. Jangan-jangan hanya jinak ketika didekati. Saat dipegang dia
kabur.
“Hm,” Mbak Maya menatap mata saya.
“Mbak pengin?”
Dia tak menjawab. Wajahnya tertunduk. Saya raih pundaknya. Saya elus
rambutnya. Saya sentuh pipinya. Dia diam saja. Sejurus kemudian mulut
kami berpagutan. Lama. Ciuman yang bergairah. Saya remas bagian dadanya.
Lalu tali sebelah dasternya saya tarik dan terlepas. Mbak Maya merintih
ketika jari saya menyentuh belahan dadanya. Secara spontan tangan
kirinya yang sejak tadi di pangkuan saya menggapai apa saja. Dan yang
tertangkap adalah penis. Dia meremasnya. Saya menggesek-gesekkan jari
saya di dadanya. Kami kembali berciuman.
“Di kamar aja yuk Mbak?” ajak saya.
Lalu kami beranjak. Setengah berjingkat-jingkat menuju kamar Mbak Maya.
Kamar ini terletak bersebarangan dengan kamar saya. Di sebelah kamar
Mbak Maya adalah kamar mertua saya.
Malam itu tumpahlah segalanya. Kami bermain dengan hebatnya.
Berkali-kali. Ini adalah perselingkuhan saya yang pertama sejak saya
kawin. Belakangan saya tahu, itu juga perselingkuhan pertama Mbak Maya.
Sebelum itu tak terbetik pikiran untuk selingkuh, apalagi tidur dengan
laki-laki lain selain Mas Wib.
Bermacam gaya kami lakukan. Termasuk oral, dan sebuah sedotan kuat
menjelang saya orgasme. Semprotan mani menerjang tenggorokan Mbak Maya.
Itulah pertama kali mani saya diminum perempuan. Yeni pun tidak pernah.
Tidak mau. Jijik katanya. Menjelang pagi, saat tulang kami seperti
dilolosi, saya kembali ke kamar. Tidur.
Saya tidak berani mengulanginya lagi. Perasaan menyesal tumpah-ruah
ketika saya bertemu istri saya. Mungkin itu juga yang dirasakan Mbak
Maya. Selepas itu dia mencoba menghindari pembicaraan yang menjurus ke
tempat tidur. Kami bersikap biasa-biasa, seolah tidak pernah terjadi apa
pun.
Ketika tidur di samping istri saya, saya berjanji dalam hati Tidak
akan selingkuh lagi. Ternyata janji tinggal janji. Nafsu besar lebih
mengusik saya. Terutama saat istri saya ke luar kota dan keinginan
bersetubuh mendesak-desak dalam diri saya. Rasanya ingin mengulanginya
dengan Mbak Maya. Tapi tampaknya mustahil. Mbak Maya benar-benar tidak
memberi kesempatan kepada saya. Dia tidak lagi mau masuk kamar saya.
Jika ada perlu di menyuruh Rosi, atau berteriak di luar kamar, memanggil
saya. Bahkan mulai jarang menginap.
Akhirnya saya kembali ke sasaran awal saya. Rosi. Mungkinkah saya
menyetubuhi adik istri saya? Uhh. Mustahil. Kalau hamil? Beda dengan
Mbak Maya. Kepada dia saya tidak ragu untuk mengeluarkan benih saya ke
dalam rahimnya. Kalaupun hamil, tak masalah kan. Paling-paling kalau
anaknya lahir dan mirip dengan saya yaa banyak cara untuk menepis
tuduhan. Lagian masak sih pada curiga?
Untuk Melihat Video Selengkapnya Klik Dibawah Ini :
Posted By : www.tugupoker.net
No comments:
Post a Comment